Di Indonesia, melanjutkan pendidikan itu hal yang terpenting. Sama seperti setahun silam. Gue masih jadi ababil yang entah mau dibawa kemana~ Semuanya berlanjut ketika gue menemukan sebuah situs berisi rambut-rambut gondrong ndeso! De Britto. Gue satu-satunya siswa di SMP gue yang terlalu yakin akan masa depan gue. Gue hanya daftar 2 SMA. De Britto, dan salah satu Kolese di Semarang, Loyola. Tes yang selalu gue anggap santai, membuahkan hasil. Gue lolos kedua SMA ini. Karena, Loyola jadwalnya lebih awal, gue terpaksa melepaskan SMA Loyola di daftar masa depan gue. Sedikit cerita, gue agak dipaksa biar gue sekolah di Loyola, orang tua gue yang nyuruh. Bapak gue KEKL (Keluarga Eks Kolese Loyola), guru les gue juga. Dan sama sekali gue nggak berpikiran sama seperti mereka. Gue terlalu bebas untuk di suruh-suruh. Gue yang menentukan masa depan gue sendiri. Kakak gue pernah sekolah juga di Loyola. Terpaut satu generasi (3 tahun) kalau di SMA, jadi keluarga gue sudah di kenal di kalangan guru maupun karyawan Loyola. Ya, terkenal karena kakak gue sering telat di beberapa hari. Alangkah lucunya negeri ini. Sempat gue di katakan "Pengkhianat" oleh guru Loyola yang keluarga gue kenal. Lelucon pastinya. Tapi hanya dengan mengandalkan keyakinan, gue pun di terima di sekolah gondes itu, De Britto! Menjadi warga De Britto serta Jogjakarta yang baik memang bukan hal yang mudah bagi setiap pendatang. Tapi, karena gue punya bahasa yang sama dengan kota asal gue, gue cepat beradaptasi dengan atmosfer Jogja. Mencari teman banyak serasa lebih mudah daripada di SMP. Atau entahlah, gue memang cepet dapet temen di manapun gue berada. Kata 'gay' atau 'homo' sering gue denger dari temen-temen gue di Semarang. Tapi apa yang mereka pikirin? Mereka sama sekali gatau tentang JB dan menjelek-jelekkan sekolah gue lebih dulu? BAH! Dan setelah 6 bulan lebih gue di Jogja, gue semakin yakin, gue betah di sekolah ini. Fokus, karena gaada cewek (pengecualian, ada bovis si cowok cantik dari kelas Bahasa). Astaga, pertanda gue gay? Setiap sekolah di daerah tertentu menghasilkan penerus yang berbeda. Sekolah gue cenderung menghasilkan seniman. Semarang, sebagai businessman. Jakarta, pejabat. Khusus, daerah Mertoyudan, di sana adalah pabrik Romo. "Pilih sendiri sekolahmu, kalau 'ngikut' pilihan orang tua pasti nyesel" ~Xavier Daniswara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H