Mohon tunggu...
Idrus Fhadli
Idrus Fhadli Mohon Tunggu... -

Just a stupid man who loves simplicity instead of complexity.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa Malu Mencantumkan Sumber?

6 April 2010   07:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:57 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seringkali kita menemukan tulisan menarik, namun tanpa kita sadari ternyata tulisan itu dikutip (maupun dijiplak) dari sumber lain, dan sumber tersebut tidak diberi apresiasi sama sekali. Entah dengan alasan malu, takut, LUSI (Lalai Ungkap Sumber Informasi) atau bahkan karena memang ingin diakui sebagai sang pemilik asli dari pemikiran atas karya yang dikutipnya, hal ini bagi sebagian kalangan merupakan masalah yang serius, terutama bagi kalangan akademisi. Seperti misalnya kasus yang menimpa salah satu akademisi Universitas Parahyangan beberapa waktu lalu, Profesor Anak Agung Bayu Perwita, yang diketahui menjiplak artikel ilmiah karya Carl Ungerer, dan mengirimkannya ke Harian The Jakarta Post. Well, sebenarnya kasus penjiplakan di ranah akademis maupun seni Indonesia tidak hanya terjadi satu kali itu saja, melainkan berkali-kali, baik yang terungkap ke permukaan maupun yang tidak. Beberapa contoh dapat dibaca di sini. Penjiplakan karya itu diidentikkan dengan istilah plagiat, dan plagiat berarti juga mencuri. Mengutip Ajib Rosidi, dalam Kompas (26/8/2006), Plagiat adalah pengumuman sebuah karya pengetahuan atau seni oleh ilmuwan atau seniman kepada publik atas semua atau sebagian besar karya orang lain tanpa menyebutkan nama sang pengarang yang diambil karyanya. Sikap ini agar publik mengakui bahwa karya yang diambil sebagian atau semua karya orang lain itu sebagai karyanya.” Pavela G, dalam “Judicial review of academic decision-making after Horowitz” yang diterbitkan dalam School Law Journal (1978), halaman 55-57, mendefinisikan plagiarisme (plagiarism) sebagai, “tindakan yang secara sengaja mengadopsi atau mereproduksi ide, kata-kata, atau pernyataan orang lain sebagai milik sendiri tanpa pengakuan yang sepantasnya (deliberate adoption or reproduction of ideas or words or statements of another person as one’s own without acknowledgement)“. Masih menurut Pavela, plagiarisme termasuk ke dalam salah satu dari empat kategori tindakan ketidakjujuran akademis yang dibaginya berdasarkan tipologinya, selain; kecurangan (cheating), fabrikasi (fabrication), dan fasilitasi ketidakjujuran akademis (facilitating academic dishonesty). Berdasarkan makalah Amanda Kistilensa (2009), dengan judul “Ketidakjujuran Akademis dalam Ruang Lingkup Perguruan Tinggi dan Sekolah Menengah Atas”, menunjukkan bahwa plagiarisme merupakan tindakan ketidakjujuran akademis yang paling banyak dilakukan. Menyikapi kasus plagiarisme dalam dunia akademis, ada baiknya kita menilik sekilas mengenai apa itu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni;

  1. Dharma pendidikan dan pengajaran
  2. Dharma penelitian dan pengembangan
  3. Dharma pengabdian masyarakat

Mengutip tulisan ini, dengan dharma pendidikan dan pengajaran yang terkandung dalam badannya, perguruan tinggi diharapkan melakukan peran pencerdasan masyarakat dan transmisi budaya. Dengan dharma penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi diharapkan melakukan temuan-temuan baru ilmu pengetahuan dan inovasi kebudayaan. Dan dengan dharma pengabdian masyarakat, perguruan tinggi diharapkan melakukan pelayanan masyarakat untuk ikut mempercepat proses peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat, dengan dharma ini pula, perguruan tinggi akan menerima feedback dari masyarakat tentang tingkat kemajuan dan relevansi ilmu yang dikembangkan perguruan tinggi tersebut. Bila semakin marak kasus plagiarisme, maka diksi yang menyatakan bahwa dharma dalam perguruan tinggi tidak berjalan seimbang, boleh dikata adalah benar. Dan pada kenyataannya, masih banyak perguruan tinggi yang lebih mementingkan aspek pendidikan dan pengajaran dibandingkan aspek-aspek lainnya. Perguruan tinggi hanya menjadi tempat mengejar IPK bagus dan gelar mentereng, tidak lagi menjadi kawah chandradimuka yang akan merebus gatotkaca-gatotkaca anak bangsa sehingga bertulang besi, berotot baja, dan bisa terbang melanglang buana, siap untuk menjadi agen-agen perubahan yang akan memimpin bangsa yang besar ini ke arah yang lebih baik. Berkaitan dengan masalah kutip-mengutip, saya jadi ingat ketika masa-masa menulis skripsi dulu. Betapa dosen-dosen pembimbing skripsi saya sangat strict dalam hal kutip-mengutip ini. Pernah ketika awal-awal penulisan, saya menjabarkan definisi suatu teori dan data-data pendukung dengan panjang lebar namun tidak disertai dengan sumber dari mana saya mengutipnya. Kontan saja, saya lantas diceramahi panjang lebar mengenai pentingnya mencantumkan sumber kutipan/rujukan dan kaitannya dengan etika dan hak cipta suatu karya. Kembali ke bahasan utama, mengapa malu mencantumkan sumber? Pertanyaan inilah yang kerap bergejolak dalam benak saya ketika menemukan tulisan bagus yang dilengkapi dengan data, fakta, dan struktur penulisan serta argumentasi yang baik, namun tidak jarang tidak mencantumkan sumber-sumber pendukung tulisan itu. Dalam ranah blog misalnya, masalah plagiarisme ini menjadi salah satu masalah yang kerap diperbincangkan dan terus dicari solusi terbaiknya. Meskipun suatu blog telah dengan nyata mencantumkan lisensinya (bisa berupa GNU GPL, Creative Commons, Apache Licenses, dsb), namun seringkali, tetap saja postingannya dibajak dengan semena-mena. Blog, menurut saya, merupakan sarana penuangan ide-ide dan kreativitas pemiliknya. Sebagus atau sejelek apapun tulisan/postingan di dalamnya, para narablog lain haruslah menghargainya. Dan bilapun tulisan dalam suatu blog itu dikutip oleh orang lain, maka, atas nama etika, orang yang mengutipnya berkewajiban untuk mencantumkan sumbernya. Namun, seringkali aktivitas penjiplakan ini dilegalkan oleh sebagian kalangan dengan alasan difusi informasi. Bahwa informasi yang baik dan layak konsumsi serta dapat memberikan faedah kepada khalayak banyak, sudah sewajarnya disebarluaskan. Semakin banyak orang yang mengetahui informasi tersebut, dan memperoleh manfaat darinya, maka hal itu juga berarti telah menyumbangkan sejumlah amal jariyah bagi sang penulis aslinya. Ya, difusi informasi itu perlu, dan saya tidak mengingkarinya, begitu pula dengan argumen amal jariyah. Namun bukan berarti harus memperkosa penulis aslinya, bukan? Berikan sedikit apresiasi kepadanya dengan menuliskan sumber kutipan! Sang penulis itu juga manusia, ia ingin dihargai sama seperti kebanyakan manusia lainnya. Dan untuk menulis suatu artikel yang bagus, tentulah dibutuhkan riset dan pemikiran yang mendalam, yang bila terus ditarik garis lurus di antaranya, maka akan bertemu kepada satu hal yang konkret, yakni; waktu. Untuk menulis sebuah artikel yang bagus, dibutuhkan waktu (dan tenaga) yang relatif tidak sedikit. Dan bila memang harus diukur secara materi berapa nilai penghargaan yang harus diberikan kepada sang penulis itu, maka ingatlah sebuah pepatah populer yang kerapkali didengung-dengungkan oleh kaum kapitalis; “Waktu adalah uang.” Sebagai gambaran tambahan, beberapa artikel yang saya tulis dan publikasikan dalam blog ini dan blog saya sebelumnya, juga pernah dijiplak dan diaku-aku dengan semena-mena oleh beberapa orang yang tidak bertanggung jawab. Di samping rasa kecewa atas tindakan yang dirasa tidak adil tersebut, sepintas ada rasa bangga dalam diri ini, bahwa artikel yang ditulis, ternyata dipublikasikan ulang oleh orang lain, dan menjadi perbincangan hangat. Ada sebuah ungkapan yang cukup menggelitik, dari Wilson Mizner, “Copy from one, it’s plagiarism; copy from two, it’s research.” Cukup menggelitik memang. Menyalin dari satu sumber, hal itu adalah plagiarisme. Sedangkan menyalin dari beberapa sumber, hal itu adalah riset. Sepertinya perlu sedikit ditambahkan sepatah-dua patah kata, sehingga menjadi; “Exact copying from one, it’s plagiarism. Half copying from many (without mentioning the source), it’s still plagiarism. But, if quoting from one or many (and not forget to mention the source), it’s what we called research.” Ujung-ujungnya, esensi permasalahan ini kembali kepada etika individu dan kelompok. Etika untuk jujur, menghormati, serta menghargai hasil karya dan jerih payah orang lain. Sebuah sikap yang perlu untuk ditumbuhkan sejak dini, guna mengeliminasi perilaku plagiarisme. That’s all. Nuff said! ---

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun