“Omong kosong! Semua hanya fantasi, mimpi, dan utopia belaka! Kalian kaum utopis!”
#1
Pada 1516, Sir Thomas More–seorang pengacara, akademisi, penulis, dan negarawan berkebangsaan Inggris–menulis sebuah roman sosialistis berjudul “Of the Best State of a Republic, and of the New Island Utopia.” Dalam buku itu, Sir Thomas More menuangkan khayalnya tentang sebuah negeri yang begitu sempurna, baik sistem sosial politik maupun penerapan hukumnya. Sebuah negeri indah yang bernama Utopia. Di negeri itu digambarkan suatu negara yang alat-alat produksinya dikuasai oleh umum. Dinyatakan pula, penduduk Utopia melebihi semua bangsa di dunia dalam hal perikemanusiaan, kesusilaan, dan kebajikan. Seiring perjalanan zaman, kata utopia diadaptasi dan semakin sering digunakan sebagai makna konotatif terhadap tindakan-tindakan yang diambil oleh sekelompok orang untuk menciptakan suatu kondisi sosial politik yang sempurna layaknya Negeri Utopia dalam buku tersebut, Namun karena kemustahilan untuk menciptakan kondisi serupa Utopia itu, tidak jarang yang terbentuk malah suatu keadaan yang justru bertolak belakang, yakni dystopia. Kata utopia sendiri ternyata telah juga diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia, definisi utopia yang saya temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan (KBBI Daring) adalah sebagai berikut:
“utopia n sistem sosial politik yg sempurna yg hanya ada dl bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dl kenyataan: kita tidak menghendaki –”
Sedangkan definisi utopis, seperti yang juga termaktub dalam KBBI Daring adalah:
“utopis 1 a berupa khayal; bersifat khayal; 2 n orang yang memimpikan suatu tata masyarakat dan tata politik yg hanya bagus dl gambaran, tetapi sulit untuk diwujudkan: masyarakat adab dan susila tanpa polisi susila hanya terdapat dl impian kaum –”
Filsuf Yunani–Plato–dalam bukunya, “De Wetten”, juga pernah menguraikan hal yang membuatnya tampak sebagai golongan kaum utopis: “Jika dalam suatu masyarakat tidak ada yang miskin dan tidak ada yang kaya, tentunya terdapat kesusilaan yang tinggi di sana, karena itu tidak ada ketakaburan, tidak pula kelaliman, juga tidak ada rasa iri hati dan benci.”
#2
Fantasi dalam ranah ilmu psikologi, merupakan salah satu aktivitas kejiwaan, yang dapat didefinisikan sebagai aktivitas imajinasi untuk membentuk tanggapan-tanggapan baru dengan pertolongan tanggapan-tanggapan yang telah ada, dan tanggapan yang baru tidak harus sama atau sesuai dengan benda-benda yang ada. Fantasi sendiri terbagi dua, yakni fantasi yang disengaja dan fantasi yang tidak disengaja. Dan fantasi yang disengaja terbagi lagi menjadi dua, yakni; (1) fantasi sengaja secara pasif, tidak dikendalikan oleh pikiran dan kemauan; dan (2) fantasi secara aktif, yang dikendalikan oleh pikiran dan kemauan. Fantasi sengaja maupun tidak, sama-sama bersifat mengabstraksikan, mendeterminasikan, dan membentuk gambaran baru. Dalam batas normal, kegiatan berfantasi ini, menurut saya, baik untuk menjaga kesehatan mental. Karena dengan adanya fantasi, seseorang dapat melompat jauh, keluar dari batas-batas kenyataan, dan membentuk kreativitas. Seseorang bisa saja berfantasi untuk melanglang buana di luar angkasa, berkeliling dari satu planet ke planet lain, dan bertemu serta bertukar sapa dengan alien. Atau seseorang bisa juga berfantasi tentang adanya sebuah dunia nun jauh di dalam perut bumi, dsb. Kisah-kisah hebat tentang contoh fantasi yang disebutkan di atas antara lain; Hitchhiker’s Guide to the Galaxy, City of Amber, dan Journey to the Center of the Earth.
#3
Wikipedia berbahasa Indonesia mendefinisikan mimpi sebagai; “Pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indera lainnya dalam tidur, terutama saat tidur yang disertai gerakan mata yang cepat (rapid eye movement/REM sleep).” Kejadian dalam mimpi biasanya mustahil terjadi dalam dunia nyata, dan di luar kuasa pemimpi. Pengecualiannya adalah dalam mimpi yang disebut lucid dreaming. Dalam mimpi demikian, pemimpi menyadari bahwa dia sedang bermimpi saat mimpi tersebut masih berlangsung, dan terkadang mampu mengubah lingkungan dalam mimpinya serta mengendalikan beberapa aspek dalam mimpi tersebut. Pemimpi juga dapat merasakan emosi ketika bermimpi, misalnya emosi takut dalam mimpi buruk. Ilmu yang mempelajari mimpi disebut oneirologi.
#4
Beberapa hari yang lalu, seorang teman mencak-mencak di suatu situs jejaring sosial, tampaknya ia mencoba mengkritisi suatu rencana lama yang pada akhirnya mandeg, tak bergerak. Dari bahasanya yang menyala-nyala, melabrak netiquette dengan menggunakan huruf kapital dalam setiap kata dan kalimatnya, dan menjustifikasi orang lain sebagai utopis yang suka berfantasi akan utopia. Ia menghendaki agar rencana lama yang mandeg itu terealisasi dengan baik. Namun, bukan hanya simpati yang ia dapatkan melainkan juga antipati.
Dalam suatu perencanaan, dibutuhkan komitmen dari para punggawa yang tergabung di dalamnya. Sebuah komitmen untuk maju dan mewujudkan perencanaan itu ke dalam aksi nyata. Perencanaan juga tidak dapat berdiri sendiri melainkan ia hanyalah bagian dari proses manajemen. Seperti yang didefinisikan oleh Ricky W. Griffin, “Manajemen adalah sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efisien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.” Rencana yang telah digagas beberapa waktu lalu itu memang telah mengalami proses brainstorming yang relatif intens. Beberapa teman turut aktif berdiskusi dan menggagas ide-ide seputar rencana tersebut. Bahkan telah juga “hampir” terbentuk panitia. Namun rencana itu mandeg di tengah jalan. Terbengkalai untuk beberapa bulan lamanya. Menurut pendapat saya pribadi, rencana yang telah digagas itu memang bagus. Sebuah reuni, atau ajang temu kangen sesama teman-teman satu angkatan semasa duduk di bangku sekolah dulu. Dalam benak saya, tentulah akan banyak teman yang akan menanggapi acara ini dengan positif. Dan pada kenyataannya memang begitu. Tapi, dalam tiap rencana pasti ada kendala, bukan? Kendala inilah yang hendaknya dihadapi bersama dan dicarikan jalan keluar terbaik. Bila dilihat dari keadaan yang ada di lapangan, rencana itu mandeg dikarenakan beberapa hal berikut:
- Penyusunan rencana hanya dilakukan melalui situs jejaring sosial, yang menurut saya kurang efektif untuk menghasilkan kesepakatan yang matang. Selain itu, tidak semua orang intens untuk terhubung ke internet dan mau memantau serta berkontribusi aktif dalam diskusi yang terjalin.
- Teman-teman yang berpartisipasi dalam diskusi itu dipisahkan oleh bentangan jarak. Beberapa orang ada di Kota A, sebagian berada di Kota B, sekian orang berada di Pulau X, dan yang lainnya berada di Pulau Y, Z, dsb. Ditambah lagi dengan kesibukan dan masalah-masalah pribadi yang menggelayut di pundak masing-masing orang.
- Setiap orang ingin agar rencana itu terkonsep dengan matang dan segera dieksekusi sehingga menjadi wujud nyata. Namun, tanpa adanya ‘pilot’, orang yang menerbangkan ‘pesawat’ itu beserta ‘kru kabin’ berikut ‘penumpang-penumpangnya’, mustahil ‘pesawat’ itu akan tinggal landas. Jikapun sempat terangkat sejenak dari permukaan tanah, tanpa adanya kepemimpinan dan ketegasan yang kuat dari ’sang pilot’, bisa jadi ‘pesawat’ itu akan tergelincir jatuh mencium tanah. Dalam keadaan terparah, masuk jurang dan meledak berkeping-keping.
- Jika Soekarno pernah berkata, “Berikan saya sepuluh pemuda, maka saya akan dapat mengguncangkan dunia”. Dalam pandangan saya, teman-teman yang sempat terlibat dalam diskusi beberapa waktu lalu tampak ingin menjadi ’salah satu dari sepuluh pemuda’ tersebut. Namun, lagi-lagi, tanpa adanya figur ‘Sang Soekarno’ yang dapat memanajemen sumber daya yang ada, meskipun ada seratus pemuda atau lebih, maka dunia tidaklah akan terguncang.
- Setiap orang ingin bergerak, namun tidak mengetahui starting point-nya; mau mulai dari mana, dan melakukan apa. Hal ini bukti bahwa perencanaan yang dilakukan ternyata belum terkonsep dengan baik.
Kelima poin di atas, jika disimpulkan, akan membentuk satu jawaban yang akan menjawab pertanyaan, “Mengapa rencana itu mandeg? Mana kemajuan yang dicapai selama beberapa bulan yang vakum itu? OMONG KOSONG dan MIMPI plus UTOPIA saja, bukan?”, yakni “KETIADAAN FIGUR SEORANG PEMIMPIN”. Dan selayaknyalah sang teman yang berambisi besar itu yang menjalankan roda-roda rencana yang telah tersusun sebagian, bukan malah ikut-ikutan mandeg selama beberapa bulan, dan kemudian muncul tiba-tiba berkoar-koar mempertanyakan kemana saja selama beberapa bulan belakangan, apa kemajuan yang di dapat, dsb. Sedangkan dia sendiri tampak tidak melakukan apa-apa. Menjustifikasi orang lain sebagai omong kosong-utopis-pengkhayal yang suka berfantasi-memimpikan utopia yang tak jua terwujud, sedang diri sendiri pun sama saja. Ah, dystopia… Nuff said! – Postscriptum: saya seharusnya tidak menulis ini Diterbitkan juga di blog saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H