Mohon tunggu...
Idrus Fhadli
Idrus Fhadli Mohon Tunggu... -

Just a stupid man who loves simplicity instead of complexity.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ini Semua Gara-gara Facebook!

6 April 2010   06:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:57 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Iseng-iseng saya melakukan pencarian di Google dengan kata kunci ‘Gara-Gara Facebook’. Ternyata hasil yang saya dapatkan cukup menarik, pasalnya beberapa portal berita maupun blog pribadi menggunakan kata kunci yang terkesan menyalahkan situs jejaring sosial itu atas kejadian-kejadian yang tragis. Misalnya, “Gara-Gara Facebook, Seorang Ayah Hajar Anak Istri”, “Gara-Gara Facebook, Siswa SMA Bunuh Diri”, dan judul-judul lain yang mengundang penasaran khalayak untuk mengetahui perihal kejadian tersebut. Pada judul yang pertama misalnya, “Gara-Gara Facebook, Seorang Ayah Hajar Anak Istri”, hal yang sebenarnya terjadi adalah Si Anak yang sedang asyik bermain Facebook menolak untuk memberikan laptopnya ketika Sang Ayah meminta pinjam. Karena kesal, lantas Sang Ayah naik pitam dan memukul Sang Anak. Sang Ibu yang menegur kelakuan brutal Sang Ayah turut kena bogem mentah dari tangan suaminya karena Sang Suami tidak terima ditegur oleh istrinya. Kemudian pada judul yang kedua, “Gara-Gara Facebook, Siswa SMA Bunuh Diri”, hal yang sebenarnya terjadi adalah, Sang Anak yang meminta dibelikan handphone yang bisa digunakan untuk ber-Facebook-ria, namun ternyata oleh ibunya justru dibelikan handphone yang tidak sesuai dengan keinginan Sang Anak. Lantas Sang Anak pun menggantung dirinya. Kalimat yang saya tebalkan adalah pokok permasalahan utama. Sekilas, memang seolah-olah kedua kejadian itu memang diakibatkan oleh Facebook. Karena keduanya memiliki satu kata kunci yang sama, Facebook. Lalu benarkah kedua kejadian itu disebabkan oleh Facebook? Agak lucu, jika kita dengan serta merta menjawab ‘Iya’. Pokok masalah utama dari kedua kejadian di atas adalah perilaku manusianya, bukan Facebooknya. Atau kalau boleh ditambah beberapa contoh judul berita lain yang tidak kalah menggemparkan seperti: “ABG Hilang Setelah Kenal Teman di Facebook”, “Gara-Gara Facebook: Jodoh Melayang, Harta Pun Hilang” (1) dan (2), “Pembunuhan Gara-Gara Facebook”, “Siswi SMA Diperkosa Gara-Gara Chatting di Facebook”, “Siswi SMA Diculik dan Diperkosa Teman Facebook”, “Gara-Gara Facebook, Siswi Madrasah Aliyah Diperkosa”, “Cerai dan Selingkuh Gara-Gara Facebook”, “Gara-Gara Facebook, PNS di Surabaya Cerai”, “Gara-Gara Facebook, Perceraian Meningkat”, dan masih banyak lagi. Judul-judul yang di atas memang terkesan menarik dan menggugah rasa ingin tahu pembaca, karena memang dalam sebuah tulisan/berita, judul merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan apakah suatu tulisan akan terus dibaca oleh audience atau tidak. Dan judul yang memprovokasi biasanya lebih mampu menarik minat lebih banyak orang untuk tahu lebih banyak tentang hal tersebut. Kembali ke masalah Facebook. Seperti yang kita sama ketahui, Facebook adalah sebuah situs jejaring sosial yang bertujuan untuk menghubungkan manusia modern yang satu dengan manusia modern yang lain. Dengan kata lain, Facebook dikembangkan sebagai sebuah ‘alat’ komunikasi yang dapat menghubungkan manusia modern yang satu dengan manusia modern yang lain tanpa terpaut jarak dan waktu. Dan pada dasarnya, sebuah alat itu bersifat bebas nilai karena “alat ya alat!” Namun ketika ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana arah manfaat dan tujuan penggunaan sebuah alat, maka status alat tersebut tidak lagi bebas nilai. Sebuah alat diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia, dalam hal ini, manusialah subjeknya. Dan sebuah alat hanya melakukan pekerjaan sebagaimana yang diinginkan oleh subjeknya. Sebagai contoh, sebuah pisau dapur dapat digunakan untuk pekerjaan di dapur, misal; memotong sayuran. Namun sebuah pisau dapur juga dapat disalahgunakan sebagai alat untuk melukai bahkan membunuh orang lain. Jikapun sebuah pisau dapur digunakan untuk membunuh orang lain, yang membunuh bukanlah pisau dapurnya, melainkan orang yang menggunakan pisau dapur tersebut! Baik buruknya sebuah alat, tergantung dari subjek yang menggunakannya. Jadi bukan alat yang salah, melainkan subjeknyalah yang salah. Atau mengutip konsep Jean-Paul Sartre, dalam kajian ontologis mengenai keber-Ada-an sebuah benda yang dikenal dengan istilah “tre-en-soi” atau being-in-itself. Ia menyatakan, benda-benda hadir di dunia setelah ditentukan lebih dulu identitas (esensi)-nya,  sifatnya “tre-en-soi”. Dengan sifatnya yang seperti ini, benda-benda tidak memiliki potensi di luar konsepsi awalnya. Sebuah komputer misalnya, sebelum dirakit, telah dikonsepsikan sebagai alat mempermudah pekerjaan manusia. Karena itu ia tergeletak begitu saja tanpa kesadaran, tak punya potensi untuk melampaui keadaannya yang sekarang; eksistensinya mampat karena esensinya mendahului eksistensi. Begitu pula dengan Facebook, esensi dan potensinya sebagai sebuah situs jejaring sosial ditentukan terlebih dahulu oleh Mark Zuckerberg (dan pengembang-pengembangnya), barulah eksistensinya menyusul kemudian. Selama esensi dan potensi itu tidak digunakan oleh penggunanya, maka Facebook bukanlah apa-apa selain sebuah situs yang teronggok tak berdaya. Penggunanyalah yang menggerakkan dan memberdayakan esensi dan potensi Facebook untuk kemudian disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Dan baik-buruknya juga ditentukan oleh bagaimana pengguna tersebut menggunakannya. Lantas, bagaimana mengantisipasi dampak negatif yang tidak diinginkan dari Facebook, terlepas dari banyak dampak positif yang bisa didapatkan pengguna darinya? Tidak lain dan tidak bukan adalah membekali pengguna dengan pengetahuan seputar penggunaan Facebook (dan media komunikasi online lainnya) secara aman dan nyaman. Antara lain;

  • Menyortir informasi apa saja yang boleh diketahui pengguna lain dan siapa saja pengguna lain yang dapat melihat informasi tersebut
  • Facebook memang sarana berkomunikasi dan bersosialisasi yang efektif di dunia maya, namun tentu saja tetap perlu bagi kita untuk berhati-hati dalam berteman di Facebook, pilihlah teman yang benar-benar kita kenal atau setidak-tidaknya memiliki jumlah mutual friends yang tidak sedikit. Sebab, semakin banyak mutual friends, hal itu berarti orang tersebut juga dikenal oleh banyak teman-teman kita yang lain.
  • Tidak mudah percaya terhadap orang yang baru kita kenal lewat Facebook. Telisik dahulu latar belakangnya!

Hal ini tidak hanya berlaku untuk Facebook saja, melainkan juga Twitter, Plurk, Koprol, Multiply, MySpace, Friendster, dan berbagai layanan Web 2.0 lainnya. Bila dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal ungkapan “Mulutmu, harimaumu.” Maka dalam berinteraksi di dunia maya, ungkapan tersebut dapat dimodifikasi menjadi “Tulisanmu, harimaumu.” Akhir kata, “Don’t blame the media, but blame the user!” “Bila kau tersandung, jangan menyalahkan batu yang tergeletak di jalan, melainkan salahkanlah dirimu sendiri karena tidak hati-hati dalam berjalan.” That’s all! Nuff said!

  • Gambar diambil dari sini
  • Palembang | Kamis, 1 April 2010 | 4:16 PM
  • Terakhir di-edit pada Jum’at, 2 April 2010 | 3:30 PM
  • Diterbitkan juga di blog saya

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun