Terkesima akan pemandangan kota pagi hari, sambil menikmati segelas mocca, jarang-jarang aku bisa memandangi matahari dari jendela apartemen lantai tujuh seperti ini. Sayang aku harus segera pergi, sebelum si pemilik bangun.
“Sayang...” Terlambat. Kutoleh asal suara. Wanita yang hanya memakai lingerie ini mengerjap-erjapkan matanya. Kutangkap raut heran pada wajahnya.
“Sudah mau pergi?” Dia menghela nafas.
“Ini sudah pagi.” jawabku. “Sudah kubuatkan mocca juga.” pandanganku menoleh tertuju pada secangkir mocca hangat di meja sebelah tempat tidur.
“Mocca?” Dia tersenyum remeh, lalu bangkit dan berjalan perlahan menuju tempatku berdiri. Kurasakan tangan lembut menyelimuti dadaku. “Sejak kapan aku suka mocca?”
Aku terdiam sejenak, melihat dari kaca, bayangan tubuhnya tertutupi oleh tubuhku. Wanita ini, Ivy, aku bertemu dengannya di club semalam. Aku suka. Tapi semalam saja sudah cukup. Kulepaskan pegangan tangannya.
“Hei... Aku harus pergi sekarang. Kau tahu, aku sibuk.” Bergegas aku menuju pintu keluar.
“Tunggu, aku bahkan belum tahu namamu. Bagaimana cara aku menghubungimu?”
“Kamu bisa menghubungi nomer yang semalam aku beri. Sampai jumpa.” Aku tersenyum semanis mungkin sebelum akhirnya menutup pintu.
Ivy tersenyum, “nomer? Kamu tidak memberi apa-apa, brengsek...”
Aku menghela nafas lega saat keluar dari apartemen. Kujalankan mobil menuju kantor sambil tertawa perlahan.