Musim dingin tahun lalu. Masih ku ingat jelas betapa mengenaskannya dirimu. Duduk di bawah sinar lampu taman seperti itu, mengharap belas kasih. Tak terkecuali aku. Dasar bodoh. Dengan tampangmu yang seperti itu mana ada yang menolongmu. Kalau saja tidak ada rengekan anakku yang membawamu pulang. Bersyukurlah kau tidak jadi mati kedinginan malam itu.
Setahun berlalu. Kau sudah besar sekarang. Seharusnya kau tau, kau hanya menumpang di sini. Merasa bersalahlah sedikit. Tiap hari kerjaanmu hanya bermain-main dengan anakku. Harusnya aku yang menjaga anakku. Bukan kamu.
“Ma.. sepertinya Henry kedinginan. Ayo kita beli selimut baru yang lebih hangat untuk dia.” Kata Nathan, anakku satu-satunya. Hampir saja kujatuhkan kentang yang akan kumasak, terkejut karena dia merusak lamunanku. Kutoleh jendela, siang ini salju turun.
“Nathan sayang...” Sengaja kukeraskan suaraku dan melirik kearahmu. Kau yang hanya duduk melihat tivi. “Di luar pasti dingin sekali. Kau lihat salju turun kan?”
“Nanti Henry bisa kedinginan ma.. sekarang saja. Aku tidak mau kehilangan Henry.” Katanya tegas. Ingin rasanya aku menyuruh Henry pergi membeli selimut sendiri. Sayang, dia tidak bisa menyetir mobil.
Setelah memakai pakaian dinginku lengkap, segera aku mengeluarkan mobil. Bukannya aku peduli padamu hingga mau membelikan selimut. Nathan yang meminta. Aku tidak ingin kehilangan kasih sayang Nathan.
Jalanan begitu sepi, mengingatkanq akan luka yang kau buat. Kau yang meninggalkan keluargaku. Tapi Nathan masih begitu sayang kepadamu. Henry bodoh. Nathan itu anakku. Mengertilah kau seharusnya kau tidak masuk dalam kehidupan keluargaku lagi. Salju turun makin deras. Cepat-cepat kuhilangkan bayangan Henry di otakku, secepat salju menghilangkan garis sisa injakan mobilku.
Cling..Cling..
Lonceng pintu toko berbunyi cukup lama saat aku membukanya.
“Ah, selamat siang miss. Sudah lama kau tidak ke tokoku. Mau membeli apa?” sapa petugas kasir dengan ramah. Aku tersenyum dan melihat sekeliling.
“Aku mencari selimut. Nathan membutuhkannya.” Jawabku cepat. Dengan cepatnya dia menggandeng tanganku dan membawaku ke arah selimut bertumpuk. Toko sedang sepi waktu itu, jadi dengan bebasnya dia meninggalkan meja kasir. Kuambil satu yang berwarna biru, warna kesukaan Nathan. Segera aku membayarnya di kasir dan pergi meninggalkan toko itu.
Begitu sampai rumah, segera kubuka pintu. Sudah mulai sore. Aku harus segera masak untuk makan malam. Kuedarkan pandangan di sekitar ruang tamu. Tidak ada Nathan. Bahkan Henry pun tidak. Perasaan khawatir mulai melintas.
“Nathan... di mana kau??” kucari di kamarnya pun tidak ada.
“Nathan??!” aku mulai panik. Kutelepon polisi segera. Kubiarkan selimut yang masih terbungkus rapi tergeletak di ruang tamu. Menangis aku menunggu kedatangan polisi. Aku tidak ingin kehilangan Nathan...
“Permisi..” kudengar suara di depan pintu. Bergegas aku berlari membukanya. Kulihat polisi berdiri tegak, dan satu orang dokter di belakangnya. Pikiranku kacau. Kuceritakan sambil menangis kalau Nathan hilang. Kulihat polisi tersebut menghela nafas, lalu menoleh ke arah dokter. Dan dokter tersebut segera membawaku menuju mobilnya. Tentu saja aku meronta dan berteriak kencang.
“Lepaskan! Ke mana kau akan membawaku?! Tidak tahukah kau aku sedang panik karena anakku menghilang?!” teriakku ke arah dokter itu. Tapi perlawananku sia-sia. Tenaganya jauh lebih kuat dibandingkan aku. Tetangga kanan kiri mulai keluar karena mendengar keributan.
“Maaf, ada apa ini?” tanya tetangga samping kananku kepada polisi yang sudah mulai menutup pagar rumahku.
“Dia membuat ulah lagi. Melaporkan lagi kehilangan anaknya. Sepertinya dia belum bisa menerima kalau anaknya sudah meninggal.” Kulihat polisi itu berbicara dengan tetanggaku. Aku hanya bisa melihat dari balik kaca mobil.
“Yah.. sudah setahun rasanya sejak dia kehilangan Nathan, anaknya. Kasihan sekali. Malam-malam Nathan pergi mencari anjing kesayangannya yang dibuang oleh mamanya sendiri. Padahal waktu itu salju sedang turun dengan derasnya. Padahal Henry anjing yang baik..” kulihat tetanggaku menjelaskan sesuatu.
“Mengenaskan sekali waktu itu. Saat Nathan tertabrak mobil, maksudku. Dia memeluk anjingnya erat. Sayang nyawa mereka berdua tidak bisa diselamatkan.. Ah, permisi. Saya harus membawanya ke rumah sakit.” Kulihat polisi itu menunduk, lalu pergi dan menuju ke mobil. Dia menoleh ke arahku, dan tersenyum tipis. Senyum penuh rasa kasihan. Sebelum akhirnya dia mengemudikan mobil menuju rumah sakit. Rumah Sakit jiwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H