Simalakama sebenarnya dengan penurunan Dwelling Time Pelabuhan Tanjung Priok yang dari rata-rata 6,8 hari menjadi sekiatar 4 hari. Artinya lalu lintas pelabuhan yang semakin efisien dinikmati tidak hanya oleh eksportir tetapi juga oleh importir. Ada yang bisa jelaskan ini apa tidak ya.
Artinya setelah menambah dealer yang jadikan jangkauan penjualan dan service Ford menjangkau Sabang-Merauka lalu ditinggal. Jawabannya adalah tugas Ford Indonesia untuk mengatur strategi pemasaran dan distribusi sudah selesai, maka sekarang lebih fokus pada mengefisienkan biaya produksinya. Oleh karena itu Ford akan fokus membuat produk mobil yang berdaya saing di Thailand lalu kirim ke Indonesia.
Pasar tunggal ASEAN (MEA) dengan tarif 0% dan Indonesia yang merupakan market terbesar 40% jumlah penduduk dan 38% GDP ASEAN serta pertumbuhan rata-rata pendapatan perkapita yang tinggi tentu akan menjadi pasar yang menarik.
Ada kinerja yang baik Pemerintah dengan mampu turunkan Dwelling Time, tetapi ada yang belum diantisipasi. Bahwa penurunan dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok akan membuka impor lebih gencar. Apalagi ada kebijakan yang aneh di Indonesia dan mesti dirubah yaitu impor produk jadi tarif "0%" namun jika impor komponen masih kena tarif "5%".
Artinya jika bangun produk di Indonesia akan rugi, kecuali sudah mampu membangun industri komponen dengan bahan baku lokal.
Lalu kemudian hiruk pikuk tutupnya pabrik elektornik, pabrik garmen dan lainnya apakah sekedar tuduhan tidak memiliki daya saing. Mungkin faktor kurang daya saing juga ada, tetapi jangan lupa ada faktor lain yaitu strategi bisnis global, khususnya perusahaan multi nasional yang punya banyak basis produksi di beberapa negara dan lainnya. Ini mesti diwaspadai!!!!.....
Selama pusat pertumbuhan di pulau Jawa, selama dwelling time hanya fokus di Tanjung Priok maka potensial negatifnya akan sangat besar. Jalan keluarnya adalah segera bangun pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa, sehingga dwelling time yang rendah di Tanjung Priok akan memacu tumbuhnya pusat ekonomi di luar Jawa, dan bukan malah memacu tumbuhnya pusat ekonomi di negeri tetangga di kawasan ASEAN.
Blok Masela tentu akan memberikan dampak ungkit tumbuhnya pusat ekonomi baru jika dibangun di darat (onshore) mungkin dengan resiko investasi yang lebih besar. Smelter Freeport akan lebih memberikan dampak ekonomi jika dibangun di Papua jika dibandingkan di Gresik, tentu dengan investasi yang lebih mahal.
Membagi resiko investasi dengan segala kalkulasinya tentu para pakar di Kabinet dan tenaga ahli Pemerintah yang lebih handal menghitung. Intinya adalah mengelola Indonesia adalah dalam bentuk "incorporated", seperti teori balon yang jika ditekan di satu sisi akan pindah ke sisi lain. Jika terpisah-pisah, bisa-bisa hasilnya dimanfaatkan oleh pihak asing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H