Anak Pemilik Bengkel Sepeda
Soichiro Honda lahir tanggal 17 November 1906 di Iwata-gun (kini Tenryu City) yang terpencil di preÂfektur Shizuoka. Kawasan Chubu yang terletak di anÂtara Tokyo, Kyoto, dan Nara di Pulau Honshu itu tadiÂnya penuh tanaman teh yang rapi. Di sela-selanya ditaÂnami arbei yang lezat. Namun, kini daerah kelahiran Honda sudah ditelan Hamamatzu, kota terbesar di provinsi itu.
Ayah Soichiro, Gihei Honda, seorang tukang besi yang beralih menjadi pengusaha bengkel sepeda. Soichiro anak sulung dan sembilan bersaudara, tetapi hanya empat orang yang berhasil mencapai umur dewasa. Yang lain meninggal semasa kanak-kanak akibat kekurangan obat dan sanitasi.
Mula-mula listrik belum masuk ke desa mereka. Ketika listrik dipasang, Soichiro begitu terkesan seÂhingga bercita-cita menjadi tukang listrik.
Seingat Soichiro, keluarganya sangat miskin. "Saya ingusan terus. Karena seringnya menyeka hidung dengan lengan kimono, lengan baju itu menjadi
kaku seperti dikanji."
Tetangganya ada yang kaya. Setiap tahun pada tanggal 5 Mei yang merupakan Hari Raya Anak tetangga itu mengadakan pesta. "Tetapi, saya tidak boleh hadir. Anak tetangga sebelah selalu mengusir saya. Katanya, anak jorok seperti saya diÂlarang masuk."
Menurut teÂman sekolahnya, paÂda inasa itu mereka memakai sepatu peÂtani tradisional kaÂlau pergi ke sekolah. Bila melihat sepatu bersol jerami padi itu di toko-toko suvenir di Ginza, kita biasanya sangat tertarik, tetapi dalam kehidupan nyata sepatu jerami bukanlah benda yang praktis. Setiap malam Ny. Honda harus menambal sol sepatu anaknya.
Walaupun Gihei Honda miskin, namun ia suka pembaharuan. Ketika muncul pipa rokok model barat, ia tidak ragu-ragu mengganti pipa rokok tradisionalÂnya yang bengkok, tidak peduli para tetangga mengÂanggapnya aneh. Rupanya, sifat itu dan juga keteramÂpilannya menangani mesin menurun pada anak sulungnya.
Sebelum masuk sekolah pun, Soichiro sudah senang membantu ayahnya di bengkel besi. Ia sangat terpesona melihat dan mendengar dengung mesin penggiling padi yang terletak beberapa kilometer dari desanya.
Di sekolah prestasinya buruk. Honda mengaku nilai ulangan-ulangannya buruk. Ia tidak suka memÂbaca, sedangkan mengarang dirasakannya sangat sulit.
la juga sering membolos.
"Sampai sekarang pun, saya lebih efisien belajar dari TV ketimbang dari membaca. Kalau saya membaÂca, tidak ada yang menempel di otak," katanya.
Di kelas 5 dan 6, bakat Soichiro menonjol di bidang sains. Walaupun saat itu baru tahun 1910-an, tetapi dalam kelas-kelas sains di Jepang sudah dimunculkan benda-benda seperti baterai, timbangan, tabung reaksi, dan mesin. Dengan mudah, Soichiro menangkap keterangan guru dan menjawab pertanyaannya.
Memanjat Pohon untuk Menonton Pesawat Terbang
Beberapa waktu sebelum itu, untuk pertama kalinya Soichiro melihat mobil. "Ketika itu saya lupa segalaÂnya. Saya kejar mobil itu dan berhasil bergayut sebenÂtar di belakangnya. Ketika mobil itu berhenti, pelumas menetes ke tanah. Saya cium tanah yang dibasahinya. Barangkali, kelakuan saya persis seperti anjing. Lalu, pelumas itu saya usapkan ke tangan dan lengan. Mungkin, pada saat itulah di dalam hati saya timbul keinginan untuk kelak membuat mobil. Sejak saat itu kadang-kadang ada mobil datang ke kampung kami. Setiap kali mendengar deru mobil, saya berlari ke jalan, tidak peduli sambil menggendong adik."
Pada musim gugur 1914, Soichiro mendengar akan datang pesawat terbang ke resimen infantri di kota kecil Hamamatsu. la pernah melihat gambar peÂsawat dan ingin sekali melihat pesawat yang sesungÂguhnya. Tetapi, ia pasti tidak diperkenankan pergi karena tempat itu letaknya 20 km dan' desanya. Dua hart sebelum pesawat tiba, ia mencuri uang dua sen dari ayahnya. Lalu, pada hari kedatangan pesawat ia mengambil sepeda ayahnya untuk dikayuh ke HamaÂmatsu. Sepeda itu terlalu besar dan memakai palang yang menghubungkan kemudi dengan tempat duduk. Kalau Soichiro menaruh pantatnya di sadel, kakinya tidak mungkin mencapai pedal. Jadi, ia mengenjot dari kolong palang.
Ia tibajuga di tempat parade. Pesawat itu sudah ada tetapi celaka dikelilingi pagar tertutup. Orang melihat harus membayar sepuluh sen. Soichiro mengkal sekali. Namun, ia tidak kehilangan akal. Dipanjatnya sebuah pohon cemara yang sebenar- ny
Toa tidak terlalu dekat letaknya. Karena takut dima-
hi kalau ketahuan, ia bersembunyi di balik beberapa cabang yang ia patahkan untuk menutupi dirinya.
Setibanya di rumah, Soichiro mengira ia pasti dihajar orang tuanya. Ternyata, ayahnya cuma marah sebentar. Orang tua itu juga ingin tahu bagaimana rupanya pesawat terbang. Beberapa waktu kemudian Soichiro tampak mengenakan kacamata model pilot yang dibuat dari karton, sedangkan sepedanya dipaÂsangi baling-baling dari bambu. Selama sebulan, tidak bosan-bosannya ia ngebut di jalan-jalan desa, berlagak menjadi pilot.
Soichiro memang bukan anak manis. Di belaÂkang sekolahnya ada kebun semangka. la sering meÂnyelinap ke sana untuk melubangi semangka dan meÂmakan isinya. Buah yang tinggal kulit itu lalu dileÂtakkannya kembali baik-baik di tempat semula, deÂngan bagian yang berlubang di bawah.
Kenakalan lain yang pernah dilakukannya antara lain, suatu hari ia merasa sangat lapar padahal waktu makan belum tiba. la pergi ke kuil kecil bernama Seikai dekat sekolah. Dipanjatnya tempat pemujaan dan dipukulnya tambur besaryang setiap hari di- bunyikan untuk menandakan pukul 12.00 siang. Hampir seluruh penduduk desa memakai bunyi tambur itu sebagai patokan waktu. Hari itu, di sekolah dan di semua rumah di desa itu, makan siang diaju- kan. Soichiro cepat-cepat pulang ke rumahnya untuk makan. Ketika ketahuan Soichiro mengecoh seluruh desa, ia dimarahi habis-habisan oleh orang tuanya.
Di sekolahnya ada patung Jizo. Jizo dalam agama Buddha adalah pelindung anak-anak. Entah mengapa, Soichiro tidak suka pada bentuk hidung Jizo. la ingin mengoreksinya supaya bagus. Walaupun pandai membuat pelbagai macam bentuk dari kawat di bengÂkel ayahnya, namun perkara memapas hidung patung, ia kurang terampil. Hidung Jizo rontok.
Momong Anak Majikan
Soichiro hanya mengalami duduk di bangku sekolah selama 10 tahun. Sesudah lulus SD, anak nakal itu dikirim ke sekolah menengah pertama di Futumata yang tidak jauh dari kediamannya. Lulus dari sekolah menengah itu, ia pulang ke rumah ayahnya. Gihei Honda sudah beralih dari pandai besi menjadi pengÂusaha bengkel sepeda. Gihei Honda mendapat majaÂlah Dunia Roda yang dibaca Soichiro dengan penuh minat.
Di majalah itu, sebuah bengkel mobil dari ToÂkyo memasang iklan mencari karyawan. Soichiro buru-buru melamar dan diterima. Walaupun ayahnya khawatir, namun Soichiro diantar juga ke kota besar itu
Sulit menggambarkan Tokyo pada tahun 1922. Dewasa ini jalan-jalan di Tokyo dipadati oleh mobil (antara lain buatan Honda) dan sepeda motor (buatan Honda juga). Namun tahun 1922, rickshaw-lah yang berkeliaran sedangkan mobil hanya beberapa saja.
Honda tua dan muda tercengang-cengang meÂlihat 10 mobil sekaligus. Maklum, di Hamamatsu mobil paling-paling tampak satu sebulan sekali.
Resminya, Soichiro menjadi calon montir. NaÂmun dalam kenyataan, ia cuma disuruh mengasuh bayi majikan. Bayi itu bercokol di punggungnya. Kalau punggungnya tiba-tiha terasa hangat, tahulah ia bahwa anak asultannya mengompol. Montir-montir lain tertawa-tawa. "Lihat! Peta dunia tergambar lagi di punggung Honda," kata mereka.
Gaji pertamanya sebesar Y 5 sebulan ia belikan peci sopir dengan harapan suatu hari bisa menyopir. Lama-kelamaan, Honda bosan juga jadi tukang momong. Kalau menuruti hati, ia ingin kabur kernÂbali rumah, tetapi malu berhadapan dengan orang tuanya.
Arto Shokai tempatnya bekerja sebuah bengkel yang maju. Memang, di Jepang belum banyak mobil sehingga bengkel pun sedikit. Jadi Arto Shokai tidak kekurangan pelanggan. Suatu hari, tiba-tiba Honda dipanggil.
"Kami sibuk hari ini. Coba kemari, bantu kami."
Honda hampir tidak mempercayai pendengarÂannya. Ia barn saja menjalani ujian ketabahan paling berat yang pernah dihadapinya selama hidup. Di masa-masa setelah itu, ia tidak takut lagi menghadapi rintangan apa pun, berkat ketabahan yang diperolehÂnya selama menjadi kacung.
Bulan September 1923 terjadi gempa bumi hebat yang dikenal sebagai Gempa Hebat Kanto. Tengah hari itu ribuan orang di Tokyo dan Yokohama tewas ditelan bumi yang menganga dan runtuhan bangunan. Sekitar 57.000 orang lagi meninggal dilalap api yang mengÂarnuk dari tungku ibu-ibu yang sedang menanak nasi. Belasan ribu orang yang mencoba melarikan diri dari api tenggelam di terusan-terusan.
Di Arto Shokai, semua orang berusaha menyeÂlamatkan mobil. Honda belum pernah mengendarai mobil, tetapi ia nekat dan berhasil menyelamatkan sebuah mobil. Arto Shokai terbakar hahis. Honda dan keluarga induk semangnya mengungsi ke kolong jembatan kereta api dekat stasiun Kanda di Tokyo limur. Kalau ada waktu, Honda ngojek dengan sebuah sepeda motor yang mempunyai boncengan di sam- ping. Penghasilan dari ngojek dipakainya membeli beras untuk keluarga majikan dan dirinya sendiri.
Sebelum gempa, Arto Shokai mempunyai 15 —16 montir. Mereka pulang karena rumah mereka habis terbakar. Hanya dua yang tinggal: seorang montir tua dan Honda. Akibatnya, Honda pun sibuk membetulÂkan mobil. Baginya gempa bumi malah membawa reÂzeki; ia boleh mengendarai mobil, sepeda motor, dan mereparasi mobil. Tidak lama kemudian, ia mendapat kepercayaan dari majikannya.
Umur 18 tahun, ia dikirim ke Morioka yang leÂtaknya sekitar 760 km dan Tokyo untuk membetulkan mobil pemadam kebakaran. Melihat kedatangan peÂmuda belasan tahun berpakaian kerja (model seragam tentara Jerman), pihak pemilik kendaraan merasa kecewa. Ia diberi kamar di sebelah kamar pembantu perempuan di losmen setempat.
"Kamu yakin bisa membetulkannya?" begitu ia ditanyai berulang-ulang. Honda bekerja tanpa banyak berbicara. Mobil pemadam kebakaran itu dibongkar seluruhnya dan pada hari ketiga sudah terpasang rapi kembali. Ketika diuji, ternyata larinya lancar dan tokcer saat distart.
Sore hari itu, ketika kembali ke losmen, ternyata barang-barangnya sudah dipindahkan ke kelas A. Baginya disediakan "mandi panas" dan makan malamÂnya dilengkapi dengan sake. Seorang pelayan khusus melayaninya.
"Tangan saya gemetar karena belum pernah saya dilayani seperti itu. Lagi pula, baru pertama kalinya saya minum sake."
Pemilik bengkel senang mendengar keberhasilan Honda. Honda masih setahun lagi bekerja di sana. Lalu, ia dibantu majikannya mendirikan bengkel senÂdiri di Hamamatsu. Nama bengkel itu: Cabang Arto Shokai di Hamamatsu. la bekerja di sebuah garasi kecil dengan seorang montir. Ayahnya yang bangga memÂbuatkan sebuah rumah kecil baginya.
Di Hamamatsu ada dua bengkel saingan yang ditangani orang-orang berpengalaman. Mula-mula orang enggan mempercayakan mobilnya kepada bocah ingusan itu. Ia cuma kebagian kendaraan yang sudah tidak mampu dibetulkan orang lain.
Honda yang selama kariernya tidak tahu banyak mengenai uang, cuma mendapat keuntungan sedikit sekali tahun pertama itu. Tetapi, Honda merasa berunÂtung karena bengkelnya "sukses". Ia memutuskan untuk menabung dan memperkirakan selama masa kerjanya akan mampu mengumpulkan sampai Y 1.000 (sekitar AS $ 250).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H