Mohon tunggu...
andy andy
andy andy Mohon Tunggu... wiraswasta -

beyond the limit and enjoy mobility

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Soichiro Honda 2

22 November 2010   16:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:23 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Anak Pemilik Bengkel Sepeda

Soichiro Honda lahir tanggal 17 November 1906 di Iwata-gun (kini Tenryu City) yang terpencil di pre­fektur Shizuoka. Kawasan Chubu yang terletak di an­tara Tokyo, Kyoto, dan Nara di Pulau Honshu itu tadi­nya penuh tanaman teh yang rapi. Di sela-selanya dita­nami arbei yang lezat. Namun, kini daerah kelahiran Honda sudah ditelan Hamamatzu, kota terbesar di provinsi itu.

Ayah Soichiro, Gihei Honda, seorang tukang besi yang beralih menjadi pengusaha bengkel sepeda. Soichiro anak sulung dan sembilan bersaudara, tetapi hanya empat orang yang berhasil mencapai umur dewasa. Yang lain meninggal semasa kanak-kanak akibat kekurangan obat dan sanitasi.

Mula-mula listrik belum masuk ke desa mereka. Ketika listrik dipasang, Soichiro begitu terkesan se­hingga bercita-cita menjadi tukang listrik.

Seingat Soichiro, keluarganya sangat miskin. "Saya ingusan terus. Karena seringnya menyeka hidung dengan lengan kimono, lengan baju itu menjadi

kaku seperti dikanji."

Tetangganya ada yang kaya. Setiap tahun pada tanggal 5 Mei yang merupakan Hari Raya Anak tetangga itu mengadakan pesta. "Tetapi, saya tidak boleh hadir. Anak tetangga sebelah selalu mengusir saya. Katanya, anak jorok seperti saya di­larang masuk."

Menurut te­man sekolahnya, pa­da inasa itu mereka memakai sepatu pe­tani tradisional ka­lau pergi ke sekolah. Bila melihat sepatu bersol jerami padi itu di toko-toko suvenir di Ginza, kita biasanya sangat tertarik, tetapi dalam kehidupan nyata sepatu jerami bukanlah benda yang praktis. Setiap malam Ny. Honda harus menambal sol sepatu anaknya.

Walaupun Gihei Honda miskin, namun ia suka pembaharuan. Ketika muncul pipa rokok model barat, ia tidak ragu-ragu mengganti pipa rokok tradisional­nya yang bengkok, tidak peduli para tetangga meng­anggapnya aneh. Rupanya, sifat itu dan juga keteram­pilannya menangani mesin menurun pada anak sulungnya.

Sebelum masuk sekolah pun, Soichiro sudah senang membantu ayahnya di bengkel besi. Ia sangat terpesona melihat dan mendengar dengung mesin penggiling padi yang terletak beberapa kilometer dari desanya.

Di sekolah prestasinya buruk. Honda mengaku nilai ulangan-ulangannya buruk. Ia tidak suka mem­baca, sedangkan mengarang dirasakannya sangat sulit.

la juga sering membolos.

"Sampai sekarang pun, saya lebih efisien belajar dari TV ketimbang dari membaca. Kalau saya memba­ca, tidak ada yang menempel di otak," katanya.

Di kelas 5 dan 6, bakat Soichiro menonjol di bidang sains. Walaupun saat itu baru tahun 1910-an, tetapi dalam kelas-kelas sains di Jepang sudah dimunculkan benda-benda seperti baterai, timbangan, tabung reaksi, dan mesin. Dengan mudah, Soichiro menangkap keterangan guru dan menjawab pertanyaannya.

Memanjat Pohon untuk Menonton Pesawat Terbang

Beberapa waktu sebelum itu, untuk pertama kalinya Soichiro melihat mobil. "Ketika itu saya lupa segala­nya. Saya kejar mobil itu dan berhasil bergayut seben­tar di belakangnya. Ketika mobil itu berhenti, pelumas menetes ke tanah. Saya cium tanah yang dibasahinya. Barangkali, kelakuan saya persis seperti anjing. Lalu, pelumas itu saya usapkan ke tangan dan lengan. Mungkin, pada saat itulah di dalam hati saya timbul keinginan untuk kelak membuat mobil. Sejak saat itu kadang-kadang ada mobil datang ke kampung kami. Setiap kali mendengar deru mobil, saya berlari ke jalan, tidak peduli sambil menggendong adik."

Pada musim gugur 1914, Soichiro mendengar akan datang pesawat terbang ke resimen infantri di kota kecil Hamamatsu. la pernah melihat gambar pe­sawat dan ingin sekali melihat pesawat yang sesung­guhnya. Tetapi, ia pasti tidak diperkenankan pergi karena tempat itu letaknya 20 km dan' desanya. Dua hart sebelum pesawat tiba, ia mencuri uang dua sen dari ayahnya. Lalu, pada hari kedatangan pesawat ia mengambil sepeda ayahnya untuk dikayuh ke Hama­matsu. Sepeda itu terlalu besar dan memakai palang yang menghubungkan kemudi dengan tempat duduk. Kalau Soichiro menaruh pantatnya di sadel, kakinya tidak mungkin mencapai pedal. Jadi, ia mengenjot dari kolong palang.

Ia tibajuga di tempat parade. Pesawat itu sudah ada tetapi celaka dikelilingi pagar tertutup. Orang melihat harus membayar sepuluh sen. Soichiro mengkal sekali. Namun, ia tidak kehilangan akal. Dipanjatnya sebuah pohon cemara yang sebenar- ny

Toa tidak terlalu dekat letaknya. Karena takut dima-

hi kalau ketahuan, ia bersembunyi di balik beberapa cabang yang ia patahkan untuk menutupi dirinya.

Setibanya di rumah, Soichiro mengira ia pasti dihajar orang tuanya. Ternyata, ayahnya cuma marah sebentar. Orang tua itu juga ingin tahu bagaimana rupanya pesawat terbang. Beberapa waktu kemudian Soichiro tampak mengenakan kacamata model pilot yang dibuat dari karton, sedangkan sepedanya dipa­sangi baling-baling dari bambu. Selama sebulan, tidak bosan-bosannya ia ngebut di jalan-jalan desa, berlagak menjadi pilot.

Soichiro memang bukan anak manis. Di bela­kang sekolahnya ada kebun semangka. la sering me­nyelinap ke sana untuk melubangi semangka dan me­makan isinya. Buah yang tinggal kulit itu lalu dile­takkannya kembali baik-baik di tempat semula, de­ngan bagian yang berlubang di bawah.

Kenakalan lain yang pernah dilakukannya antara lain, suatu hari ia merasa sangat lapar padahal waktu makan belum tiba. la pergi ke kuil kecil bernama Seikai dekat sekolah. Dipanjatnya tempat pemujaan dan dipukulnya tambur besaryang setiap hari di- bunyikan untuk menandakan pukul 12.00 siang. Hampir seluruh penduduk desa memakai bunyi tambur itu sebagai patokan waktu. Hari itu, di sekolah dan di semua rumah di desa itu, makan siang diaju- kan. Soichiro cepat-cepat pulang ke rumahnya untuk makan. Ketika ketahuan Soichiro mengecoh seluruh desa, ia dimarahi habis-habisan oleh orang tuanya.

Di sekolahnya ada patung Jizo. Jizo dalam agama Buddha adalah pelindung anak-anak. Entah mengapa, Soichiro tidak suka pada bentuk hidung Jizo. la ingin mengoreksinya supaya bagus. Walaupun pandai membuat pelbagai macam bentuk dari kawat di beng­kel ayahnya, namun perkara memapas hidung patung, ia kurang terampil. Hidung Jizo rontok.

Momong Anak Majikan

Soichiro hanya mengalami duduk di bangku sekolah selama 10 tahun. Sesudah lulus SD, anak nakal itu dikirim ke sekolah menengah pertama di Futumata yang tidak jauh dari kediamannya. Lulus dari sekolah menengah itu, ia pulang ke rumah ayahnya. Gihei Honda sudah beralih dari pandai besi menjadi peng­usaha bengkel sepeda. Gihei Honda mendapat maja­lah Dunia Roda yang dibaca Soichiro dengan penuh minat.

Di majalah itu, sebuah bengkel mobil dari To­kyo memasang iklan mencari karyawan. Soichiro buru-buru melamar dan diterima. Walaupun ayahnya khawatir, namun Soichiro diantar juga ke kota besar itu

Sulit menggambarkan Tokyo pada tahun 1922. Dewasa ini jalan-jalan di Tokyo dipadati oleh mobil (antara lain buatan Honda) dan sepeda motor (buatan Honda juga). Namun tahun 1922, rickshaw-lah yang berkeliaran sedangkan mobil hanya beberapa saja.

Honda tua dan muda tercengang-cengang me­lihat 10 mobil sekaligus. Maklum, di Hamamatsu mobil paling-paling tampak satu sebulan sekali.

Resminya, Soichiro menjadi calon montir. Na­mun dalam kenyataan, ia cuma disuruh mengasuh bayi majikan. Bayi itu bercokol di punggungnya. Kalau punggungnya tiba-tiha terasa hangat, tahulah ia bahwa anak asultannya mengompol. Montir-montir lain tertawa-tawa. "Lihat! Peta dunia tergambar lagi di punggung Honda," kata mereka.

Gaji pertamanya sebesar Y 5 sebulan ia belikan peci sopir dengan harapan suatu hari bisa menyopir. Lama-kelamaan, Honda bosan juga jadi tukang momong. Kalau menuruti hati, ia ingin kabur kern­bali rumah, tetapi malu berhadapan dengan orang tuanya.

Arto Shokai tempatnya bekerja sebuah bengkel yang maju. Memang, di Jepang belum banyak mobil sehingga bengkel pun sedikit. Jadi Arto Shokai tidak kekurangan pelanggan. Suatu hari, tiba-tiba Honda dipanggil.

"Kami sibuk hari ini. Coba kemari, bantu kami."

Honda hampir tidak mempercayai pendengar­annya. Ia barn saja menjalani ujian ketabahan paling berat yang pernah dihadapinya selama hidup. Di masa-masa setelah itu, ia tidak takut lagi menghadapi rintangan apa pun, berkat ketabahan yang diperoleh­nya selama menjadi kacung.

Bulan September 1923 terjadi gempa bumi hebat yang dikenal sebagai Gempa Hebat Kanto. Tengah hari itu ribuan orang di Tokyo dan Yokohama tewas ditelan bumi yang menganga dan runtuhan bangunan. Sekitar 57.000 orang lagi meninggal dilalap api yang meng­arnuk dari tungku ibu-ibu yang sedang menanak nasi. Belasan ribu orang yang mencoba melarikan diri dari api tenggelam di terusan-terusan.

Di Arto Shokai, semua orang berusaha menye­lamatkan mobil. Honda belum pernah mengendarai mobil, tetapi ia nekat dan berhasil menyelamatkan sebuah mobil. Arto Shokai terbakar hahis. Honda dan keluarga induk semangnya mengungsi ke kolong jembatan kereta api dekat stasiun Kanda di Tokyo limur. Kalau ada waktu, Honda ngojek dengan sebuah sepeda motor yang mempunyai boncengan di sam- ping. Penghasilan dari ngojek dipakainya membeli beras untuk keluarga majikan dan dirinya sendiri.

Sebelum gempa, Arto Shokai mempunyai 15 —16 montir. Mereka pulang karena rumah mereka habis terbakar. Hanya dua yang tinggal: seorang montir tua dan Honda. Akibatnya, Honda pun sibuk membetul­kan mobil. Baginya gempa bumi malah membawa re­zeki; ia boleh mengendarai mobil, sepeda motor, dan mereparasi mobil. Tidak lama kemudian, ia mendapat kepercayaan dari majikannya.

Umur 18 tahun, ia dikirim ke Morioka yang le­taknya sekitar 760 km dan Tokyo untuk membetulkan mobil pemadam kebakaran. Melihat kedatangan pe­muda belasan tahun berpakaian kerja (model seragam tentara Jerman), pihak pemilik kendaraan merasa kecewa. Ia diberi kamar di sebelah kamar pembantu perempuan di losmen setempat.

"Kamu yakin bisa membetulkannya?" begitu ia ditanyai berulang-ulang. Honda bekerja tanpa banyak berbicara. Mobil pemadam kebakaran itu dibongkar seluruhnya dan pada hari ketiga sudah terpasang rapi kembali. Ketika diuji, ternyata larinya lancar dan tokcer saat distart.

Sore hari itu, ketika kembali ke losmen, ternyata barang-barangnya sudah dipindahkan ke kelas A. Baginya disediakan "mandi panas" dan makan malam­nya dilengkapi dengan sake. Seorang pelayan khusus melayaninya.

"Tangan saya gemetar karena belum pernah saya dilayani seperti itu. Lagi pula, baru pertama kalinya saya minum sake."

Pemilik bengkel senang mendengar keberhasilan Honda. Honda masih setahun lagi bekerja di sana. Lalu, ia dibantu majikannya mendirikan bengkel sen­diri di Hamamatsu. Nama bengkel itu: Cabang Arto Shokai di Hamamatsu. la bekerja di sebuah garasi kecil dengan seorang montir. Ayahnya yang bangga mem­buatkan sebuah rumah kecil baginya.

Di Hamamatsu ada dua bengkel saingan yang ditangani orang-orang berpengalaman. Mula-mula orang enggan mempercayakan mobilnya kepada bocah ingusan itu. Ia cuma kebagian kendaraan yang sudah tidak mampu dibetulkan orang lain.

Honda yang selama kariernya tidak tahu banyak mengenai uang, cuma mendapat keuntungan sedikit sekali tahun pertama itu. Tetapi, Honda merasa berun­tung karena bengkelnya "sukses". Ia memutuskan untuk menabung dan memperkirakan selama masa kerjanya akan mampu mengumpulkan sampai Y 1.000 (sekitar AS $ 250).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun