Diskusi di Kompasiana kelihatannya lebih banyak kontranya daripada “anggukan” setuju (apa ya, soalnya belum ada survey). Lebih suka berantemnya! Napa ya? Apa terkait dengan watak dasar manusia? (yang berotak primitive?). Menurut si filosof, secara tidak sadar, alamiah gitu, jiwa manusia memerlukan rangsangan secara teratur sebanyak yang dibutuhkan oleh tubuh dan pikiran.
Neurosains menunjukkan, meski otak rasional mengatakan “ogah” pada persoalan, namun sistem saraf meminta sebaliknya. Ia meminta kerumitan yang lebih banyak dan memohon, "Tolong! Toloong…![yang ini tambahan bro] Tidak ada persoalan berarti tidak ada tantangan. Terlalu sedikit ransangan. Saya ingin lebih tergerakkan!"
Perang! Bukan hanya soal bunuh-bunuhan. Perang punya misi suci! Pak Bush bilang, perang Salib! (meski diralat, takut kali ya?). Bali Bomber bilang, hangusin (kaum kafir! Yang tidak kafir ikut kena? kasian). Makin-makian, bukan sekedar ekspresi kebencian. Ia sifat (watak) dasar manusia yang menginginkan hidup lebih berarti melalui krisis (sesuatunya yang tidak berjalan dengan baik).[+]
Ketidakberaturan[++] melahirkan dilema yang menantang untuk dikonfrontasi, isu yang menarik untuk didiskusikan, simpati yang lebih besar atas problem orang lain. Jangan heran bila sebagian orang menghendaki datangnya “kesengsaraan” untuk mendapatkan getaran dan sensasi kepahlawanan. Malah filosof Islam, M Iqbal, nyuruh-nyuruh lagi, “Terjunlah di tengah samudra, lawan ombak gelombang, segala penentuan ada pada Tuhan.” Wow, aktualitas kok serem seh!
Nolan Bushnell keliatannya dukung nih. Dia bilang, "Keberhasilan merupakan sesuatu yang membosankan" yang senada dengan filsuf Bertrand Russell, "Keberhasilan membuat seseorang mudah terserang kebosanan". Agar tetap terjaga, dibutuhkan persoalan baru yang membangkitkan semangat. Makanya Amerika ingin perang terusss! (meski mau kolaps) Liat tuh…! Tidak kenal takut,seperti yang dikatakan oleh Antonio Machalo, "Para pengelana, jalanmu adalah yang kau buat ketika berjalan."
Keberhasilan mengubah sebuah cerita. Mereka bukan lagi penjelajah, yang menyukai tantangan, krisis. Mereka berubah jadi manusia “agung” yang memiliki banyak fans (ada yang bangga kalau tulisannya banyak hits…). Namun di alam bawah sadarnya sering mengalami rasa takut akan kejemuan (air tenang yang penuh endapan lumpur)[+++]. Wajar bila kesengsaraan (krisis) menjadi begitu memesona, layaknya kesengsaraan para nabi besar manusia!
Manfaat Krisis
Psikolog Ian H Robertston mengatakan, semua pikiran dan petimbangan, daya ingat dan perasaan sakit "disulam dalam jaringan getaran 100 miliar sel otak" atau sekitar 100.000 miliar hubungan. Ini mungkin, karena rata-rata setiap sel otak dihubungkan 1000 kali dengan neuron lain sehingga akan banyak sel sinapsis dalam satu otak manusia daripada bintang di alam semesta.
Saat membaca misalnya, akan memperbesar sinapsis elektrokimia yang terjadi dalam bagian otak. Perhatian dan berkonsentrasi, kata Robertson, dapat "memicu aktivitas otak dengan menambah atau mengurangi laju kecepatan pada saat sederet sinapsis mengirim sinyal" dan ini akan membuat getaran jaringan semakin besar dan kuat, sehingga perhatian merupakan unsur penting untuk pembentukan otak.
Ahli saraf Jeff Victoroff menanyakan, "Apa sebaiknya yang harus Anda lakukan untuk membantu menyelamatkan otak Anda? Membaca ensiklopedia?" Jawaban yang benar adalah menjalani hidup kita sepenuhnya-tidak hanya dengan menonton televisi dan menunggu sampai katarak mengaburkan pandangan, dan tidak sekadar hadir atau menempati ruang-waktu, (menunggu) jam tangan dilepas dari pergelangan Anda. "Lompatlah dengan kedua kaki ke masa depan," ujarnya. Tepatnya, sambutlah tantangan, krisis!
Perhatikan saran para Sufi, yang mendorong manusia untuk berani merambah wilayah-wilayah yang masih baru. Kalau tidak punya kemampuan mendorong diri “berpetualang”, menghadapi chaos, perubahan, ketidakberaturan, bagaimana sang diri bisa tahu kemampuannya? Akankah burung bisa terbang bila dia takut pada langit yang tak bertepi? “Kau sendirilah hambatan terbesarmu bangkitlah lebih tinggi dari dirimu,” kata Hafiz, pujangga Sufi Persia.