Mohon tunggu...
Wyndra
Wyndra Mohon Tunggu... Konsultan - Laki-laki

Profesional, penikmat film Warkop DKI & X-File.\r\nHORMATILAH KARYA TULIS MILIK ORANG. Tidak ada FB dan Twitter

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Rekomendasi Vs Praperadilan: Bibit-Chandra Phobia atau Ksatria?

27 April 2010   08:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:33 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelegar tuduhan kriminalisasi atas dua petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad & Chandra Hamzah, terhadap Polri karena menjadikan keduanya sebagai Tersangka dalam tindak pidana penyalahgunaan wewenang (Pasal 23 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 dan Pasal 421 KUHP :  membuat keputusan cekal dan pencabutan cekal tanpa persetujuan seluruh pimpinan KPK), dan penyuapan/pemerasan kepada Anggodo melalui Ary Muladi (Pasal 12 huruf e dan Pasal 15 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001), sejatinya telah  meredup dengan "disetujuinya" Rekomendasi Tim 8 oleh Kejaksaan RI sesuai Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan/SKPP tahun lalu (selengkapnya disini). Setidaknya itulah tuntutan (baca : "tekanan") dan tujuan publik yang dikampanyekan oleh berbagai media, serta  aksi situs jejaring sosial yang dikenal sebagai facebookers. Pun tidak terdengar suasana hingar-bingar  publik ketika dikabarkan 3 pemohon yang mengaku sebagai pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan permohonan praperadilan (pretrial) menggugat keabsahan SKPP tersebut (selengkapnya disini), alih-alih legal standing sesuai Pasal 80 KUHAP, karena pada akhirnya toh hakim pengadilan negeri menolak upaya mereka tersebut.

Hingga pada tanggal 19 April 2010 lalu, ketika hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Nugroho Setiaji, mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan kuasa hukum Anggodo Widjojo, yang amar putusannya antara lain membatalkan SKPP Bibit-Samad dan memerintahkan Kejaksaan untuk melimpahkan perkara mereka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (selengkapnya disini), suara "publik" kembali menggemuruh, menentang dan menolak putusan tersebut. Tidak saja masyarakat umum, eks-anggota Tim 8 (yang nama lengkapnya "Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Atas Kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Rianto" berdasarkan Keppres No. 31 Tahun 2009) pun ikut serta dalam barisan "suara mayoritas", seakan tidak rela hasil pekerjaannya (baca : rekomendasi) dipatahkan putusan sang hakim praperadilan. Todung M. Lubis, misalnya, menyatakan putusan tersebut merupakan denial of justice (disini). Komarudin Hidayat mencurigai putusan tersebut bernuansa suap (disini).

Tidak seperti saat Bibit-Chandra dijadikan Tersangka dimana liputan dan posisi media televisi lebih banyak mengumbar suara barisan mayoritas penentang "kebijakan kriminalisasi" lengkap dengan sentimen subyektif dan alasan  emosional, kali ini terasa konservatif dengan mengungkap berbagai argumentasi dan analisis illmiah-yuridis para praktisi hukum secara cukup berimbang. Ambil contoh penentang "kebijakan kriminalisasi" tersebut seperti profesor hukum "partisan" di Parlemen yang mengusulkan agar Kejaksaan men-deponeer atas alasan kepentingan umum sesuai diskresinya. Atau ahli hukum tata negara  Universitas Andalas yang menilai jaksa telah "berjudi" karena telah mengambil langkah banding sesuai Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Sedangkan dari arah berlawanan terdapat dukungan beberapa anggota Parlemen,  ahli hukum pidana Universitas Indonesia serta pimpinan organisasi profesi advokat terhadap putusan praperadilan, sekaligus menghimbau kedua petinggi tersebut agar menjalani proses hukum.

Ihwal Rekomendasi itu memang menarik dan unik. Secara umum istilah tersebut merupakan opsi, usulan atau himbauan. Namun ketika menelisik substansinya, menurut saya tidak lain adalah sebuah judgement atau penilaian atas sebuah proses yang tengah berjalan. Saya sendiri cenderung menafsirkannya sebagai eksaminasi. Dari sisi institusional, Tim 8 yang bersifat ad-hoc, bisa dikategorikan sebagai lembaga ekstra-yudisial karena sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum dan peradilan negeri ini.

Saya tidak punya pretensi terhadap tokoh atau institusi manapun. Sama seperti masyarakat luas, pretensi dan kehendak tersebut semata-mata adalah tegaknya keadilan dan kesejahteraan, serta meningkatnya pemahaman dan kesadaran melalui upaya edukasi dan menjadikan figur publik sebagai panutan (top-down). Sejujurnya, dalam persoalan Bibit-Chandra ini saya  memang melihat adanya kesan rivalitas dan retaliasi antara KPK-Polri. Lebih dari itu, logika sederhana saya mengatakan ada kecenderungan penerapan asumsi dalam penyidikan Bibit-Chandra.

Namun demikian, saya toh harus mengatakan bahwa seorang abdi negara apalagi yang mempunyai tugas, tanggungjawab serta kewenangan menegakkan hukum dan keadilan, lazimnya tidak "rajin" dan "pesta pora" atau kerap pasang aksi di depan media. Berhematlah memberikan pendapat & tampil di depan corong dan kamera para jurnalis media. Berhentilah melakukan "roadshow" untuk mendapatkan simpati publik. Lebih khusus lagi, sebagai seorang abdihukum, seharusnya anda bisa bertindak "wajar" ketika dituduh melakukan perbuatan kriminal. Bukankah anda sering menahan atau mempidanakan orang-orang yang belum tentu bersalah hingga diputus final oleh hakim? Artinya,  profesional saja tohh..? TIdak perlu lah panik dan "asyik" menggalang opini. Lakukan saja sesuai sistem dan prosedur. Bukankah sudah ada forum untuk melakukan pembelaan dan perlawanan..?

Pada sisi yang lain, tidaklah ada salahnya bagi masyarakat luas untuk berinisiatif untuk dukung-mendukung. Namun, dominasi dan mayoritas suara tidak equivalen dan linier dengan kebenaran. Sejujurnya saya tidak langsung percaya dengan maksim "vox populi vox dei" atau "suara rakyat adalah suara Tuhan" melalui mekanisme dominasi dan mayoritas a la voting, khususnya bila diterapkan di kehidupan kaum urban Indonesia. Itu karena sarat pengaruh kepentingan, subyektivitas, sikap disiplin, egosentris, hipokrit dan sebagainya. Sederhana saja, kita bisa melihat contoh konkrit tersebut ketika ada di jalan raya. Pengendara angkutan umum yang penuh bisa mengumpat kepada pengendara angkutan umum lain yang berhenti seenaknya, tapi ketika yang bersangkutan berada diposisi sebaliknya, tidak ada jaminan perilakunya bisa tertib. Demikian halnya ketika kita melihat pengendara lain menyalip di bahu jalan.

Mari kita tunggu hasil keputusan praperadilan SKPP Bibit-Chandra di tingkat banding (Pengadilan Tinggi DKI), dan bersama menghormati serta mentaati apapun hasilnya. Demikian kita bangun kesadaran bersama dan menghindari penghentian proses yang tengah berjalan sebagai preseden buruk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun