Rupanya belum ada tempat yang aman bagi kehidupan satwa-satwa liar. Sekalipun aturan yang menetapkan mereka sebagai satwa dilindungi (endangered species) dalam konvensi internasionalseperti Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan nasional seperti Lampiran Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, baik yang terancam punah (threatened with extinction) maupun yang populasinya jarang/endemik, tetapi keselamatan dan kelestariannya masih saja menjadi pertaruhan besar. Tidak hanya terjadi di dalam habitat aslinya (in-situ), tetapi juga di luar (ex-situ) berwujud kebun binatang sebagai salah satu jenis Lembaga Konservasi.
Bagi para pengamat, pemangku jabatan dan aktivis lingkungan khususnya yang menekuni konservasi keanekaragaman hayati (biological diversity), dua peristiwa yang telah diberitakan luas oleh media cetak maupun elektronik ini menunjukkan masifnya tindak pidana atau kejahatan konservasi. Yang pertama adalah temuan tulang-tulang orang utan (pongo pygmaeus morio) di perkebunan kelapa sawit Desa Puan Cepak, Muara Kaman, Kutai Kertanegara (Kompas). Saksi kepala desa dan ahli Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman juga menguatkan fakta-fakta tersebut (disini) dan (disini). Bukan cuma itu, fakta yang ditemukan oleh Centre of Orangutan Protection bulan Agustus 2011 lalu itu juga melaporkan perdagangan tengkorak orangutan sebagai sovenir secara sembunyi-sembunyi di Pontianak, Palangkaraya dan Balikpapan (COP).
Tragedi konservasi lainnya adalah kematian komodo di Kebun Binatang Surabaya. Ini malah memalukan dan sangat ironi, satwa yang dikampanyekan secara luas oleh Pendukung Pemenangan Komodo (P2Komodo) dipimpin Emmy Hafild untuk menjadi New7Wonders tersebut, ternyata mati karena sakit-sakitan dan kurang makan, justru di tempat perawatan dan pengembangbiakkan luar habitat (ex-situ). Bukan satu, tetapi dua sekaligus dalam bulan Oktober lalu. Bukan cuma Komodo, tapi ternyata juga rusa, ular phyton, dan rusa (disini). Lagi-lagi inilah "prestasi" Kebun Binatang Surabaya, yang mengklaim berpengalaman 95 tahun mengurusi satwa.
Lalu, apakah status "dilindungi" bagi satwa-satwa yang mati tersebut menimbulkan dampak tertentu? Tegasnya, apakah status tersebut memberikan keistimewaan terhadap kematian satwa yang tidak alamiah atau wajar ?
Bagi yang berlogika praktis, status tersebut tidak memiliki makna yang berarti karena satwa dilindungi adalah binatang seperti juga pada umumnya. Dia tidak berakal, tidak pula berkontribusi secara langsung terhadap kehidupan jangka pendek manusia. Sudah biaya pemeliharaan dan pemantauannya besar, sulit pula bisa diakrabi karena mereka tetap satwa liar. Sebagian lagi meyakini, perburuannya justru berguna bagi bahan dasar obat alternatif, dijual bagian-bagiannya sebagai sovenir, dan sebagainya. Yang lain beralasan untuk "sekadar" memuaskan nafsu dan hasrat maskulinitas, gagah-gagahan atau ekspresi penaklukan (conquer), seperti kisah Sukatmoko, petugas Taman Nasional Way Kambas, yang kerap berhadapan dengan aksi orang-orang berseragam TNI memburu satwa-satwa dilindungi di wilayah tersebut (Kompas, 9 Nopember 2011, halaman 16).
Mereka yang paham dan berkomitmen terhadap pelestarian lingkungan tentunya tidak akan menggunakan dan menentang logika tersebut. Pencantuman "dilindungi" bagi satwa memberikan keistimewaan perlakuan karena keunikan dan kekhasan bentuk, warna, sejarah, dan karakteristik alami lainnya, sehingga secara komersial dapat meningkatkan industri pariwisata. Pencantuman tersebut juga menunjukkan bukti keterbatasan populasinya akibat degradasi habitat, perubahan iklim atau perburuan manusia sebagai sebab klasik, sehingga negara perlu memberikan perlindungan khusus. Sementara bagi mereka yang menekuni disiplin tertentu seperti biologi, teknik lingkungan, kehutanan, dan lainnya, peran dan fungsi satwa tersebut terhadap keseimbangan ekosistem, menjalankan siklus atau seleksi alam, dan mengurai rantai makanan, tidak dapat diremehkan.
Dua peristiwa kematian satwa dilindungi tersebut menunjukkan kejahatan konservasi yang masif. Mengapa demikian, karena orangutan yang ditemukan sudah berupa tengkorak dan tulang, sehingga mengindikasikan akibat dari pembunuhan yang dilakukan pada waktu lampau. Tidak cuma itu, banyaknya tulang yang ditemukan menunjukkan adanya perburuan secara rapid. Anehnya, penyidik BKSDA maupun Polda samasekali tidak bisa mengendus aksi-aksi tersebut. Apalagi apabila kita mengamati berita adanya sayembara oleh kelompok yang pro-pemilik konsesi perkebunan kelapa sawit terhadap masyarakat/pekebun untuk "berburu" orangutan karena dianggap sebagai "hama". "Kesibukan" baru dipertontonkan mereka ketika penemuan tersebut dipublikasikan oleh aktivis lingkungan dan peneliti kampus melalui media secara luas. Apakah ini gejala apatis dan permisif ?
Lebih geli dan irasional lagi mengamati respon para penyidik terhadap kematian satwa-satwa dilindungi di Kebun Binatang Surabaya (KBS). Kematian yang merupakan kejadian yang berulang tersebut sesungguhnya bisa membuat mereka berinisiatif sejak dini menguji indikasi pelanggaran hukum yang diatur Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, dan menerapkan ancaman pidana terhadap pihak-pihak KBS. Pasal tersebut berbunyi :
"Setiap orang dilarang untuk :
a. mengambil, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;