Bukan hal yang mengejutkan ketika membaca berita di harian Pos Kota tanggal 11 Desember lalu. Namun ini tidak berarti penulis telah apatis atau permisif terhadap fenomena semacamnya dan masih berulang. Tersebutlah pengungkapan penimbunan satwa dilindungi untuk obat tradisional yang siap diekspor ke China oleh Polsek Metro Penjaringan. Dilaporkan ada 241,24 kg kulit trenggiling (manis javanicus), 3 penyu diawetkan, dan 18,48 kg kuda laut (hippocampus kuda) di Apartemen Mitra Bahari. Tertangkap pula seorang warga negara Cina dalam operasi tersebut. Satwa-satwa itu listed diantara ratusan satwa langka (endangered species) dalam lampiran Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa maupun CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) kategori I disini. Wajar bila pengamat konservasi mengucapkan selamat atas prestasi aparat kepolisian tersebut.
Begitu tingginya kejahatan konservasi terhadap spesies langka di negeri ini. Peruntukannya pun sudah terpola : bahan dasar racikan obat tradisonal Cina. Isu ini juga pernah saya ulas disini. Entah bencana apa yang terjadi saat aneka ragam kekayaan hayati otentik negeri ini benar-benar punah, mengikuti harimau jawa (panthera tigris javanica) dan harimau bali (panthera tigris balica) akibat perburuan sindikat. Ya secara komersial bagi eksotisme pariwisata (ecotourism), ya secara ekologis bagi lingkungan berupa putusnya rantai makanan dan siklus alam.
Namanya sindikat tentunya melibatkan jejaring organisasi yang bekerja sistematis pada bidang terlarang (illicit) dan kadang terintegrasi walau tidak terstruktur dan berwujud (invisible). Adanya demand dan supply menjadikan sindikat terus menyusup kedalam lembaga resmi hingga lintas negara, dan membina pelaku sebagai eksekutor. Kita tahu, demand adalah importir, pihak asing yang menadah organ satwa untuk diracik sebagai bahan dasar obat tradisional. Dengan logika umum, praktek ini mestinya terdeteksi pejabat negara importir, apalagi sudah menjadi isu global dalam berbagai investigasi. Sebut saja majalah TIME, tayangan Discovery, National Geographic dan kajian kritis lainnya. Entah pemerintah negara importirnya yang bebal, ikut menjadi anggota sindikat, atau para pelaku pasar yang terlalu "gelap" dan lihai, toh demand organ satwa langka tetap saja tinggi. Padahal beragam kampanye anti-perdagangan satwa langka dilakukan organisasi-organisasi konservasi disini
Kembali ke berita diatas, ada modus anyar yang bisa membuat kita tercengang. Tidak seperti praktek sebelumnya yang menjadikan perumahan (landed house) sebagai locus untuk menyembunyikan/menimbun hasil perburuan satwa dilindungi, kali ini menyasar ruang di bangunan tinggi alias apartemen. Akal bulus bandit konservasi rupanya meniru kiat para bandit narkoba yang keblinger dengan segudang fasilitas apartemen, termasuk jaminan sekuriti terhadap tamu penyewa, sehingga dianggap sebagai safe house kejahatan mereka.
Secara definitif, satu rujukan The Random House of Dictionary of The English Language mengatakan, apartment is a room or combination of rooms among similar sets in one building designed, for use as dwelling. Apartemen merupakan hunian untuk rumah tinggal yang menumpuk/tersusun ke atas atau vertikal, seiring efisiensi karena keterbatasan lahan bagi perumahan yang menyebar atau horisontal (landed house). Dengan konstruksi tersusun tersebut, apartemen adalah rumah susun. Prof. Ir. Eko Budihardjo membuat padanan rumah susun sebagai flats atau multi storey housing dan diklasifikasikan dalam kelompok rumah susun bertangga (walk up flats) maksimum berlantai4, dan kelompok rumah susun berlift lebih dari 4 lantai (Eko Budihardjo, 2009).
Apartemen memang menyediakan berbagai fasilitas bagi para penghuninya. Tidak hanya jaminan kenyamanan dan keamanan, tapi juga kerahasiaan dan kemudahan. Bila membandingkannya dengan persyaratan teknis, khususnya keandalan bangunan gedung yang ditentukan Pasal 16 hingga Pasal 32 Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, nyaris seluruh aspek didalamnya terwujud dan dapat dinikmati penghuninya, seperti keselamatan, kesehatan, kenyamanan, kemudahan, dan sebagainya. Sangat mungkin karena jaminan keamanan dan kerahasiaan itulah apartemen kini menjadi safe house bagi tindak kejahatan seperti perdagangan satwa langka.
Memperdagangkan satwa dilindungi bukanlah sesuatu yang haram. Tentunya dengan persyaratan yang sangat ketat, mulai dari penangkapan (Peraturan Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/2003), penangkaran (Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar), pengangkutan (Surat Angkut Tumbuhan Satwa Dalam Negeri/SATS-DN atau SATS-LN) hingga perdagangan. Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan, satwa dilindungi yang dapat diperdagangkan, yaitu hanya pada generasi kedua dan selanjutnya (F2), serta bukan merupakan jenis anoa, babi rusa, badak jawa, badak sumatera, biawak komodo, cendrawasih, elang jawa, harimau sumatera, lutung mentawai, orang utan dan owa jawa spesies (Pasal 34). Perdagangannya pun setelah diberikan ijin penangkarannya serta spesiesnya telah dinyatakan tidak dilindungi berdasarkan kajian LIPI sebagai scientific authority.
catatan : foto adalah ilustrasi diambil dari treehuger.com
Menyadur, mengutip, menyalin, termasuk copy-paste, materi dan/atau kalimat dalam tulisan ini tanpa menyebut/merujuk sumber/pemiliknya adalah pelanggaran etika, dan pidana hak cipta (copy rights
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H