Mohon tunggu...
Wyndra
Wyndra Mohon Tunggu... Konsultan - Laki-laki

Profesional, penikmat film Warkop DKI & X-File.\r\nHORMATILAH KARYA TULIS MILIK ORANG. Tidak ada FB dan Twitter

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

The Oceans: Derita Dibalik Potret Keajaiban dan Keindahan Hayati Penghuni Samudera

7 Juni 2010   12:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:41 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ada hasrat dan energi yang begitu besar untuk menyaksikan film ini ketika saya melihat poster berwarna biru laut, bergambar ikan paus besar menyelam dari permukaan air. "Ocean", demikian judul film yang dikemas oleh Jacques Perrin dan Jacques Cluzaud tersebut. Sudah terbayang di pikiran saya kalau film ini bergenre dokumenter, kategori yang dikenal luas memiliki penikmat terbatas karena miskin hiburan namun sarat pesan bahkan kerap bernuansa satire.

Sekilas "Ocean" tidak berbeda dengan film-film dokumenter lain bertema lingkungan. Tentunya kompasianer masih ingat dengan "Earth", film layar lebar yang ditayangkan jaringan BLITZ-Megaplex tahun lalu, dan kabarnya disponsori oleh grup usaha Medco serta dipromosikan oleh WWF Indonesia. Atau apabila kita melihat liputan National Geographic, Animal Planet dan Discovery melalui siaran televisi kabel, hampir semuanya mengungkap dan membedah rekaman keunikan perilaku spesies dan habitat secara mengensankan.

Dalam pengamatan dan penilaian saya, "Ocean" memiliki kekhasannya sendiri.  Selain memfokuskan hanya pada spesies habitat laut samudera, film berdurasi sekitar 1 jam 45 menit ini sangat menakjubkan karena secara sempurna berhasil merekam berbagai momen atraktif interaksi langka diantara beragam spesies di laut dalam. Tidak terlalu heran karena banyaknya lembaga profit maupun non-profit yang mendukung film ini dan disebut pada bagian awal. Sebut saja Foundation Total, Foundation Prince Albert II de Monaco, Credit Agricole, dan sebagainya.

Beberapa rekaman momen tersebut misalnya ketika ratusan bahkan ribuan kepiting bertemu berhadap-hadapan di dasar laut, layaknya dua kelompok pasukan yang akan bertarung di medan perang, kemudian bertumpuk-tumpuk dan akhirnya membentuk formasi layaknya bangunan tinggi. Entah apa maknanya. Atau ketika puluhan burung menghujam 90 derajat dari udara ke kedalaman air, layaknya peluru yang ditembak kedalam air, dan memangsa sekelompok ikan. Adalagi ketika sang narrator berucap : "A predator can be a protector", saat merekam beberapa ikan berenang dibawah dan mengikuti ikan hiu, atau ketika ikan tersebut menyelinap masuk kedalam sirip ikan hiu. Atau di bagian akhir film, ketika induk anjing laut sambil memeluk, mengajarkan sang bayi mengakrabi habitatnya di perairan es.

Demikianlah rangkaian cerita menakjubkan tentang keajaiban dan keindahan keankearagaman hayati (biological diversity) samudera yang berhasil direkam produser "Ocean". Cerita yang menghabiskan hampir 80% porsi durasi film. Lantas bagaimana cerita dokumentasi sisanya? Ini pula yang menjadi kekhasan dibanding film dokumenter lain yang sejenis. Di bagian ini kita diajak untuk introspeksi, memahami dan meningkatkan kepedulian dan kesadaran untuk tidak mengeksploitasi kekayaan laut (overfishing),  tidak melakukan pencemaran (water pollutant/industrial waste) terhadap habitat spesies laut, memperhatikan keseimbangan ekosistem, serta melaksanakan ketentuan perlindungan spesies (endangered species) sesuai CITES dibawah United Nations Environment Programme (UNEP) (disini).

Porsi kecil yang tersisa merupakan potret suram dan derita populasi spesies penghuni laut dalam (deep down water). Ketika jejaring besar disebarkan ke dalam lautan, menjaring tidak saja kelompok besar spesies ikan tuna, tapi juga kura-kura, paus, dan beberapa satwa lain. Cerita selanjutnya adalah peristiwa dramatis bagaimana hasil-hasil tangkapan itu berjuang melepaskan diri dari jerat tangkapan,  meronta, dan pada akhirnya adegan ditutupi dengan memerahnya air laut akibat bercampur darah. Tidak hanya itu, "Ocean" juga "berhasil" memotret aksi barbaric sang nelayan yang dengan dingin memotong sirip belakang dan samping tuna, membuang tubuhnya kembali ke laut, hingga akhirnya meronta-ronta di dasar laut tanpa sirip. Momen lainnya adalah adegan perburuan (hunting) paus ketika beberapa tembakan panah (harpoon) menancap pada tubuh paus, dan yang kembali tersisa adalah kucuran darah yang memerah.

Suguhan dua pertentangan potret dalam "Ocean" tersebut tentunya bukan tanpa pesan dan makna. Demikianlah ungkapan Director seperti tercetak dalam pamflet yang disediakan secara gratis:

"Four years shooting led us to very specific places in our planet that one could classify in two wide categories: those where life appears to express itself, as it has done for thousands, if not millions, of years, and those where obviously the natural order has seriously changed. The abundant sea life that we are searching for no longer exists in places ruined by human activities : over fishing, pollution, cemented over seacosts..."

Saya pernah bercerita soal populasi dan konsumsi ikan tuna, bagaimana kita perlu membatasi kebiasaan atau gaya hidup mengonsumsinya (disini). Lebih penting lagi adalah bagaimana kita bisa memandang paus (whales) sebagai satwa mamalia yang sebagian besar merupakan kategori I CITES (disini) sehingga terlarang sebagai obyek perburuan, sedangkan sisanya hanya dapat diburu dengan ijin khusus (special permit catches) (disini).

Menurut David G. Gordon and Alan Baldridge dalam bukunya berjudul "Gray Whales", diterbitkan Monterey Bay Aquarium, 1991, paus termasuk orde mamalia (mamals), yang dikenal dengan sebutan cetaceans, terdiri dari berbagai jenis paus, lumba-lumba (dolphins) dan porpoises. Seperti halnya ikan, cetaceans hidup di air, namun tidak seperti ikan, cetaceans adalah mamalia berdarah panas, bernafas dengan paru-paru dan bereproduksi dengan cara melahirkan.

Masih dalam literatur yang sama, ahli biologi membagi paus kedalam 2 kategori besar, yaitu bergigi (toothed whales) dan tidak bergigi (toothless). Paus bergigi (toothed whales) termasuk physeter macrocepphalus atau "sperm whales" dan hampir 70 spesies lain. Sedangkan paus yang tidak bergigi (toothless whales) merupakan "baleen whales", yang diterjemahkan dengan sebutan mysticeti, diantaranya dikenal dengan humpbacks (megaptera novaeangliae) dan paus biru atau blue whale (balaenoptera musculus), satwa terpanjang yang pernah hidup mendiami planet bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun