Hingga dibuatnya tulisan ini, saya sudah melihat beberapa kompasianer menyajikan tulisan tentang MoDis, tanggal 27 Maret 2010, di Hotel Santika, Petamburan, Jakarta. Sebut saja seperti Dian Kelana, Wijaya Kusuma, Bhayu, Faizal Assegaf dan Prayitno Ramlan (dua nama terakhir tidak tampak dalam pengamatan saya pada acara tersebut). Adalah sangat menarik menyelami persepsi para kompasianer tersebut serta segenap tanggapan kompasianer lainnya tentang ketokohan, kepemimpinan, dan kebijaksanaan seorang Jakob Oetama, baik yang bernada pujian, dukungan, kritikan maupun kecaman. Dalam dimensi dan relasi kemanusiaan, toh kita harus mahfum bahwa setiap kita mempunyai keunggulan (strength) maupun kelemahan (weakness) yang berbeda-beda.
Ada hal yang mengensankan saya ketika mendengar pandangan awal beliau, yaitu mengenai pentingnya budaya membaca dan menulis dalam masyarakat kita. Bagaimana sebuah kekuatan huruf bisa membuat dan mengembangkan peradaban, tidak hanya berupa gambar. Bagaimana hal tersebut mewujud antara lain dengan hadirnya kompasiana, yang saat ini dikabarkan memiliki 17 ribu kompasianer dan menerima sekitar 200 tulisan setiap harinya. Pandangan yang kita tahu bersama justru berbanding terbalik dengan tren masyarakat pada umumnya yang kecanduan dengan gempuran program gosip, hiburan dan reality show di televisi.
Yang lebih mengesankan buat saya adalah sikap beliau yang bernada skeptis dengan sebuah pertanyaan : "Apa yang dapat dibangun dengan budaya nonton?". Tidak hanya itu, beliau juga menggugat dengan keyakinan : "Tidak mungkin peradaban bisa dibangun dengan nonton". Sejujurnya, pandangan tersebut mengingatkan saya dengan petuah dan titah para orang tua kebanyakan, setidaknya di permukiman saya, ketika saya dan kawan sepermainan semasa SMP-SMA dulu berlama-lama menikmati hiburan siaran maupun video di televisi, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Begitulah, sampai suatu ketika aturan dan larangan itu saya langgar, walhasil murka harus saya terima ketika kualitas pelajaran saya anjlog dengan tinta merah.
Prinsip Jakob Oetama yang saya dengar diawal acara MoDis tersebut mengingatkan saya kepada stasiun televisi yang disebut-sebut dimiliki Kompas-Gramedia, yaitu TV7. Saya menduga, prinsip itulah yang menjadi alasan pembenar "pengalihan" kepemilikan saham (mayoritas) Kompas-Gramedia di perusaahaan tersebut. Bahwa budaya menonton (hiburan) televisi menurut Kompas-Gramedia, tidak lagi dapat diandalkan bagi produktivitas dan peradaban masyarakat, kira-kira seperti itu.
Namun ketika sesi tanya-jawab dan 2 kompasianer menyinggung seputar kepemilikan TV7 yang sekarang beralih nama menjadi Trans7, sosok Jakob Oetama justru memberikan jawaban dan penjelasan yang sebaliknya sehingga membingungkan buat saya. Beliau secara eksplisit menyatakan bahwa sebenarnya beliau keberatan dengan pengalihan saham (mayoritas) Kompas-Gramedia di televisi tersebut. Bukan hanya itu, beliau malah berniat mendirikan atau memiliki stasiun televisi kembali. Artinya, niat atau rencana tersebut justru bertentangan (paradox) dengan sikap/prinsip nya yang telah saya kutip diatas : disatu sisi menganggap peradaban sulit dibangun dengan budaya nonton, tapi disisi lain mencetuskan kembali memiliki stasiun televisi.
Akankah Jakob Oetama mengoreksi sikap/prinsipnya tersebut demi menumpuk pundi-pundi Kompas-Gramedia, ataukah membuat terobosan membangun peradaban justru dengan budaya menonton televisi, Wallahualam bis sawab, karena dengan keterbatasan waktu, moderator MoDis membatasi pertanyaan kompasianer lain seperti saya.
Walau demikian, hal yang jelas dan pasti, tidaklah berlebihan apabila kita senantiasa memberikan dukungan doa agar beliau sebagai kampiun pers yang telah berkiprah membangun wawasan, peradaban dan kesadaran masyarakat, senantiasa diberikan anugerah kesehatan baik rohani dan jasmani. Amiiiinn...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H