Membaca atau mendengar kata tuna umumnya kita langsung membayangkan pada jenis ikan dengan nuansa kelezatanya. Bagi para pecandu makanan laut (seafood) tentunya bukan hal yang asing bahkan senantiasa diburu. Kita yang kerap membaca atau mendengar wejangan ahli gizi tentunya telah mahfum bahwa sederet kandungan gizi tinggi tumpah-ruah dalam tubuh ikan tuna. Sebut saja kadar protein yang hampir 2 kali telur, asam lemak Omega-3 yang menurunkan kolesterol darah serta menghambat penyumbatan pembuluh darah (ateroklerosis), kandungan iodium yang mencegah penyakit gondok dan meningkatkan kecerdasan anak, kandungan selenium yang melindungi tubuh dari serangan radikal bebas, dan sebagainya (disini).
Dalam literatur dan kajian perikanan, tuna atau thunnus adalah genus, yang mempunyai 5 spesies yaitu thunnus alalunga atau Albacore, thunnus albacores atau Yellowfin Tuna, thunnus macoyii atau Southern Bluefish Tuna, thunnus obesus atau Bigeye Tuna, dan thunnus tongkol atau Longtail Tuna. Buat masyarakat awam seperti saya, tidak mudah membedakan jenis-jenis tuna tersebut. Apalagi, masih dalam literatur yang ada, spesies bluefish tidak hanya ditemukan di perairan Southern atau Samudera Hindia (Indian Ocean), tapi juga di Atlantik (Atlantic Ocean) yang disebut thunnus thynnus thynnus.
Sejatinya kita sangat bersyukur karena sebagai negara pantai (coastal country) Indonesia dianugerahkan salah satu kekayaan laut yang begitu besar, yaitu beberapa spesies ikan tuna oleh Yang Kuasa. Namun anugerah itu toh harus dapat dipertanggungjawabkan dengan memanfaatkan secara bijak, wajar dan berimbang sehingga berkelanjutan (sustainable) bagi generasi mendatang, tidak dilakukan secara eksploitatif alih-alih aspek komersial dan devisa.
Kekhawatiran terhadap kelangkaan beberapa spesies tuna mulai muncul akhir-akhir ini seiring populasi penduduk dunia yang mengonsumsi tuna. Tentunya didasarkan pada data dan fakta. Setidaknya demikian yang diungkap majalah TIME Vol. 174, No. 18, tanggal 9 Nopember 2009 lalu, pada halaman utama berjudul "RARE TUNA". Pada tahun 1950, penangkapan tuna diseluruh dunia mencapai 600 ribu ton, sedang tahun 2008 tercatat 6 juta ton mulai dari Filipina hingga Pulau Prince Edward, Kanada. Dengan skala penangkapan saat ini, WWF memprediksi Atlantic bluefin tuna akan hilang pada tahun 2012. Komisi Eropa pun mulai meminta penghentian sementara perdagangan Atlantic bluefin tuna kepada Uni Eropa. Para ilmuwan juga meyakini souhtern bluefin tuna di sekitar perairan Australia telah menyusut hampir sekitar 90% sejak tahun 1950, dan akan terus menurun.
Masih dalam majalah tersebut, jenis tuna bluefin (hon maguro) dikonsumsi Jepang hampir 80% dari 60 ribu ton yang ditangkap di seluruh dunia. Diantara spesies tuna tersebut, bluefin, yellowfin dan bigeye tuna merupakan menu sashimi. Selain data statistik diatas, potensi kelangkaan tuna diperkuat dengan fakta banyaknya perahu-perahu nelayan Filipina yang mencari tuna hingga Papua Nugini dan Kepulauan Solomon. Yang tidak kalah penting dalam artikel tersebut yaitu pendaftaran Atlantic bluefin tuna oleh Monaco bersama negara-negara Uni Eropa, kecuali 5 negara (Spanyol, Perancis, Italia, Siprus dan Yunani), ke United Nations Convention on International Trande in Endangered Species (CITES) sebagai spesies yang terancam punah (endangered species) kategori I pada bulan Maret 2010 ini. Nah, apabila permohonan pendaftaran tersebut benar-benar disetujui, jangan berharap banyak kita bisa menikmati tuna jenis bluefin, khususnya di restoran ternama karena dilarang diperjual-belikan.
Perihal upaya pendaftaran larangan perdagangan salah satu spesies tuna tersebut diberitakan juga dibeberapa media lokal (disini dan disini). Dalam tingkat kebijakan formal, upaya kontrol atau pembatasan penangkapan (limit catch) tuna juga dilakukan Indonesia. Tercatat Indonesia menjadi anggota Indian Tuna Ocean Commission (IOTC), organisasi antar-negara yang dibentuk FAO Council di Roma tanggal 25 Nopember 1993 berdasarkan Article XIV konstitusi FAO (disini), bulan Juli 2007. Disamping itu, Indonesia juga ikut serta dalam Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna, (CCSBT) organisasi kerjasama antar-negara yang didirikan tanggal 20 Mei 1994 oleh Australia, Jepang dan Selandia Baru, pada tanggal 8 April 2008 (disini). Keduanya termasuk kedalam Regional Fisheries Management Organization (RFMO) diantara 19 organisasi lain dibawah kendali FAO (seperti International Commission for the Conservation of Atlantic Tuna/ICCAT dan International Whaling Commission/IWC), bertujuan melakukan pengelolaan yang wajar, pemanfaatan yang optimal dan konservasi. Keanggotaan Indonesia pada dua lembaga kerjasama perikanan internasional tersebut disahkan masing-masing dalam Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2007. Pemerintah juga membentuk Komisi Tuna Indonesia dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP. 63/MEN/2008.
Harian Kontan, tanggal 25 Maret 2008, melaporkan Indonesia adalah negara pemasok ikan tuna terbesar di dunia. Tercatat di tahun 2004 ekspor tuna sebesar US$106,664 juta, sedangkan total penjualan ikan tuna dunia mencapai US$ 174, 04 juta. Merujuk pada Keputusan Direktur Jenderal P2HP No. 033/DJ-P2HP/2008, Indonesia mengekspor 14 ikan dalam keadaan segar, diantaranya tuna sirip biru selatan (southern bluefin), tuna bersirip kuning (yellowfin), dan tuna mata besar (bigeye). Salah satu sumber mengungkap ekspor tuna segar Indonesia di tahun 2002 sebesar 26.718 ton, di tahun 2005 turun menjadi 22.091 ton, sedangkan ekspor tuna beku tahun 2002 mencapai 27.733 ton, juga turun drastis di tahun 2005 menjadi 13.192 ton (disini).
Ancaman atau potensi kelangkaan tuna harus kita cermati bersama. Diluar langkah kebijakan formal, diperlukan kesadaran dan kepedulian terhadap konsumsi tuna tetap agar dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan (sustainable) dengan merubah mindset dan gaya hidup dari gemuruh iklan komersial industri makanan.
Foto diatas adalah ilustrasi, diambil dari greenpeace.org.uk
“Menyadur, mengutip, menyalin, termasuk copy-paste, materi dan/atau kalimat dalam tulisan ini tanpa menyebut/merujuk sumber/pemiliknya adalah pelanggaran etika, dan pidana hak cipta (copy rights)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H