[caption id="attachment_34699" align="alignright" width="300" caption="ilustrasi (shutterstock)"][/caption]
Judul diatas adalah jiplakan atau copy-paste judul berita di koran lokal Jakarta yang disebut-sebut beroplah terbesar : Warta Kota, Minggu, 6 Desember 2009. Menjiplak dalam arti merujuk sebagai topik mengingat berita tersebut terasa sensasional sehingga menarik untuk diulas. Bukan guyon atau fiksi karena kalimat itu disimpulkan dari ucapan Menteri Lingkungan Hidup saat pembukaan kampanye lingkungan bertajuk Green Festival 2009 di Parkir Timur Senayan.
Mencoba berpikir dari logika Pak Menteri (dan pejabat pemerintah lokal khususnya DKI Jakarta), mobil tua identik dengan polusi. Atau mobil uzur merusak estetika (modern). Bisa juga mobil tua adalah bobrok dan tidak bernilai (ekonomis). Menjadi sangat mahfum dan makin rasional dengan menunjuk pada logika pertama : mobil tua penebar polusi, apabila merujuk pada isu yang (sedang) populer saat ini : ramah lingkungan (green environment). Sederetan regulasi dan kebijakan nasional maupun lokal tentang jaminan dan perlindungan udara bersih siap mencengkram. Mulai dari regulasi nasional (Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang pada pasal 8 dan 9 memberikan wewenang kepada pucuk pimpinan daerah dan kepala instansi untuk memburu emisi gas buang kendaraan) hingga lokal (dengan Keputusan Gubernur No. 1222 Tahun 1990 tentang Bku Mutu Emisi Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI Jakarta, yang terakhir diberlakukan Perda No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, PerGub No. 92 Tahun 2007 tentang Uji Emisi dan Perawatan Kendaraan Bermotor, serta PerGub No. 31 Tahun 2008 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor).
Sentimen "bumi-hangus mobil tua" di negeri ini makin bergaung ketika saat ini tengah berlangsung konferensi lingkungan tentang bencana iklim (global warming) di Kopenhagen. Situasi tambah semarak dengan momentum "kejar-tayang" 100 hari program pemerintah, seolah memacu sentimen tersebut.
Disebut-sebut golongan pencemar udara dibedakan kedalam 2 golongan dasar, yaitu partikel dan gas. Dari banyak jenis gas, yang utamanya berperan sebagai pencemar udara adalah SO2, NO2, CO, Oxidant, Hydrocarbon, NH3 dan H2. Ini menurut salah satu literatur (alm) Prof. Koesnadi Hardjasoemantri. Para pemutus kebijakan di DKI Jakarta menyasar CO dan NO2 dari emisi kendaraan bermotor (news.okezone.com). Kontribusi polusi kendaraan bermotor terhadap udara di Jakarta sebesar 70%, sedangkan industri dan rumah tangga sisanya (berita.liputan6.com). Nah data lain menambahkan, 60% pencemar udara di Jakarta disebabkan benda bergerak atau transportasi umum, khususnya yang menggunakan bahan bakar solar seperti metro mini (tempointeraktif.com, 18 Januari 2005).
Namun demikian, logika mobil tua identik dengan polusi hanyalah asumsi yang tidak sepenuhnya benar, setidaknya bila mau mencermati berbagai fakta para peminat atau hobbiest/kolektor kendaraan ini. Coba tengok juga komunitas ini di luar Jakarta, seperti kota-kota di Jawa Tengah. Berbagai merek/jenis dan tahun pembuatan nyaris masih serupa seperti aslinya. Komunitas ini memperalakukan mobil "jadoel" nya layaknya pasangan hidup bahkan, rela menghabiskan uang demi menjaga keotentikannya. Mereka menggunakannya bukan sebagai kendaraan sehari-hari, tidak jarang menjadikan sebagai barang seni. Dengan fakta-fakta ini, berapa sih besar tingkat polusi yang dihasilkan terhadap udara, jika dibandingkan emisi angkutan umum atau industri?
Membangun kepedulian masyarakat terhadap masalah lingkungan dan merubah kebiasaan yang berakibat buruk bagi lingkungan sudah seharusnya dilakukan bersama. Kebijakan pemerintah sejatinya dilakukan secara lebih cermat, tidak instan seperti "membakar lumbung untuk membunuh tikus". Kalau lah benar pemikiran pak Menteri akan tetap dijalankan, sepertinya penyelenggaraan eksebisi mobil klasik di Jakarta (dan mudah-mudahan kota lain) pertengahan Desember mendatang perlu dipertimbangkan ulang prospeknya. Atau bersama-sama membangun komunikasi intensif dengan para pembuat kebijakan.
“Menyadur, mengutip, menyalin, termasuk copy-paste, materi dan/atau kalimat dalam tulisan ini tanpa menyebut/merujuk sumber/pemiliknya adalah pelanggaran etika, dan pidana hak cipta (copy rights)”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H