Mohon tunggu...
Achmad Wydia Septiono
Achmad Wydia Septiono Mohon Tunggu... -

Karyawan Balai Penelitian (Balit) Sembawa sejak tahun 1983 s/d 2012, karyawan Puslit Karet Bogor tahun 2012 s/d sekarang, Balit Sembawa berada di Desa Lalang Sembawa km 29 Palembang, Kec.Banyuasin III, Kab.Banyuasin, Prov.Sumatera Selatan. Saya senang membaca dan menulis hal-hal yang menarik serta senang berteman untuk bisa terjalin silaturahim.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seputar Perayaan Imlek (GONG XI FA CAI)

2 Maret 2010   14:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:39 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menurut teman saya dari Dade dalam tulisannya pada forum.spmabogor.net dari isi buku "Jalan Panjang Bogor" tulisan Dewi Panji yang terbit Desember 2008, halaman 5-6 : PEMBAURAN Tionghoa dan Sunda Pembauran sesuatu yang tidak dapat dipaksakan kepada tiap orang sebab sangat tergantung kepada konteks lingkungan dan individu yang terlibat di dalamnya. Saya tidak membahas masalah pembauran yang melibatkan antar agama secara detail, karena untuk yang satu ini berpulang kembali kepada individu yang sudah memahami bahwa setiap agama mempunyai kaidah sendiri yang tentunya harus dipatuhi oleh penganutnya. Tulisan ini hanya akan memberikan gambaran bahwa Bogor yang multi etnis adalah kota yang sangat terbuka dan sudah melaksanakan pembauran sejak dulu kala. Pemerhati budaya Tionghoa, David Kwa menceritakan suatu keluarga bermarga Kwa yang asalnya dari Ciampea. Nenek buyut mereka bernama Kwa It Nio menikah dengan Thio Goan Pouw. Keduanya memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Siti Rochmah dan Abdul Rachman. Keturunan mereka diantaranya menikah dengan suku Jawa dan Sunda. Jadi tidak heran, kata David bila mereka berkumpul untuk reuni tampak percakapan mereka berbahasa Sunda dan memberi salam dengan cara munjungan mengatupkan kedua tangan dan dihadapkan diatas dada. (Bahasa Sundanya bukan dialek/gaya Bogor Barat, tapi menggunakan dialek Bandung, lemes/halus, Red). Menurut David pula meski diantara keluarga besar Kwa terdapat perbedaan agama (Khonghucu, budha, Kristen, dan Islam), tidak terjadi perpecahan karena mereka merasa pada dasarnya mereka adalah saudara sedarah dan sedaging yang berasal dari satu leluhur. Keluaga besar keturunan Thio Goan Pouw, berbudaya dan berbahasa Sunda, beragama Islam, jadi tidak pernah merayakan Imlek. Tapi menghormati mereka yang merayakan Imlek.  GONG XI FA CAI Kalau dilihat dari sejarah, agama Budha dibawa oleh Sidharta Gautama dari India menuju China, lewat Kambodia. Setiap kali Sidharta masuk ke suatu wilayah maka Sidharta selalu melakukan akulturasi proses dengan budaya setempat, makanya Budha yang ada di Birma berbeda dengan yang ada di Thailand, berbeda pula dengan yang ada di Vietnam, apalagi berbeda dengan yang ada di China. Lihat saja bentuk PAGODA mereka memang berbeda satu sama lain. Di China ajaran Budha berasimilasi dengan Tao membentuk ajaran Budha Hinayana yang berbeda dengan yang ada di Kambodia/Thailand. Jadi ada Budha Hinayana dan ada Budha Mahayana. Budha dari China cuma namanya doang Budha, tapi ajarannya tetap Tao yang dikasi bumbu dari Sidharta Gautama. Makanya Orang Tionghoa yang beragama Budha tetap aja merayakan Imlek. Namun ada juga orang Tionghoa yang beragama kristen tetapi mereka ikut juga merayakan Imlek, dan menurut mereka perayaan Imlek merupakan kebudayaan perayaan tahun baru yang selalu dirayakan oleh sebagian orang2 Tionghoa, jadi kata mereka bukan merupakan perayaan ke-Agama-an, seperti halnya sebagian umat Islam merayakan Tahun Baru Masehi. Adapun melakukan Do'a2 di klenteng adalah wujud permohonan kepada Sang Hyiang Widi (Tuhan) untuk mendapatkan keselamatan, Kesehatan. kelancaran berusaha, dan rezeki yang melimpah ditahun baru Imlek, sedangkan perayaan Agamanya adalah pada Cap Go Meh. Memang Setelah Orang Tionghoa masuk Islam mereka tidak merayakan Imlek lagi karena di Agama Islam ada tahun Hijriyah. Ternyata akulturasi proses dan asimilasi ada di mana-mana. Yang jelas mereka yang beragama setengah-setengah pasti ikut kesana-kemari Begitu pula perlu dipilah mana budaya Tionghoa mana budaya Khonghucu. Seperti kata al-Hadits, belajar sampai ke negeri China. Bukan budaya Khonghucu-nya yang perlu dipelajari, tapi yang dipelajari adalah budaya Tiongkok yang hidup selaras dengan alam. Tapi kalau sudah akulturasi proses dan asimilai ujung-ujungnya jadi aduk-adukan. Ada tiga tahun baru yang biasa dipake : Hijriah, Masehi dan imlek, awalnya masing-masing terikat dengan ajaran agama, namun ternyata sekarang dipake tiga-tiganya. semoga tulisan ini ada manfaatnya dan bisa membuka sedikit jalan tentang budaya China masuk Indonesia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun