Mencegah Radikalisme dengan Tingkatkan Budaya Literasi. Penyebaran mengerti radikalisme di Indonesia selaku negeri yang penuh keragaman (mega diversity country) makin terus menjadi mengkhawatirkan, proses penyebaran yang masif dengan mengatasnamakan banyak perihal yang terkadang membuat kita' kelabakan' dalam menanganinya, serta yang menggelitikkan lagi merupakan radikalisasi kerapkali didesain seakan- akan berkaitan erat dengan agama baik secara nilai (value) ataupun simbol.
Hendak namun yang lebih parah lagi merupakan mereka senantiasa menyeret ajaran agama selaku pembenaran, sementara itu perihal tersebut pasti sangat berlainan dengan nilai serta ajaran agama apapun.
Sedangkan sebagian kenyataan menampilkan radikalisme yang sepanjang ini banyak mengatasnamakan agama sesungguhnya lebih mengakar pada alibi ataupun kepentingan politik, misalnya terjadinya Islamic State of Irak and Syiria (ISIS) yang banyak melaksanakan kekerasan serta teror sekedar orientasinya merupakan buat menghilangkan lawan politik ataupun kelompok yang berlainan mengerti dengan mereka.
Sesungguhnya secara garis besar, terdapat 3 aspek yang setelah itu jadi pendorong dalam penyebaran mengerti radikalisme ini, semacam yang disebutkan dalam suatu harian riset agama serta pemikiran islam yang berjudul Radikalisme di Indonesia: Antara Historitas dan Antropisitas.
Awal, pertumbuhan dari tingkatan global semacam potret suasana yang kacau di Negara negara timur tengah. Kedua, tersebarnya mengerti wahabi yang berasal dari Arab Saudi. Serta yang ketiga, aspek kemiskinan.
Mengerti radikalisme menyebar lewat celah celah kecil dengan menggunakan kelengahan- kelengahan seorang yang setelah itu merangsek masuk kepada sasaran sasaran penyebarannya yang pula tidak pandang umur, tipe kelamin sampai kelas sosial, utamanya mengacu 3 entitas yang bersumber pada informasi penemuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2020 sangat rentan terpapar radikalisme ialah anak muda, warga urban serta wanita.
Bicara ketiga entitas tersebut tidak dapat dielakkan dari pertumbuhan era utamanya media sosial yang luar biasa yang setelah itu jadi jalan penyebaran bibit radikalisme baru serta mempunyai kemampuan besar yang hendak meledak dikemudian hari serta kekhawatiran ini cuma soal bom waktu saja.
Aspek kekuatan penyebaran media sosial yang bertabiat borderless ini jadi tantangan besar untuk komponen deradikalisasi sepenuhnya supaya efektifitas preventif setelah itu jadi solutif pada sasaran programnya.
Sedangkan itu hasil monitoring BNPT bersama Kepolisian, Badan Siber dan Sandi Negeri (BSSN), Badan Intelejen Nasional (BIN) ataupun Departemen Komunikasi serta Informatika lumayan mencengangkan, karena dari sana ditemui 600 akun berpotensi radikal yang setelah itu melahirkan 650 konten propaganda, 409 antara lain tercantum konten yang bertabiat universal serta ialah konten data serbuan.
Berikutnya terdapat 147 konten anti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), 85 konten anti Pancasila, serta 7 konten bernada intoleran serta terdapat 2 konten beraroma mengerti takfiri dan 40 konten tentang pendanaan terorisme.