Interpretasi Puisi Rica Filasari
Sebuah puisi berjudul Pesta Hujan Demokrasi karya Rica Filasari (Mahasiswa Jurusan Sejarah - Universitas Negeri Malang) sempat membuat dahiku berkerut. Bahkan mataku pun ikut terperangah. Betapa tidak, seorang kawan yang selama ini tampak begitu woles dan tak mau tahu tentang urusan politik, saat itu malah berhasil menulis sajak pedas tentang politik.
Karyanya yang berjudul Pesta hujan Demokrasi yang diterbitkan oleh Majalah KOMUNIKASI Universitas Negeri Malang edisi Juli-Agustus 2018 itu bagaikan dua jari yang menyulek kedua mataku. Tetapi walau pun culekan itu terasa pedih, itu malah membuatku kagum padanya.
Janji-janji manis menjadi menu pembuka
Realisasinya nanti bisa dilupa
Dua sajak itu menggambarkan sebuah realitas politik yang terjadi selama ini. Rica dengan berani menulisnya dengan sangat jelas. Sungguh dua baris sajak itu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengingatkan kita atas fenomena politik yang sedang terjadi saat ini. Ini adalah warning dini yang sangat tagas dari Rica, sekaligus sindiran bagi mereka yang merasa sebagai subjek utamanya.
Pada sajak selanjutnya, Rica menulis puisinya berupa kalimat tanya, Kapan negeriku bisa makmur? Yaps.. Itu mewakili ungkapan polos dari rakyat kecil selama ini. Pertanyaan itu seakan meledak dari benak Rica sendiri setelah merenungi fenomena yang terjadi atas terpuruknya bangsa ini.
Uang seakan menjadi dewa
Membawa anugerah sekaligus musibah
Money pilitic menjadi poin sorotan dari Rica. Dia seakan-akan memberikan informasi kepada kita tentang betapa mirisnya bangsa ini, di satu sisi menginginkan kemakmuran, namun di sisi lain berdiri lunglai setelah menerima money politic. Bahkan ada masyarakat di suatu tempat di negeri ini sepakat, "siapa yang memberi uang lebih banyak, maka dialah yang dipilih."
Yah,.. Dan lagi-lagi Rica memberikan warning kepada kita bahwa money politic akan membawa musibah. Musibahnya bisa sangat parah: bangsa ini akan candu dengan money politic dan menjadi dungu; demokrasi terbeli dan harga diri rakyat bisa habis; bangsa ini akan memilih pemimpin bukan berdasarkan program atau profesionalitas calon, tapi berdasarkan uang yang diberikan. Calon pejabat pun akan selalu mengeluarkan uang banyak hingga tak jarang yang sampai cari uang pinjaman untuk memenangkan pemilu. Lantas ketika terpilih, mereka berbondong-bondong menjarah uang negara untuk melunasi utang-utangnya selama kampanye dulu dan sebagainya.
Namun melihat semua itu, Rica merasa dirinya seakan-akan tak berdaya. Mungkin dia merasa bahwa fenomena sosial tersebut sudah sangat masif dan sistematis. Sehingga ia mengalah dan berkata, Tak ada yang salah dengannya| Pesta hujan demokrasi yang bersulang air mata||.
Kita pasti juga sudah sadar akan semua itu. Namun, Rica selangkah lebih maju dari kita. Dia memang tidak bergerak secara fisik, namun kata-katanya menggema dan akan selalu hidup setiap kali dibaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H