Tahun politik telah tiba. Perhelatan akbar mulai dari Pemilu Legislatif, Pilbub, Pilgub, hingga Pilpres 2019 mulai bermunculan di berbagai titik di Indonesia, tak terkecuali di Kabupaten Nganjuk. Lantas, bagaimana Kader IPNU-IPPNU memposisikan dirinya di tengah-tengah kegaduhan politik ini? Apa sumbangsih IPNU-IPPNU dalam pembangunan kedaerahan, khususnya dalam hal mengawal pemilu dan mengawal suara rakyat? Bolehkah Kader IPNU-IPPNU mempelajari, memahami, dan menyebarluaskan ilmu politik sesuai dengan ideologi organisasi? Dan apakah Kader IPNU-IPPNU harus tetap diam, ketika politikus menggilas habis secara terang-terangan? Mari kita merenung sejenak mengenai itu semua, Rekan-Rekanita.
Seperti yang kita tahu, pada abad ke-21 ini, politik semakin hari semakin diminati. Jutaan orang berbondong-bondong mempelajari, bahkan, ikut nyemplung ke partai politik. Hal tersebut akan membuat manusia menuju era yang lebih cedas, sebab manusia menjadi semakin melek politik dan kuantitas keterlibatan terhadap politik semakin meningkat.
Pada dasarnya, politik terbagi menjadi dua: (1) politik kenegaraan dan (2) politik kekuasaan. Kedua jenis politik ini perbedaannya sangat tipis. Bahkan, tingkat ketipisannya lebih tipis dari pada kulit ari. Orang lain tidak bisa menjustifikasi seorang politikus itu berorientasi pada politik kekuasaan atau politik kenegaraan, sebab yang lebih tahu adalah pelaku politik itu sendiri. Orang lain hanya bisa menebak dan mengira-ngira, tidak lebih. Jadi, berhati-hati adalah jawaban agar kita tidak terkena tipudaya pemain politik kelas kakap.
Melek Politik atau Tergilas
Sebenarnya sub judul ini terlalu sadis untuk diucapkan, tatapi tidak ada kosa kata lain yang lebih tepat dalam menggambarkan hal ini. Dan ini adalah fakta di lapangan: melek politik atau tergilas. Sekarang, Rekan-Rekanita juga tahu sendiri, bagaimana gerakan partai-partai politik dalam memenangkan calon yang mereka usung. Semua perkumpulan massa yang ada di depan mata, mereka garap tanpa pandang bulu. Mereka mengumbar janji-janji yang sebenarnya, dibalik semua itu, yang berlaku adalah prinsip transaksional.
Lantas bagaimana dengan pelajar milenial saat ini? Bagaimana dengan Kader IPNU-IPPNU yang notabene adalah pelajar dan mahasiswa, yang terkenal kecerdasan dan kekritisannya itu? Dalam hal tersebut, Ketua PC IPNU Kab. Nganjuk merespon, "kita berharap teman-teman Kader IPNU-IPPNU, sebagai generasi zaman now ini, yang merupakan generasi milenial, tidak terpengaruh dengan politik praktis. Sehingga memilih berdasarkan ijtihat (Red. sesuai hati nurani, tanpa terpengaruh oleh uang atau iming-iming apa pun)," demikian kata Ahmad Nur Wahid (biasa disapa Kang Wahid) melalui WhatsApp (23/01).
Hal tersebut, yang dikatakan oleh Kang Wahid di atas, juga sesuai dengan ideologi serta UU yang berlaku. Pasalnya, politik praktis adalah suatu bentuk pelanggaran yang dilarang oleh undang-undang. Pemberi dan penerima uang, sama-sama dapat terjerat hukum pidana.
Kemudian, dari investigasi kami, telah ditemukan bahwa ada seorang calon yang dengan sengaja mendekati beberapa Banom NU, tak terkecuali IPNU-IPPNU, di suatu daerah di Kab. Nganjuk. Dan, dalam acara tersebut, digunakannya sebagai panggung kampanye yang jelas-jelas itu bukan sepantasnya dilakukan.
Yang kedua, ada beberapa pengurus IPNU-IPPNU di suatu daerah di Kab. Nganjuk yang secara sadar ikut serta meramaikan dukung-mendukung cabub-cawabub. Bahkan dengan bangga mengupload foto selfienya dengan paslon dan meng-ngeshare di medsos.
"Kemudian," kata Kang Wahid, "anak muda zaman sekarang juga tidak boleh buta terhadap politik. Mereka harus paham apa itu politik dan tahu bagaimana berpolitik yang baik sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan anjuran-anjuran Agama, agar tidak mudah di politisasi oleh orang lain (parpol dan calon). Jadi, intinya kalau anak-anak muda zaman sekarang (khususnya Kader IPNU-IPPNU) itu tidak paham politik, fakta di lapangan malah bahaya. Sebab, hampir semua Tim Sukses banyak yang ngawur." demikian pungkas mahasiswa IAI Tribakti Kediri itu.
Rekan-Rekanita yang baik hati dan sholeh-sholehah, mari kita keluar dari kesempitan hati, kedangkalan berpikir, dan kecekak'an perilaku. Politik itu tidak seburuk yang kita kira, yang buruk dan membuat semakin buruk adalah pelakunya. Belajar politik tidak harus bergabung dengan Partai Politik dan ikut berperan aktif dalam usung-mengusung calon, namun itu bisa kita pelajari dengan diskusi bersama. Entah itu dengan sesama/internal IPNU-IPPNU, atau pun dengan pihak KPU dan Bawaslu, sebagai penyelenggara dan pengawas pemilu.