Mohon tunggu...
Aris Kurniyawan
Aris Kurniyawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang pemerhati kehidupan spiritual dan kemanusiaan.Sedang belajar mencintai film dan fotografi. "Contemplationem Aliis Tradere"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

MEMBONGKAR MITOS-MITOS BUDAYA MASSA

4 Februari 2012   01:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:05 3234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

1.      Pengantar

Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang senantiasa lahir dari proses berkebudayaan dan berkembang dalam  kebudayaan. Segala bentuk kegiatan manusia selalu mengarah pada peristiwa-peristiwa budaya. Kebudayaan dalam hal ini bukan berarti sebagai sebuah sistem tetapi proses dimana manusia bergulat dan mengarahkan dirinya pada tahap tertentu. Dalam proses berkebudayaan manusia harus melewati tiga tahap, menurut Van Peursen kebudayan tiga tahap itu yaitu: mitis, ontologis dan fungsional. Tiga tahapan ini selalu dilewati oleh manusia dalam proses berkebudayaan. Dalam tulisan ini akan dibahas satu dari tiga tahap diatas yang sampai saat ini masih berlaku dan hidup dalam masyarakat.

Tahap yang akan diulas adalah tahap pertama yaitu mitis. Tahap mitis adalah tahap dimana mitos-mitos begitu hidup di masyarakat. Mitos adalah dasar dari kebudayaan,[1] oleh karena itu mitos selalu hadir dalam setiap kebudayaan. Kehadirannya bisa berbeda dari setiap ruang dan waktu, mengikuti masa dimana proses kebudayaan itu bertumbuh. Mitos yang pada mulanya adalah cara untuk menyampaikan makna dibalik simbol yang menjadi pedoman dan mengarahkan kehidupan masyarakat secara kolektif. Namun  dalam perkembanganya mitos tidak lagi mampu menyampaikan makna yang sesungguhnya. Mitos Budaya massa adalah produk dari mitos yang tidak mampu menyampaikan makna yang sebenarnya dalam kehidupan manusia. Melalui paper ini penulis mencoba membongkar secuil dari  mitos yang hidup dalam budaya massa. Nanti akan dipaparkan apa itu pengertian mitos, kemudian juga pengertian tentang budaya massa dan bagamana cara membongkarnya.

2.      Pengertian mitos

Mitos seringkali dimengerti sebagai cerita-cerita suci, hal ini tidak salah, tetapi dalam perkembangan selanjutnya mitos khususnya oleh Roland Barthes mitos diartikan sebagai sebuah bahasa: “ le mythe est une parole”[2]. Mitos adalah wicara maka bahasa menjadi salah satu cara dimana mitos itu berkembang. Mengerti mitos berarti mengerti sebuah pesan. Untuk lebih jelasnya dalam pembahasan selanjutnya akan diberikan gambaran mitos sebagai cerita suci,  dalam hal ini saya sebut ” mitos tradisional” dan mitos sebagai bahasa atau ” mitos budaya massa”.

2.1.Mitos tradisional

Kata mitos berasal dari bahasa Yunani muthos, yang secara harafiah berari sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang, dalam pengertian yang  lebih luas bisa berarti suatu pernyataan, sebuah cerita.[3] Mitos bukan sekedar cerita seperti dongeng atau legenda yang sering diceritakan oleh orang-orang tua. Mitos memiliki keunikan dan perbedaan yang sangat mendasar dengan cerita-cerita rakyat. Didalam mitos terkandung makna- makna yang dihadirkan lewat simbol-simbol, yang mengungkap asal-usul masyarakat. Biasanya mitos berisikan cerita-cerita sakral yang mengandung ajaran-ajaran atau pesan untuk generasi saat ini yang bersifat kolektif. Mitos bukanlah cerita historis, sehingga ia tidak memiliki ruang dan waktu tertentu. Cerita itu lahir begitu saja sebagai sebuah kisah yang hidup dan berkembang di masyarakat secara turun temurun.

Menurut Levi Strauss, mitos merupakan  suatu warisan bentuk cerita tertentu dari tardisi lisan yang mengisahkan dewa-dewi, manusia pertama, binatang  dan sebagainya berdasarkan suatu skema logis yang terkandung dalam mitos tersebut dan yang memungkinkan kita mengintegrasikan semua masalah yang perlu diselesaikan dalam suatu konstruksi sistematis. [4]

2.2.Mitos Budaya Massa

Telah disebutkan diatas bahwa mitos pada mulanya adalah cerita-cerita suci yang diceritakan secara turun temurun, biasanya kepada mereka yang sudah diinisiasi. Mitos menurut Roland Bartes berhubungan dengan bahasa dimana petanda, penanda dan tanda menjadi bagian dari usaha mengerti makna dari mitos. Pada pengertian ini mitos mengalami pergeseran arti, sehingga mitos bukan lagi sebuah cerita suci yang menjadi pedoman arah dalam hidup masyarakat, melainkan mitos sebagai cara menyampaikan sesuatu, tidak secara tekstual tetapi cara melihat makna dibalik yang tekstual.[5]

Dalam gagasan Barthes mitos disebut metabahsa, atau proses pengalamiahan.  Mitos adalah cara mengalamiahkan penasiran-penafsiran yang sebenarnya bersifat kontingen dan secara historis bersifat spesifik. Artinya mitos membuat pandangan-pendangan tertentu seolah-olah  menjadi tidak mungkin ditentang karena memang itulah yang alami. “ Mitos bertugas memberikan pembenaran alamiah pada suatu intensi historis dan membuat kesementaraan seolah abadi.”[6] Pada pandangan semacam ini pada akhirnya mitos itu adalah proses pemaknaan yang tidak mendalam, ia hanya mewakili atau merepresentasikan makna dari apa yang nampak, bukan apa yang sesunggunnya. Mitos semacam inilah yang hidup saat ini. Akibatnya makna yang sesungguhnya tidak terampaikan pada masyarakat. Ketika bahasa yang mewujud dalam symbol-simbol sudah menjadi alamiah atau wajar, orang tidak lagi mengerti apa pesan yang ada dibaliknya, semuanya natural dan itulah mitos. Mitos semacam ini menjadi konsumsi budaya massa maka perlu dibongkar. Mitos budaya massa perlu dibongkar karena didalamnya banyak makna yang tidak tersampaikan secara benar.

Proses pengalamiaahan membuat massa atau masyarakat menutup  mata pada pesan yang ada dibalik mitos-mitos yang ada. Iklan sabun kecantikan misalnya, hanya dimengerti sebagai iklan secara material, sebagai sebuah sabun yang membantu mempercantik, tetapi apa yang ada dibalik itu tidak mereka lihat, yaitu sebagai petanda bahwa tubuh dan penampilan memerlukan sesuatu yang glamour. Dalam pemikiran Barthes apa yang materi itu diistilahkan sebagai denotasi dan makna yang ada dibaliknya sebagai konotasi. Iklan itu tidak semata-mata hanya menawarkan sabun tetapi menawarkan juga kemewahan dan popularitas.

3.      Pengertian budaya massa dan mitos-mitosnya

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa budaya massa adalah budaya popular yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan khalayak konsumen massa.[7] Pengertian ini mengandaikan “budaya” itu diproduksi secara massal untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Selanjutnya budaya yang diproduksi secara massal ini berujung pada pasar yang menghasilkan uang. Dengan kata lain pertumbuhan budaya seperti ini semakin mempersempit ruang  bagi segala jenis dan bentuk kebudayaan, termasuk kebudayaan lokal.[8] Disinilah budaya direduksi semata-mata hanya sebagai mesin uang yang tidak lagi menunjukan makna budaya yang sesungguhnya. Budaya adalah proses dimana manusia menemukan dirinya yang bahagia menurut John Tomlinson dalam Globalization and Culture.[9] Budaya massa dalam point ini membuat masyarakat  menjadi teralienasi dari budayanya sendiri, karena terpaksa menerima budaya yang diproduksi secara massa.

Selanjutnya dalam konteks ini dapat diketahui bahwa pada akhirnya tidak ada lagi perbedaan yang nyata antara produksi material dan kultural. Produk dari budaya menjadi tidak Nampak. Dalam karya seni misalnya, proses berkarya dan hasil yang muncul tidak lagi disebut sebagai cetusan budaya, tetapi semata-mata hanya sebagai komoditas yang layak untuk dijual. Makna yang lebih dalam dari proses manusia berbudaya tidak muncul. Dan massa yang pada mulanya adalah subjek yang berproses pada akhirnya hanya sebagai konsumen dari cetusan budaya itu. Otentisitas  karya sebagai cetusan budaya  dalam hal ini hanya dinilai sebagai sebuah produksi yang layak dikonsumsi, tidak untuk dimaknai. Budaya massa pada akhirnya adalah budaya yang kehilangan Roh dan makna dari manusia yang membuatnya. Mengapa demikian? Karena orientasinya yang dikejar bukan lagi makna yang ada didalamnya tetapi produksi dan pada akhirnya uang. Ketika budaya massa ini ini secara perlahan-lahan tumbuh kemudian menjadi candu masyarakat, John Storey melihat akibat dari budaya massa sebagai mimpi buruk budaya, dimana” candu” atau “ masturbator” budaya massa bergerak terus menerus dalam suatu kontinum ketidakpenuhan antara batas dan selingan.[10] Dan Barthes menyebut mereka / masyarakat massa adalah mereka yang ”termakan” oleh mitologi kaum borjuis.[11]

3.1.  Iklan

Salah satu produk dari mitos budaya massa adalah apa yang sering dihasilkan oleh iklan. Iklan menawarkan banyak hal pada masyarakat dan tujuanya hanya satu yaitu supaya masyarakat tergerak untuk mengkonsumsi. Sebagai contoh iklan sabun dengan gambar Luna Maya. Dalam iklan orang ditawarkan menjadi cantik seperti Luna Maya inilah yang disebut sebagai denotasi, apa yang ada dan dimengerti oleh masyarakat. Konotasinya, masyarakat ditawarkan untuk keluar dari kendesoan dan berubah menjadi modern. Makna yang tersembunyi adalah orang diminta untuk bergerak maju menuju dunia modern, menuju gemerlapnya dunia, dengan kecantikan dan tentu saja “menjadi Luna Maya”. Iklan adalah sebuah parodi yang selalu dimainkan oleh massa dan bercerita tentang massa dan ini tidak otentik.

3.2.Media Komunikasi

Dunia semakin dipermudah untuk melakukan banyak hal dengan munculnya sarana komunikasi. Jika dahulu percakapan selalu dilakukan dengan berdialog secara lisan dengan tatap muka sekarang tidak perlu, lewat internet/ponsel orang bisa bertatap muka dari jarak jauh. Sarana atau media komunikasi menjadi begitu besar pengaruhnya dalam kebudayaan manusia. Dulu ruang begitu “ sakral” karena setiap pribadi begitu dekat, namun sekarang media komunikasi mendistorsi itu semua.  Tawaran istan dari komunikasi inilah yang menjadi mitos budaya massa. Orang tersihir bahwa komunikasi yang virtual atau maya itu adalah hal yang normal dan alami.

4.      Usaha membongkar mitos-mitos budaya massa

Pertanyaan  yang paling esensial dalam bagian ini adalah, mengapa mitos-mitos budaya massa perlu dibongkar? Seperti apa yang sudah dibahasa dalam bagian-bagian sebelumnya. Mitos-mitos budaya massa tidak lagi berfungsi sebagai cara untuk menyampaikan pesan yang sesungguhnya. Akibat proses pengalamiahan, membuat pesan yang sesungguhnya dari mitos-mitos itu tidak muncul.

4.1.Semiologi

Sebelum mulai membongkar mitos budaya massa maka kita perlu mengerti apa arti semiologi? Semiologi adalah ilmu tentang praktek penandaan/signifying atau analisis penetapan makna dalam budaya.[12] Barthes menyebutnya ilmu tentang bentuk-bentuk.[13] Dengan semiologi dimaksudkan bahwa pesan yang ada dalam mitos dapat diurai sehingga makna yang sesungguhnya dapat muncul. Sebagai cara untuk mengurai tanda, semiologi mengurai tanda-tanda yang hadir secara literal, menjadi kiasan/konotasi. Makna konotasi atau yang belum tersingkap inilah yang disebut petanda. Dalam menguraikan hal ini Barthes melihat bahwa semiologi atau semiotika mempostulasikan suatu hubungan antara dua terma, penanda dan petanda. Hubungan ini berkaitan dengan objek-objek yang termasuk dalam katergori yang berbeda, oleh karena itu tidak bersifat persamaan tetapi kesepadanan. Ternyata dalam hubungan ini tidak hanya menyangkut dua terma melainkan tiga terma; penanda, petanda, dan tanda sebagai totalitas dari dua terma sebelumnya.[14] Jika diringkas apa yang Barthes mau tunjukan melalui semiologi adalah demikian: untuk melihat mitos itu kita harus mengurai dalam tiga tahap yaitu penanda, petanda dan tanda. Contoh, bunga mawar tanda cinta: sebagai penanda adalah bunga mawar dan tanda cinta adalah sebagai petanda, dan tanda adalah totalitas keduanya, yaitu mawar adalah tanda cinta.

Dalam usaha membongkar budaya massa contoh ini hendak berkata ; Jika ada iklan yang menawarkan Rokok sebagai selera pemberani; yang dimaksud dengan penanda adalah rokok dan petanda adalah selera pemberani dan tanda adalah terma dari keduanya. Tanda, terma gabungan inilah yang disebut penandaan, penandaan inilah yang disebut mitos. Pada akhirnya apa yang ada dalam mitos inilah makna  yang didistorsi oleh kensep. Mitos mengalami pengalamiahan, mitos dimana rokok adalah selera pemberani.  Dengan mengurai terma-terma ini mitos hendak dibongkar, karena  sesungguhnya harus dibaca dalam budaya massa bukan rokok sebagai selera pemberani, tetapi rokok juga bisa berarti kapitalisme, tawaran untuk menghadapi kematian dsb. Mengurai mitos adalah usaha untuk melihat budaya secara utuh dan membuka mata masyarakat secara personal bahwa mitos itu  membawa pesan yang jauh lebih mendalam daripada pesan literal yang ada.

4.2.Membaca dibalik teks

Usaha kedua yang perlu dilakukan untuk membongkar mitos budaya massa adalah dengan membaca dibalik teks. Pesan atau bahasa yang muncul dalam wacana publik seringkali ambigu. Begitu halnya mitos-mitos yang diyakini oleh masyarakat dalam budaya massa. Mitos yang merupa dan menubuh dalam iklan dan objek visual lainya membuat masyarakat menjadi konsumen dari budaya massa. Mereka digerakkan tanpa kesadaran bahwa apa yang mereka nikmati bukan yang sejati. Seharusnya apa yang literal, yang hadir dalam objek-objek budaya massa tidak semata-mata dilihat sebagai sekedar materi. Tetapi  apa makna yang ada dibaliknya. Teori ini mirip dengan apa yang dipikirkan Habermas dan Rorty dimana teks dimaknai sebagai upaya “membongkar topeng”. Membongkar topang adalah upaya membedah dan menyingkap makna dibalik teks yang ada.  Seperti juga Derida dalam  usaha menyingkap teks. Teks itu dibentuk dari perbedaan-perbedaan dan jejak-jejak karena semua teks adalah perubahan dari suatu teks lain.[15] Maka mitos yang merupa dalam tanda itu diurai dari jejak yang ada sehingga muncul makna baru. Membongkar mitos dibalik teks akan menyingkap makna yang sesunguhnya. Sehingga pesan yang secara literal telah menjadi candu pelan-pelan tersingkap dan muncul makna sesungguhnya yang membuka kesadaran masyarakat massa. Disinilah tujuan membaca dibalik teks, bahwa pada akhirnya masyarakat memiliki kesadaran bahwa budaya massa yang dikonsumsi sebagai mitos itu mendapatkan makna sesungguhnya.

5.      Kesmpulan

Usaha membongkar mitos adalah usaha untuk mengembalikan makna kebudayaan pada tempatnya yang semula, yaitu tempat dimana makna itu hidup dalam kesadaran masyrakat. Mitos yang hadir dalam budaya massa, telah menjadi “candu” yang membius masyarakat. Budaya massa telah mereduksi dan mendistorsi makna kebudayaan dalam arti yang sesungguhnya  yang bagi C.A Van Peursen sebagai siasat manusia menghadapi hari depan. Usaha untuk menghadapi masalah-masalah modernisasi dan pembangunan sesuai naluri dan kepribadian.[16]  Itulah kebudayaan yang harus dimaknai.

Budaya massa pada akhirnya melahairkan mitos-mitos baru yang dicipta secara massa yang merupa dan menubuh dalam iklan dan media lain yang menawarkan “makna“ baru bagi masyarakat. Maka pada point ini mitos adalah soal wicara, komunikasi dan pesan.  Namun pesan yang disampaikan masih merupakan pesan yang memberi ruang ambiguitas, yang masih menyimpan makna yang sesungguhnya. Melalui  semiologi mitos berusaha dibongkar sehingga makna yang sesungguhnya tersingkap.

Mitos budaya massa bukan sekedar menyampaikan pesan yang literal tetapi ada pesan-pesan lain yang dikandung oleh kapitalisme. Pembiusan masyarakat melalui budaya massa membuat kesadaran manusia dalam memaknai budaya yang sesungguhnya lenyap. Sekali lagi upaya membongkar mitos budaya massa adalah upaya mengembalikan budaya pada makna yang sesungguhnya.

Agustinus Nanang Aris

Mahasiwa program magister STFT Widya Sasana-Malang

Daftar Pustaka

Buku

Barker, Chris, Cultural Studies Teori dan Praktek, Yogyakarta: Bentang, 2005.

Barthes, Roland, Membedah Mitos-Mitos Budaya Mass,Yogyakarta: Jalasutra, 2007.

Cremers, Agus, Antara Alam dan Mitos, Ende: Nusa Indah,1997.

Dhavomony, Mariasusai,Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius,1995.

Peursen, C.A Van, Strategi Kebudayaan, ter. Dick Hartoko, Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Simon, Fransiskus, Kebudayaan dan Waktu Senggang,Yogyakarta: Jalasutra, 2008.

Storey, John, Teori Budaya dan Budaya Pop, Yogyakarta: Qalam, 1993.

Strinati, Dominic, Popular Culture;Pengantar Menuju Budaya Popular, Yogyakarta: Jejak, 2007

Majalah dan catatan kuliah

Majalah Basis, No 11-12  Th Ke-56 Nov-Des 2007

Rm. Jack catatan kuliah

[1] Fransiskus Simon, Kebudayaan danWaktuSsenggang, Yogyakarta: Jalasutra. 2006 hlm 42

[2] Benny H.Hoed, “Derida Vs Strukturalisme De Saussure,”  dalam Majalah Basis, No 11-12  Th Ke-56 Nov-Des 2007. Hlm24

[3] Mariasusai Dhavomony,Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius.1995. hlm 147

[4] Agus Cremers, Antara Alam dan Mitos, Ende: Nusa Indah.1997. hlm 139

[5] Bdk: Chris Barker,Cultural Studies Teori dan Praktek, Yogyakarta: Bentang, 2005 hlm 93

[6] Ibid hlm 95

[7] Dominic Strinati, Popular Culture;Pengantar Menuju Budaya Popular, Yogyakarta: Jejak. 2007. hlm 12

[8] ibid

[9] Bdk: Rm. Jack dalam catatan kuliah Filsafat Kebudayaan

[10] John Storey, Teori Budaya dan Budaya Pop, Yogyakarta: Qalam, 1993 hlm 54

[11] Gui do Carmo da Silva, “ Strukturalisme dan analisis semiotic atas kebudayaan”, dalam Mudji Sutrisno (ed),Teori-Teori Kebudayaan,Yogyakarta: Kanisius 2005. hlm 121

[12] Ibid hlm 118

[13] Roland Barthes, Membedah Mitos-Mitos Budaya Mass,Yogyakarta: Jalasutra. 2007 hlm 299 (buku ini adalah terjemahan dari buku Mythologies  yang terbit dalam bahasa Indonesia)

[14] Ibid hlm 300

[15]  Haryoatmoko “Rezim  Dogmatis Kepastian” Op.Cit hlm 10

[16] C.A van Peursen,Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius 1976 hlm 5-6

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun