Dear my dear,
Aku ingin sekali menuliskan nama aslimu tepat di atas baris ini. Tapi entah kenapa aku ragu. Lagi pula, pasti sudah lama sekali kamu tidak mendengar orang lain memanggilmu dengan nama aslimu, kan?Â
Sekarang kamu lebih sering dipanggil dengan nama asing yang aku sendiri tidak tahu kenapa kamu menerimanya begitu saja. Tapi nama itu cocok denganmu. Membuatmu seperti hidup sebagai orang yang berbeda.
Entah bagaimana, sejak kamu punya nama panggilan baru, kamu seperti bukan kamu. Kamu bukan lagi si pendiam yang sukanya cuma berdiam di pojok ruangan dan melakukan segala hal sendirian.Â
Kamu benar-benar bukan lagi si pendiam yang sering ketakutan waktu diminta menghadiri acara-acara besar, yang sering tidak percaya diri mengungkapkan isi kepala, yang lebih suka memendam segala hal, lagi-lagi sendirian. Sekarang kamu sudah banyak berubah.
Bukannya aku tidak suka. Aku suka sekali melihatmu jadi lebih percaya diri. Melihatmu dicintai begitu banyak orang juga membuatku bangga. Tapi, aku mulai merasa kehilangan kamu, mungkin lebih tepatnya kehilangan "kita".
Aku tidak akan berdebat mempertanyakan soal apakah kamu masih mencintaiku. Aku tahu jawabanmu akan selalu sama: masih. Dan tanpa bertanya pun, aku tidak pernah meragukan soal itu. Kamu tahu sendiri, kamu bukan pembohong yang baik.Â
Setiap detail perasaanmu bisa terbaca dari raut wajahmu. Kamu masih mencintaiku. Masih mencintaiku persis seperti dulu, tidak berkurang sedikit pun.
Tapi kamu tahu? Dulu aku tidak percaya ini: cinta saja tidak cukup. Sekarang pun, aku tidak ingin memercayainya. Kamu tahu sendiri, kita berdua selalu mendewakan cinta dan ketulusan, bukan? Cuma masalahnya, aku mulai tidak tahu harus bagaimana.
...
Entah berapa kali aku bertanya-tanya: kenapa memperjuangku cuma bisa jadi opsi buatmu? Kamu tipe orang yang pasti akan berjuang semampumu--tidak peduli jatuh, tidak peduli pandangan orang, tidak peduli apa pun--untuk mendapatkan sesuatu yang kamu impikan.Â