Padahal, bukannya aku suka jadi begitu. Aku cuma tidak tahu bagaimana caranya mengecilkan ego untuk minta dibantu. Aku tidak tahu bagaimana caranya membagi beban dengan orang yang kusayang.
...
"Me, awas ya, jangan tulis yang macam-macam!"
Astaga, aku hampir lupa kalau aku sedang menulis cerita di blog orang lain. Dia penulis lepas yang kusebutkan di atas tadi. Yang bulan lalu meminta izin untuk menceritakan sudut pandanganya tentang aku dalam cerita "Puji"-nya.
"Biarin sih, kamu kan sudah janji: kamu enggak akan baca apa pun yang aku tulis di akunmu hari ini."
"Pokoknya awas saja ya kalau sampai aneh-aneh!"
Dia masuk ke kamarku, mungkin mau melanjutkan membaca buku.
Namanya Karimatus Sahrozat. Perempuan. Beberapa orang memanggilnya Karima, beberapa yang lain memanggilnya Sahro, ada juga yang memanggilnya Zahro, dan ada sedikit yang memanggilnya Za---tapi aku tahu, ini adalah panggilan favoritnya.
Kami berteman sejak kecil, sejak masih suka berlarian di pematang sawah sambil mengejar layang-layang putus milik orang lain. Kami jadi jarang bertemu sejak aku kuliah dan bekerja hingga akhirnya memutuskan untuk membuka butik di Jakarta.
Anehnya, kami bisa langsung akrab seperti semula begitu berjumpa. Ada banyak hal yang orang-orang suka dari dia. Tapi kalau aku, cuma ada satu hal yang kusuka darinya. Nanti, kapan-kapan, kalau kalian tertarik dan kalau dia mengizinkan, akan kutuliskan cerita menarik tentang dia yang tidak pernah diketahui dunia.
"Me, sekarang lagi nulis apa?" dia kembali ke ruang tengah tempat aku menulis, bertanya lagi. Kali ini dengan novel Rahvayana karya Sujiwo Tejo di tangannya.
"Nulis percakapan kita,"
"Me! Jangan ngaco, ah! Jangan bikin cerita yang enggak jelas!"
Dia manyun. Mungkin khawatir kalau-kalau aku mengotori akunnya ini. Padahal kalau kulihat-lihat, kebanyakan ceritanya masih menggantung di jalan.