"Mau ikut dansa juga?" May bertanya, gue menggaleng. Gue sama sekali tidak terbiasa. Gue tidak suka. Lagipula, dia juga kelihatannya bukan tipe orang yang akrab dengan hal-hal semacam dansa.
"Sana, kamu saja sendiri," gue jawab. Dia tidak menanggapi.
Sebelum gue sempat bertanya lagi, perempuan berusia 70-an yang tadi memperhatikan kami berjalan menghampiri. Dia tersenyum kepada May, lalu mengulurkan tangan mengajak berdansa. May melihat gue, meminta persetujuan. Gue cuma mengangkat bahu: terserah. Dia kemudian tersenyum dan menggandeng tangan perempuan itu. Mereka berjalan ke tengah ruangan mengikuti pengunjung lain. Pelan, mereka mulai menggerakkan kaki dengan santai.
May tidak kelihatan seperti orang yang baru pertama kali berdansa. Gerakannya sederhana, tapi terasa luwes, serasi dengan gaun putih sebawah lutut yang dia pakai, senada juga dengan rambut-hitam-panjang-sebahunya, juga selaras dengan keramahan yang membuatnya segera akrab dengan perempuan usia 70-an itu. Ah, rupanya masih banyak hal yang belum gue pahami tentang May.
Di tengah gerakan dansa mereka, gue lihat perempuan usia 70-an itu membisikkan sesuatu di telinga May. Gue kaget waktu dia kemudian tiba-tiba beralih menengok ke arah gue, membuat gue kedapatan sedang memperhatikannya sejak tadi. Dia lalu berbalik kembali menghadap perempuan usia 70-an di depannya, tertawa. Tawa yang sekali lagi membuat gue jatuh cinta kepadanya hari ini.
...
Cerita sebelumnya "Teman (Kencan)" bisa dibaca di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H