Pengunjung tempat makan ini mulai berdatangan. Awalnya hanya satu dua, tapi hanya dalam waktu beberapa menit, pengunjung lain mulai ikut berdatangan memenuhi seluruh meja di area tempat ini. Mereka seperti sengaja datang tepat waktu, bersama-sama, seolah sudah dijadwalkan. Gue lihat kanan-kiri: tempat makan ini benar-benar penuh seketika. Padahal, letaknya jauh dari keramaian. Gue pun belum pernah menemukan review tentang tempat bernama "Heaven" ini di internet. Google sepertinya tidak mengenali. Atau mungkin, "Heaven" memang enggan dikenali.Â
Gue masih heran dengan tempat ini waktu seorang pramusaji menyajikan makanan pesanan kami di meja.Â
"Aku baru tahu kamu suka tempat-tempat klasik begini juga, Di," kata May di tengah acara kami.
"Enggak suka, kok. Dari tadi gue heran: tempat aneh begini kok bisa ramai?"
"Bukan aneh, Ardi. Tapi klasik," May mengoreksi ucapan gue, tidak terima tempat ini dibilang aneh. "Tapi kok kamu ke sini?" dia bertanya lagi sambil menyuap makanannya kemudian.
"Mau coba saja tempat yang baru,"
"Oh, suka coba-coba tempat makan baru?"
"Enggak juga,"
"Terus?"
"Terus apa?"
"Terus ngapain ke sini?"
"Kan mau nyenengin kamu,"
"Hilih!"
Kami tertawa. Tawa yang sepertinya mengundang perhatian seorang perempuan berusia 70-an yang duduk sendiri seberang meja kami. Rambut di kepalanya sudah memutih, tapi tubuhnya masih kelihatan tegak. Gue rasa dia memperhatikan kami. May menengok ke arahnya kemudian, mungkin karena merasa diperhatikan. Sepintas, May mengangguk dan menyungging senyum untuknya.
"Siapa May? Kenal?" gue bertanya, penasaran.
"Enggak juga,"
"Kok tadi senyum?"
"Ya biarin, daripada merengut melulu kayak kamu!"
...
Pukul 10.01
Gue sudah selesai makan sejak tadi. May masih menghabiskan makanan yang dia pesan.
Musik kembali diputar menggantikan "Heaven" milik Bryan Adams yang tadi sempat membuat May diam sejenak. Gue tahu dia selalu punya satu hal yang paling disuka. Mungkin "Heaven" adalah satu hal itu, satu lagu favoritnya.
"Acoustic Sunrise," kata May, tiba-tiba.
"Hah?"
"Musik yang lagi diputar. Ini 'Acoustic Sunrise' milik John H Defaria,"
"Iya? Gue baru tahu,"
"Iyalah, kamu mana tahu yang beginian?" katanya, meledek.
Gue baru mau meledeknya balik waktu satu per satu pengunjung tempat makan ini menuju ke tengah ruangan, ke tempat kosong yang semula tidak gue tahu fungsinya. Satu per satu dari mereka mulai berpasangan dan berdansa di sana, diiringi musik yang kata May berjudul "Acoustic Sunrise" ini.