Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jejak (Episode 2)

20 Juni 2020   06:58 Diperbarui: 20 Juni 2020   09:30 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku protes waktu kamu ternyata membawaku ke rumah Mama. Aku marah kepadamu waktu kamu tanpa aba-aba melamarku untuk kedua kalinya. Dan kali ini kamu melakukannya di depan Mama. Begitu saja. Padahal kamu lebih tahu dari siapa pun kenapa aku menolak lamaranmu.

...

“Nanti hati-hati ya, Bi. Kayaknya aku enggak bisa antar. Aku juga sebentar lagi ada kegiatan amal dengan Aza. Besok aku juga mau pergi. Kamu enggak usah datang ke sini,” kutanggapi perkataan retorismu.

“Boleh aku tahu kenapa?” kamu bertanya, pasti masih mau membahas soal lamaran itu. Padahal, aku sudah berusaha menutup pembicaraan. Aku berjalan ke arahmu, duduk menghadapimu.

“Bi, aku saja belum siap menerima dan memaafkan diriku sendiri. Aku belum selesai dengan semua masa laluku. Jadi bagaimana mungkin aku bisa berjalan ke depan untuk mendampingi kamu?”

“Aku bisa menunggu,”

Kamu tidak bisa menunggu, Bi. Kamu melamarku lagi malam itu. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kalau kamu tidak bisa menunggu. Aku pun tidak mau memintamu menunggu. Mau tahu kenapa? Karena aku tidak yakin kalau aku bisa berjalan ke depan lagi. Sejak kejadian itu, aku tidak pernah tumbuh. Aku selalu di sini dan tidak pernah ke mana-mana. Kupikir, kamu yang paling tahu betapa aku sebenarnya telah kehilangan duniaku. Ingat kan, Bi? Bertahun-tahun lalu, kamu yang duduk di sampingku waktu aku menangis di pojok kamar kost kecilku.

“Kenapa kamu mau aku menerima lamaranmu, Bi?”

Ini pertama kalinya aku bertanya soal itu. Kita sudah lama berteman. Rasanya sudah hampir seperti keluarga. Apakah aku mencintai kamu? Tentu saja, Bi. Perempuan mana yang tidak akan jatuh cinta dengan kamu? Tapi aku selalu merasa cukup dengan hanya mencintai kamu diam-diam. Aku selalu berdoa agar untukmu, Tuhan berkenan memberikan perempuan terbaik-Nya.

“Abimanyu,”

Aku memanggil nama depanmu. Kamu yang sedari tadi menunduk kini menatapku. Tapi segera beralih begitu aku memanggil nama depanmu untuk kedua kalinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun