Mohon tunggu...
david efendi
david efendi Mohon Tunggu... -

Bukan Pesulap dan bukan tukang sihir, tapi tukang kritik yang nyambi jadi tulkang stempel istana maksudnya menyentempel muka temboknya penguasa yang menindas rakyat!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebangkrutan Total?

25 Maret 2011   08:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:27 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13010424421815014448

Akhir-akhir ini saya paling sering mendengar dan membaca kata bangkrut atau dalam bahasa Enggris “bankrupt’. Orang-orang kampong saya yang sepulang dari Malaysia bilangnya “bengkrat” dan bahasa ekstremnya adalah collapse. Sederhananya bangkrut dan sejenisnya adalah peristiwa yang buruk dalam kehidupan seseorang, organisasi, atau perusahaan besar. Tapi ada beberapa pengecualian yang sangat paradok. Bangkrut sering kali hanya ancaman tetapi seirng orang atau organisasi pemerintahan bisa bertahan bertahun-tahun walau hidup dalam tekanan utang. Taruhlah contoh, negara yang dianggap hebat technologi dan pernah menglami keajaiban ekonomi yang bernama Jepang. Tahun 1980s GDPnya naik mencapai 89% kalau tidak salah, dan birokrasinya bersih dan disetir orang-orang ahli di bidangnya. Tetapi akhir-akhir ini hutangnya mencapai 192, 10% dari GDP (2009), dibayar setiap tahunnya dan lagi dikepung bencana tsunami, gempa, dan ancaman radiasi nuklir akibat bencana berturut-turut itu. Toh Jepang tidak collapse. Tetapi professor saya yang berdarah Jepang, bilang, bahwa perekonomian jepang sedang dalam bencana. Dia bilang, Japan’s economic is disastrous. Jepang, walau negaranya penghutang berat, rakyatnya bisa dibilang sangat baik dan menopang negaranya. Inilah bentuk nasionalisme paling modern yang saya tahu. Lagi, pertanyaanya kenapa Jepang tidak kolaps? Karena lagi-lagi leadership dan jiwa nasionalisme-volunterismenya yang tinggi pada rakyatnya. Mirip dengan Jepang, rakyat terutama pemilik perusahaan raksasa America jauh lebih kaya dari America sendiri. Di beberapa website terkemuka di America ada namanya “national debt clock” yang mana setiap detik menghitung bagaimana hutang As mengalami penambahan dan rasanya tidak akan terbayar lunas sampai ‘qiamat’. Kunjungi web ini: http://www.usdebtclock.org/. sampai detik ini hutang AS secara nasional mencapai lebih dari 14 juta trilyun US dollar atau 90,8% dari GDP (see http://www.economicshelp.org/blog/economics/list-of-national-debt-by-country/). Majalah time sendiri pernah menerbitkan satu edisi tahun 2010 yang lalu dengan headline judul “America my broken country”, sementara majalah the economist yang terbit di London memuat headline dalam covernya “China will buy the world” di mana ini sebagai sindiran bahwa Amerika sudah dibawah tekanan hutang China. So, China bisa membeli apa pun termasuk Amerika. Ini memang ekstrem, tapi mengundang kecurigaan kita kenapa AS tidak kolaps. Lagi, karena perusahaan in, memalui link di China bersama-sama mensupport, meminjami dana agar AS tidak terlalu cepat masuk ke bilik sejarah. Apa kata dunia? Jika demikian terjadi begitu saja. Sebagai bangsa yang mengakui superior, polisi dunia, dan agen perdamaian dan kemanusian, hal it terus saja diperjuangkan. Kenapa AS tidak gulung tikar? Lagi, jawaban De Tacquiville dan Robert Putnam masih saja relevan di mana “social capital” dan budaya “assosianism” atau voluntary organization yang tinggi rakyat America termasuk bagaimana orang-orang kaya di negeri Paman Sam ini merelakan memeinjamkan uangnya kepada negara, untuk perang, dan sebagainya sebagai bagian dari kecintaan atas bangsa yang dibanggakan sebagai bangsa berperadaban, civilized society, dengan patriotism yang belum tergoyahkan. Perang, di Libya, hari ini adalah dalam rankah mencegah AS hancur terlalu dini. Entah orang akan mencibir atas nama minyak dan bisnis senjata, yang jelas perbuatan ‘anti kemanusiaan’ itu sangat dimaklumi dan dipahami secara luas oleh rakyat Amerika. So, pertanyaan why US goes to war itu sudah lama tidak ditanyakan lagi ke bangsa Amerika. Pertanyaan itu hanya didebatkan dalam media negara-negara dunia ketiga, termasuk kita yang di buat bulan-bulanan sama media international. Sementara, Indonesia sendiri hutangnya relative kecil disbanding AS dan Jepang, tetapi harga yang harus dibayar untuk menunda pembayaran hutang jauh lebih besar dari apa yang dibayar AS dan Jepang. Pemerintah Indonesia yang lemah, harus memberikan konsesi berupa berbagai macam hak ekspolitasi negara lain memalui korporasi di bumi nusantara seperti Freeport, block cepu, dan sebagainya. Banyak perusahaan underground yang beroperasi tanpa publikasi di berbagai area di Indonesia. mengerikan, jika membayangkan kerusakan alam 20 tahun ke depan. Semua orang merasa tidak peduli, sedikit saja yang snagat peduli. Masih terkait perihal kebangkrutan, hari ini 25/4 Kompas memuat berita yang perlu saya kutipkan. Begini: “Kebangkrutan anggaran di sejumlah kabupaten dan kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebabkan tiga hal, yaitu terlalu gemuknya birokrasi, mismanajemen, dan tekanan politik lokal. Pada saat yang sama, daerah-daerah gagal meningkatkan pendapatan asli daerah untuk menutup kebutuhan anggarannya. Tak mengherankan, banyak daerah yang berutang kepada pihak ketiga karena keuangan mereka bangkrut.” Akibatnya, 83% APBD habis hanya untuk biaya operasional, dan bebarapa kabupaten kemungkinan akan kesulitan membiayai kegiatan lainnya. Nalar liar saya, hal ini yang akan mempermudah pebisnis hitam beraksi liar pula karena investasi mereka diperlukan oleh pemda yang benar-benar butuh uang dan mendesak. Ibarat, ornag kampong miskin yang butuh uang lalu lari ke rentenir alias lintah darat untuk emergency tetapi mereka akan lebih lama menderita akibat menghampiri si lintah darat. Ini bisa dikatakan dilemma atau memang salah pilih. Bahasa jawa disebut grusah-grusuh. Saya jadi bertanya-tanya, apakah semua kabupaten mengalami nasib yang sama? Ini adalah alamat kebangkrutan total karena sumber keuangan daerah akan bergantung kepada pemerintah pusat pada akhirnya sebagaimana kasus BLBI kali ini hal yang mirip akan terjadi dalam rangkah proyek “desentralisasi”. Masuk akal, saya kira banyak yang mengalami nasib yang sama karena dimana-mana persoalan birokrasi mengemuka, banyak pegawai dengan minim produk. Setiap hari, dimana-mana ada mismanagemen. Tetapi, setiap tahun mereka merekrut karyawan yang belum tentu jelas apa yang akan dikerjakan. Banyak yang dianggap hanya karena factor keluarga, KKN, dan seterusnya. Betul apa yang dikatakan Dahlan iskan dan Rhenald Kasali, sering sekali institusi pemerintahan mengalami apa yang disebut : the wrong man in the wrong place, padahal the right man in the wrong place saja sudah parah. Apa jadinya? Pertanyaan pamungkasnya, jika AS dan sekutunya termasuk Jepang collapse alias gulung layar bareng-bareng, apakah kita juga sama-sama masuk dalam museum sejarah? Ada ide? Ku tunggu ide cerdas anda! Salam super Halemanoa, 3/24, 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun