David Efendi “Jika semua rakyat berdaulat atas kata-katanya, tidak akan ada penguasa yang menghanguskan bumi manusia” (Dekpendi, 2010) Ketika masih duduk di bangku SMP saya sangat senang mendengar suara-suara pengkritik dari kalangan siswa kepada para guru dan kepala sekolah. Kritik itu memang tidak banyak orang suka tetapi kritik punya kekuatan membangun yang luar biasa terlepas dari kelemahan si pengkritik itu sendiri. Ini keyakinan saya dan sampai sekarang keyakinan itu tetap ada. Tanpa kritik perubahan besar tidak pernah terjadi. Bahkan hubungan antara Gusti Allah dan Nabi sendiri terselip hubungan kritik ketika nabi berbuat kurang ‘tepat’ langit akan menegur. Ketika masyarakat jahiliyah berbuat semena-mena para Nabi dan rasul pun mengkritik. Nabi Ibrahamim mengkritik penyembah berhala, nabi Muhammad melawan perbudakan dan sebagainya. Ketika duduk di bangku SMA saya sangat bangga dengan tiga empat tukang kritik sekaligus. Keempat orang yang saya sebut sebagai tukang kritik itu antara lain Amin Rais, Gus Dur, Nur Kholis Majid, dan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Ketika reformasi berada di depan gerbang mereka sangat meyakinkan saya bahwa bangsa ini akan membaik dengan mengalami operasi yang sakit. Optimisme itu dibangun dari kritik atas kebobrokan rejim Suharto waktu itu kemudian dipaksa turun dari tahta presiden seumur hidup pada tanggal 21 Mei 1998. Dunia geger, para kapitalis asing takut akan diusir dari bumi Nusantara seperti Freeport dan exxon mobile, dan sebagainya. Reformasi 1998 mengembalikan konsentrasi bangsa dari zaman yang menuhankan pembangunan ekonomi (ekonomi sebagai panglima) menuju politik sebagai pusat pembangunan bangsa seperti zaman Sukarno dalam politik nasionalismenya (Politik sebagai panglima). Karena bangsa Indonesia terlalu terkonsentrasi dengan reformasi politik akhirnya para kapitalis menyusup dalam dunia politik dan mereka bisa bertahan sampai sekarang sebagai penguasa ekonomi Indonesia. Rakyat pun tetap menderita. Pengangguran dan kemiskinan menyundul sampai 40 juta anak bangsa. Meski kenyataan berbeda dengan angka pemeirntah soal kemiskinan dan kebijakan anti kemiskinan saya yakin keadaan sesungguhnya lebih buruk dari yang digambarkan penguasa saat ini. Dalam sebuah kuliah malam, Prof. Wilson bercerita banyak mengenai Adam Smith dan Hegel plus Karl Marx. Menurutnya politik lebih layak emnjadi pengalima sebab politik adalah tata kelola pemerintahan sementara ekonomi adalah persoalan kesejahteraan individu. Jika ekonomi menjadi panglima atau menduduki posisi di atas kedaulatan negara maka bisa dipastikan negara akan dijadikan alat individu untuk memaksimalkan kesejahteraannya dari pada orang kebanyakan. Negara akan dibajak dan dieksploitasi sebagaimana zaman Suharto dan sekarang ini. Sedangkan tabiat negara kuat (strong state) dengan menempatkan kedaulatan rakyat (popular sovereignty) tentu akan menjamin orientasinya lebih ke rakyat. Jika rakyat paham hak-haknya maka negara tidak bisa menolaknya. Kemana tukang kritik besar?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI