Mohon tunggu...
Yogi Pusa
Yogi Pusa Mohon Tunggu... Lainnya - Yogi Pusa yang bernama asli Yogi Alexander menyukai dunia jurnalistik sejak duduk di bangku SMA.

Selalu belajar menulis. Bagaimana cara menyusun kalimat yang baik dan benar. Dengan menulis akan membuat ide kita tersalurkan. Tulisan saya bisa juga dilihat di www.yogipusa.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pentingnya Penataan Ruang di Kawasan Komunitas Adat

22 Februari 2013   04:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:54 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SEBANYAK 40-an peserta menghadiri kegiatan lokakarya tentang tata ruang kawasan adat yang di selenggarakan oleh Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan - Pancur Kasih ( PPSDAK-PK). Kegiatan tersebut dilaksanakan di Balai Berkuak, Ketapang, pada Sabtu-Minggu (16-17/2) lalu. Adapun tema dalam lokakarya, yakni “Perencanaan Tata Ruang Kawasan Komunitas Adat Menuju Pengakuan Hak Masyarakat Adat di Kalimantan Barat”.

Adapun para peserta yang ikut terlibat dalam kegiatan ini berasal dari wilayah Kec.Simpang Hulu dan Simpang Dua. Mereka yang hadir terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, para petani, dan para unsur pemuda. Mereka yang diundang ini adalah yang mengetahui secara persis dan bahkan ikut terlibat didalam pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh Pancur Kasih 15-19 tahun silam.

Sebagaimana diketahui sejak dari tahun 1994 silam, wilayah ini sudah dilakukan pemetaan. Sehingga PPSDAK merasa perlu kembali mengecek keberadaannya sekarang ini. Untuk itu maka perlu penataan kembali terhadap kawasan yang sudah dipetakan.

“Perlu dilakukan konsolidasi ulang terhadap wilayah yang sudah dipetakan terdahulu. Untuk itu melalui kegiatan ini diharapkan adanya informasi dari dulu hingga kini,”ujarnya Getruida dari PPSDAK saat membuka acara lokakarya tersebut. Dirinya pun berharap dengan dilakukannya lokakarya seperti ini agar ada penguatan dan terdokumentasi dan teregistrasinya wilayah adat yang sudah dipetakan.

“Harapan saya supaya ada penguatan. Dan meregistrasi pada wilayah adat serta terdokumentasinya perubahan-perubahan yang menyangkut tata ruang wilayah adat,”harap Ida lagi. Sedianya kegiatan lokakarya akan dibuka oleh Camat Simpang Hulu, Yulianus. Namun pada saat yang bersamaan rupanya ada agenda penting di Ketapang. Sehingga kemudian acara pun dibuka oleh Julianus Julin, selaku Kepala Desa Balai Pinang.

[caption id="attachment_229036" align="alignleft" width="379" caption="Peserta : Para peserta Lokakarya tata ruang di Balai Berkuak-Ketapang"][/caption]

Diungkapkan oleh Julin, masyarakat adat semestinya harus tetap mempertahankan wilayah adatnya. Kekuatan utamanya berada ditangan masyarakat adat itu sendiri. Dirinya berharap agar semua pihak menghilangkan segala perbedaan-perbedaan yang ada. “Bila kita tidak bisa mempertahakan hak-haknya, maka kita akan musnah. Kekuatan untuk mempertahankan segala hak ulayat berada di pundak kita ini.

Untuk itu mari hilangkan segala perbedaan dan mari bergandengan tangan. Jika semua hak ulayat diserahkan, maka kita tinggal jadi penonton saja,”kata Julin. Setelah menyampaikan sambutannya, Julin yang juga ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kec.Simpang Hulu ini kemudian langsung membuka acara dan langsung disambut aplus oleh undangan yang hadir.

Laurensius Tatang dalam paparan materinya mengungkapkan bahwa sangat penting dilakukan pemetaan partisipatif terhadap kawasan adat diwilayah adat Banua Simpakng. Meskipun dulunya sudah dilakukan pemetaan, namun seiring perjalanan waktu tentu saja akan mengalami perubahan-perubahan. Hal ini tentu saja akan berdampak pada pemukiman masyarakat.

Tatang menilai masuknya berbagai perusahaan diwilayah masyarakat adat, akan terus menerus meminggirkan masyarakat adat. Apalagi seringkali masyarakat diiming-imingi dengan uang, sehingga kemudian tanahnya dijual. “Kerapkali masyarakat adat yang mempunyai tanah-tanah dapat dengan mudahnya menyerahkan tanahnya kepada perusahaan karena diimingi uang.

Semestinya masyarakat harus berpikir jauh untuk kedepannya. Untuk itu maka perlu dilakukan pemetaan terhadap kawasan masyarakat supaya bisa diperjuangkan hak-haknya,”jelas Tatang.

Selain pemateri dari PPSDAK, pada kesempatan tersebut juga ada dari AMAN Wilayah Kalbar dan AMAN Daerah Ketapang Utara. AMAN Kalbar yang diwakili Yogi Alexander, dalam paparannya lebih kepada menjelaskan tentang latar belakang keberadaan AMAN didirikan. Kemudian perjuangan-perjuangan AMAN dalam advokasi masyarakat adat.

Selain itu juga menyinggung tentang Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) yang sedang dibahas DPR RI. Kemudian tentang Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Tentang Masyarakat Adat di Kalbar, yang hingga kini masih dibahas pihak legislative melalui hak inisiatifnya.

Sedangkan Petrus Apin, selaku ketua Badan Pelaksana Harian (BPH) AMAN Ketapang Utara, menjelaskan tentang kondisi AMAN Daerah Ketapang utara dari sejak dibentuk hingga sekarang ini. Diakui oleh Apin, keberadaan AMAN di daerah Ketapang Utara memang belum maksimal.

Hal ini dikarenakan masih belum adanya konsolidasi internal serta masalah komunikasi yang berjauhan tempat tinggalnya. Sedangkan kegiatan AMAN di daerah tersebut dijelaskan Apin lagi, baru sebatas sosialisasi saja. Sedangkan kegiatan advokasi dan penguatan lainnya belum bisa maksimal.

Narasumber lainnya, Romo Bangun,Pr, juga turut menyumbangkan pemikirannya dalam kegiatan itu. Adapun hal yang dibahas, yakni tentang menguatkan “Energi” Adat. Menurut Romo Bangun, keberadaan masyarakat adat harus utuh, serta terciptanya rasa keadilan bagi semua. “ Adat bukan hanya bahan diskusi saja. Tetapi juga harus ada keterlibatan diri dan tanggungjawab bagi semua masyarakatnya,”kata Romo Bangun.

Untuk itu Romo Bangun menekankan agar masyarakat adat yang berjuang demi mempertahankan adat dan tradisinya untuk selalu konsisten dan berani. Apalagi menurutnya sekarang ini, kaderisasi untuk penerus adat dan tradisi sangat memprihatinkan. “Anak muda harus berani berjuang, bersuara, untuk belajar tentang adat dan tradisinya. Dengan demikian kelangsungan budaya dayak akan terus ada,”harap Romo Bangun.

Ditegaskan oleh Romo Bangun, kesadaran bersama masih kurang serta kontiunitas yang tidak berjalan baik. Ia menilai masalah adat dan tradisi bukan hanya dibicarakan dalam tataran teori-teori seperti yang diungkapkan oleh para pakar. “Justru mereka belum tentu bisa mempraktekkannya layaknya seperti masyarakat adat,”ungkap Romo Bangun lagi.

Getruida dalam penjelasannya tentang Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). BRWA sangat penting bagi advokasi dan penataan terhadap kawasan komunitas adat dimana pun domisilinya. Untuk itu dirinya menyarankan agar wilayah komunitas adat Dayak Simpakng perlu meregistrasi kawasan komunitasnya, supaya terdata dengan baik. Melalui kegiatan itu juga kepada para peserta dibagikan formulir BRWA, dan diharapkan kedepannya semua komunitas atau kampung yang ada diwilayah ini bisa mendaftarkan wilayah adatnya.

Sedangkan pada hari kedua, Minggu (17/2) kegiatan lebih difokuskan kepada masyarakat diwilayah dusun Pendaun. Tatang menjelaskan dipilihnya dusun pendaun, yakni terkait keberadaan kawasan Bukit Bindang Tonah Colap Torutn Pusaka. Dimana kawasan ini dulunya juga sudah dikukuhkan dengan upacara adat Babatatn. Sehingga harus tetap dijaga, selain itu kampung-kampung disekitarnya juga dituntut untuk bersama-sama menjaga wilayah adatnya.

Adapun para peserta tersebut berasal dari lima kampung, yakni Pendaun, Petebang, Belantek, Segamber, dan Balai Kumai. “Latar belakang kenapa dusun Pendaun saja yang di undang pada hari kedua ini. Karena kedepannya akan diajukan supaya keberadaan Bukit Bindang Tonah Colap Torutn Pusaka memiliki payung hukum. Seperti Perdes (peraturan desa), bahkan hingga ke tingkat pemerintah kabupaten, agar Bupati menerbitkan Surat Keputusan (SK) terkait kawasan ini agar memiliki kekuatan hukum.

Dan jika ada orang yang akan membuka kawasan ini termasuk perusahaan akan bisa dihadapkan dengan meja hijau,”jelas Tatang. Dengan menghadirkan semua perwakilan kampung Pendaun, Belantek, Segamber,Balai Kumai, Petobang dan sekitarnya diharapkan kemudian agar mereka dapat mereview kembali kawasan adatnya yang dulu pernah dipetakan.

[caption id="attachment_229037" align="alignright" width="403" caption="Tata Ruang :Masyarakat dusun Pendaun membahas tata ruang wilayahnya"]

13617572811216853608
13617572811216853608
[/caption]

Acara diskusi yang dipandu oleh Tatang dan Getruida tersebut pertama-tama, yakni peserta dibagi berdasarkan kampungnya guna membahas perubahan tata guna lahan mereka dari dulu hingga kini. Banyak hal yang berubah, mereka pun diperlihatkan dengan peta-peta terdahulu. Kemudian memberikan tanda-tanda dimana saja titik-titik yang berubah tersebut.

Kemudian masing-masing perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Ternyata ada begitu banyak perubahan yang terjadi, berkurangnya wilayah kawasan hutan yang dulunya luas. Hal ini diakibatkan berbagai macam seperti untuk lahan perladangan serta ada juga sebagian masyarakat yang menyerahkan lahannya kepada perusahaan sawit.

Selain membahas masalah perubahan tata ruang kawasan, juga dibahas tentang perencanaan wilayah Dusun Pendaun kedepannya untuk penentuan batas. Dalam kesempatan ini semua peserta diajak untuk mengadakan diskusi kelompok seperti sebelumnya. Mereka diarahkan untuk membuat perencanaan terhadap kampungnya. Dan apa semestinya yang dilakukan yang sesuai dengan kebutuhan dan sangat penting.

Banyak hal yang dibicarakan dan direncanakan oleh masing-masing kampung. Semuanya menekan pentingnya menjaga lahan-lahan seperti bawas dan tembawang serta hutan-hutan yang masih tersisa. Terkait keberadaan Bukit Bindang Tonah Colap Torutn Pusaka, keberadaanya akan terus dijaga. Tindak lanjut dari semua diskusi-diskusi tersebut akan dibawa dan dibicarakan lagi di tingkat kampung oleh warga secara bersama-sama.

Dharma salah satu peserta menyarankan agar tidak hanya di wilayah Pendaun saja yang dijadikan contoh awal melain harus semua wilayah yang masih belum tergarap perusahaan sawit juga patut untuk didampingi. “Saya sih mengusulkan dan mengharapkan agar tidak hanya dusun Pendaun saja yang dijadikan contoh awal. Tetapi juga daerah-daerah lain juga perlu. Biar mereka merasa didukung, sehingga tidak ada kesan pembedaan,”ujar Dharma.

Senada dengan Dharma, peserta lainnya, Akon mengungkapkan jangan sampai dusun Pendaun dijadikan patokan oleh kampung-kampung lain. Sehingga kampung lain merasa dipinggirkan. “Saya prinsipnya begini, jangan sampai orang lain bilang benteng terakhir di Banua Simpakng ini adalah dusun Pendaun saja. Sehingga kalau Pendaun sudah masuk perkebunan sawit dan menyerahkan lahannya, lalu daerah lain juga ikut-ikutan. Makanya kampung-kampung lain juga perlu dilakukan penguatan dan dilakukan penyelamatan kawasan hutannya yang tersisa,”saran Akon diakhir acara.

Mudah-mudahan dengan memujudkan pengelolaan tata ruang yang bersumber dari masyarakat itu sendiri, mereka bisa mandiri. Dan pemerintah mengakui dan tidak memaksakan untuk berinvestasi dilahan-lahan masyarakat adat. Dengan demikian eksistensi masyarakat untuk berdaulat, mandiri dan bermartabat ditanahnya sendiri dapat terwujudkan. SEMOGA!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun