dari kerangka masyarakat bersahaja. Adanya salah anggapan ini disebabkan karena para penggerak semangat kebangsaan Indonesia umumnya berlatar belakang dari kelompok berpendidikan Barat yang telah dimuati oleh pola berpikir bahwa semangat kebangsaan lebih diletakkan pada pengertian kemerdekaan secara fisik materil.
Demikian juga budaya bangsa ditempatkan dalam posisi inferioritas berhadapan dengan superioritas budaya barat. Padahal apabila direnungkan lebih jauh, agaknya perjuangan kebangsaan yang hanya mengandalkan pertimbangan rasionalitas dan pragmatis belaka tidak akan kuat bertahan berhadapan dengan kekejaman kolonialisme dan imperialisme. Hal ini disebabkan karena rasionalitas apalagi pragmatis hanya melihat kehidupan sebatas dari lahir sampai meninggal tidak mampu menjangkau aspek terdalam dari diri manusia. Rasionalitas dan pragmatis tidak mampu menjelaskan asal usul kehidupan dan tujuan akhir kehidupan manusia.
Sebaliknya, dua sumber nilai yang dimiliki bangsa ini yaitu keteguhan agama dan budaya membuat mereka cukup kuat bertahan sekalipun alat pertahanan masih konvensional yaitu bambu runcing diadu dengan senjata modern. Namun pada akhirnya spirit bambu runcing itu yang berhasil memperjuangkan Indonesia merdeka. Oleh karena itu, bangsa ini tidak selayaknya mengabaikan warisan keteguhan sikap yang dilandasi etos kerja keagamaan dan kebudayaan bangsa baik sewaktu perjuangan kemerdekaan maupun sekarang dalam tahap pembangunan bangsa Indonesia.
Sekarang, mari kita telusuri nilai-nilai agama dan budaya yang melandasi tumbuhnya semangat kebangsaan itu. Pertama, peta negara kepulauan yang menjadi ciri khas Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang ditempuh dengan perjalanan pesawat terbang hampir menyamai jarak terbang dari Jakarta ke Jeddah. Setiap kepulauan memiliki tradisi dan langgam budaya yang berbeda dan masing-masing etnis memiliki rasa kebanggaan terhadap tradisinya. Bagaimana mungkin hal ini dapat bersatu tanpa adanya keyakinan metafisis yang dapat merekat keragaman.
Keragaman budaya hanya dapat direkat oleh keyakinan terhadap kesatuan teologis yang dilaksanakan dalam kesatuan kiblat, kesatuan gerak dan irama yang dipimpin seorang imam terhadap makmumnya dan kesatuan bahasa dalam salat. Dengan menisbikan budaya, agama mengajarkan keabsolutan pelaksanaan ajaran agama dalam satu komando menghadap Tuhannya. Agama lain juga, yang mengacu secara bersama terhadap Kitab Suci yang satu dan juga istilah yang sama membawa umatnya menerawang jauh menuju kepada kesatuan penyembahan. Sikap yang dipancarkan lewat upacara keagamaan ini dengan sendirinya memantul dalam perilaku social, politik, ekonomi dan budaya.
Kedua, agama di satu sisi mengajarkan prinsip cinta kasih kepada semua makhluk apa pun agama yang mereka anut dan apa pun budaya yang mereka tekuni karena agama adalah sebagai wujud pancaran cinta kasih Tuhan kepada makhlukNya. Oleh karena itu, setiap orang hendaklah tertanam dalam dirinya mencintai sesama manusia. Akan tetapi cinta kasih kepada makhluk itu ada batasnya yaitu adanya kewajiban manusia untuk membela dirinya apabila hak-hak dasarnya terancam oleh tindakan orang lain. Dua hak dasar itu adalah kebebasan beragama dan kebebasan memilih tempat tinggal. Apabila dua hal ini terancam maka setiap orang, kelompok atau bangsa berhak membela diri. Pengertian membela diri bukanlah mencari lawan akan tetapi menunjukkan kehormatan manusia sebagai sesama makhlukNya. Dalam kaitan inilah pihak pribumi harus melakukan perlawanan terhadap pihak kolonial
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H