Mohon tunggu...
Rezky Suryana
Rezky Suryana Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang PNS biasa yang selalu mau belajar dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Capres Tak Berpengalaman?

23 Mei 2014   13:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:12 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam pandangan saya, adalah keliru besar jika menganggap Jokowi merupakan Capres yang belum berpengalaman dan belum teruji kepemimpinannya. Dari kacamata Ilmu Pemerintahan, kapasistas kepempinan/leadership seseorang salah satunya dilihat dari aspek 'governance"-nya, yakni bagaimana seorang pemimpin mampu menjalankan roda pemerintahaan secara efektif juga efisien, mampu menggerakkan semua pemangku kepentingan/stakeholders (pemerintah, swasta dan civil society) secara sinergis dan mampu menghadirkan pemerintah ditengah-tengah rakyatnya. Oleh karena itu kapasitas leadership seseorang tidak bisa hanya diukur dari lamanya berkuasa (waktu). Sudah banyak contoh di negeri ini, pemimpin yang berkuasa dalam kurun waktu yang lama namun tak menghadirkan manfaat yang besar bagi rakyatnya, selain justru menjadi simpul-simpul permasalahan bangsa, negara dan masyarakat. Buktinya, banyak diantara orang ini yang sebelum turun jabatan sudah pecat, ditangkap karena korupsi, atau dengan mudah dilupakan rakyatnya.

Jokowi membalik logika yang salah ini. Ia membuktikan bahwa menjadi pemimpin tak selalu menuntut pengalaman yang lama, namun justru membutuhkan kepekaan dalam membaca permasalahan rakyat, kejernihan menganalisis permasalahan dan ketulusan dalam menghadirkan gagasan dan memimplementasikan solusi. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang memiliki totalitas untuk men-down-grade pemerintahan dari watak ekslusif ke inklusif, biasa dilayani menjadi melayani, dan mampu melakukan "taking ownership" dengan rakyat, sehingga pemerintahan itu bukan hanya milik pemerintah, namun juga milik rakyat dan juga kaum swasta. Dengan demikian ketiganya harus melakukan "profit-lose sharing", kalau berhasil tidak bisa mengklaim keberhasilan pemerintah sendiri, tapi juga merupakan keberhasilan rakyat dan swasta, sebaliknya kalau gagal, pemerintah juga tidak bisa disalahkan sendirian.

Pemerintahan yang seperti ini hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang transparan dan akuntabel. Ia tak menyembunyikan apa-apa kepada rakyatnya, termasuk anggaran (APBD), cara merekrut pejabat-pejabat daerahnya dan selalu mau berdiskusi dengan semua kalangan, karena ia menganggap pemerintahan ini milik bersama. Jokowi ternyata tak membutuhkan waktu lama untuk melakukan semua ini. Ia transparan dalam menggunakan dana APBD, ia mendekati rakyat untuk mengidentifikasi masalah, ia mendatangi banyak orang (tokoh masyarakat, agama, kaum intelek dsb) untuk mencari solusi. Dalam melakukan ini, Jokowi pun tak menggunakan ukuran waktu. Lihat saja, Jokowi membutuhkan 48 kali pertemuan dengan para pedagang pasar di Solo. Beberapa kali dialog dengan pedagang  di Pasar  Tanah Abang. Oleh karenanya, waktu tak selalu menjadi ukuran yang pas untuk menguji kapasitas kepemimpinan seseorang.

Pengalaman menjadi pemimpin di level terendah sebagai Walikota, kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta juga menjadi nilai tambah bagi Jokowi. Ia menjadi tahu bagaimana rumitnya persoalan pemerintahan yang disebabkan karena peraturan yang tumpang tindih atau besarnya vested interest dari elit politik di pusa maupun daerah. Hal ini menjadi modal penting untuk mencarikan solusi bagi berjalannya proses desentralisasi dan otonomi daerah ke depan. COntoh kecil, Jokowi merasakan bagaimana sulitnya mengatasi kemacetan dan banjir di Jakarta karena tak adanya dukungan regulasi untuk mengatasi masalah tersebut. Semua tahu bahwa urusan macet dan banjir merupakan masalah lintas sektor dan lintasl regional yang tak bisa diselesaikan oleh Gubernur DKI sendiri, namun ia juga tak bisa mengintervensi daerah lain untuk mengatasi maslah ini. Sekali lagi, persoalan seperti ini tak akan pernah diketahui oleh orang yang sama sekali "tidak peduli" atau bahkan orang yang belum pernah memimpin.

Soal pengalaman meimimpin ini menjadi sangat "tendensius" dalam menilai capres/cawapres saat ini. Ada pandangan sempit bahwa seseorang hanya dianggap berpengalaman apabila sudah pernah memimpin di "level nasional". Tanpa bermaksud curiga, tentu saja ini dimaksudkan untuk menguntungan capres yang lain yakni Prabowo. Benar bahwa ia pernah menjadi Danjen Koppasus dan Pangkostrad. Namun perlu dilihat, membandingakn pengalaman Jokowi sebagai Walikota dan Gubernur, dengan Prabowo sebagai mantan Pangkostrad jelas tidak apple to apple. Mereka membutuhkan skill dan seni yang berbeda. Di dunia militer, perintah digerakkan oleh struktur kepangkatan, dan kultur organisasi yang sudah baku, pangkat rendah harus tunduk dan taat pada pangkat yang lebih tinggi. Artinya, siapapun yang berpangkat lebih tinggi akan dengan mudah menggerakkan bawahannya.

Berbeda dengan Kepala Daerah, ia tak bisa menggunakan kekuasaannya untuk menggerakkan rakyatnya dengan menggunakan struktur kekuasaannya sebagaimana di dunia militer. Artinya, seorang pimpinan militer yang katanya tegas dan berani, belum tentu mampu membuat keputusan tang tegas dan berani bagi rakyatnya, ia membutuhan pembuktian, bukan analagi atau perumpamaan. Oleh karena itu, "melabeli" Prabowo sebagai calon pemimpin yang tegas dan berani jelas masih tendensius, mengingat Prabowo belum pernah diuji untuk membuat keputusan-keputusan politik yang dilematis dan berhadapan dengan rakyat yang jelas-jelas memiliki kultur yang berbeda dengan masyarakat. Sekali lagi membandingkan "pengalaman" Jokowi dan Prabowo tak bisa menggunakan ukuran waktu. Belum lagi soal suasana batin, suasana politik yang menjadi background keduanya menjadi pemimpin. Jokowi lahir sebagai pemimpin dari pemilihan yang demokratis oleh rakyat. Sementara Prabowo banyak dinilai memperoleh 'kemudahan' pangkat dan jabatan karena alasan keluarga (menantu presiden). Lihat saja, sejak ia menjadi Komandan Kopassus, namanya diubah dari Komandan Kopassus (Dan Kopassus) menjadi Komandan Jenderal Kopassus (Danjen Kopassus), pangkat Danjen Kopassus dinaikan dari Brigjen ke Mayjen, demikian juga pangkat Pangkostrad dinaikan dari Mayor Jenderl menjadi Letnan Jenderal pada saat Prabowo berkuasa. Lagi-lagi ukuran waktu menjadi sangat dilematis menjadi ukuran pengalaman pemimpin, karena Prabowo tak mampu menyelesaikan tugasnya sebagai Pangkostrad karena diberhentikan dari karir militernya pasca kerusuhan Mei 1998.

Jokowi setidaknya turut "berkeringat" dalam mewarnai proses panjang perjalanan pemerintahan pasca reformasi, walaupun di level daerah. Sedangkan, pasca diberhentikan dari militer, Prabowo "menenangkan" diri dan membesarkan kerajaan bisnisnya di negeri asing Yordania, sehingga ia tak memiliki pengalaman sekaligus suasana kebatinan dengan proses perjalanan panjang reformasi saat ini. Jadi masihkan kita mempermasalahkan soal pengalaman untuk menilai kedua capres kita? silakan direnungkan kembali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun