Suatu waktu teman saya sangat bersemangt dan provokatif meminta saya untuk memilih Capres Prabowo pada Pilpres 9 Juli 2014 nanti. Bagi saya, moment politik seperti ini sah-sah saja bagi semua orang untuk mengajak, memprovokasi atau menjual capres pilihannya, namun perlu reasoning yang jelas. Saya tak ingin dibilang pemilih yang tak punya pendirian dan tak punya kriteria dalam menentukan calon pemimpinnya. Padahal jujur, kondisi yang saya alami, atau yang dihadapi masyarakat sekarang ini ada campur tangan atau akibat dari peran pemimpin/presiden dalam mengambil kebijakan politik sehingga berdampak pada kehidupan kita.
Ketika saya bertanya kepada teman saya, tolong berikan alasan yang tepat dan masuk akal kepada saya kenapa saya harus memilih Prabowo sebagai Presiden mendatang ? Teman saya hanya menjawab karena Prabowo tegas, berani dan bersih, lagipula Prabowo lebih gagah, lebih pro-rakyat dan lebih kaya. Lalu saya lanjutkan pertanyaan saya, apa anda bisa membuktikan atau memberikan contoh dimana letak ketegasan, keberanian dan ke-"bersih"-an Prabowo ? Lalu saya tak mendapat jawaban yang bisa saya nalar dengan akal sehat saya.
Saya lalu berargumen bahwa saya memiliki pandangan yang berbeda, dan saya justeru menganggap Prabowo merupakan Capres yang menyandang banyak "kegagalan"
Setidaknya saya mencatat ada 7 kegagalan Prabowo sampai saat ini :
1. Prabowo telah gagal memaknai kata “tegas” dan “berani” ketika masih aktif menjadi anggota ABRI. Oleh DKP Prabowo diputuskan turut bertanggung jawab terhadap kasus penculikan dan penghilangan aktivist pro-demokrasi 1998, sehingga diberhentikan dari dinas militer. Salah seorang mantan anggota DKP menyatakan bahwa Prabowo menyalahi prosedur komando dalam penanganan terhadap demonstrasi pada waktu itu. Dugaan seperti itu wajar dan masuk akal mengingat posisi Prabowo sebagai Pangkostrad adalah pengendali pasukan, dan ia sadar betul bahwa sasaran aktivist pro-demokrasi 1998 adalah menggulingkan Soeharto yg tidak lain adalah mertuanya sendiri. Jadi dugaan penyalahgunaan kewenangan sebagai Pangkostrad sangat wajar karena untuk menyelematkan rezim mertuanya. Apalagi karir Prabowo yang melesat di ABRI banyak dipengaruhi oleh posisinya sebagai keluarga Cendana daripada prestasi di karir militernya. Pangkat militer Prabowo melesat bak meteor walau tak pernah terdengar prestasi yang diraihnya. bahkan jabatan-jabatan militer pun sudah disiapkan agar pangkat Prabowo bisa melesat. Contoh, perubahan nomenklatur jabatan Komandan Kopassus (Dan Kopassus) diubah menjadi Komandan Jenderal Kopassus (Danjen Kopassus) pada saat Prabowo menjabat sebagai komandan agar bisa menaikkan pangkat pada jabatan tersebut yang sebelumnya Brigadir Jenderal menjadi Mayor Jenderal. Padahal pada Pasukan Elit lainnya seperti Komando Pasukan Khas TNI AU dan Komandu Pasukan Katak/ Jala Mangkara TNI AL tidak mengalami perubahan. Komandan Paskhas disebut sebagai Dankorp Paskhas dengan Pangkat Marskal Pertama atau setingkat Brigadir Jenderal. Kemudian ketika Prabowo menjabat sebagai Pangkostrad, pangkat pada jabatan Pangkostrad juga dinaikkan dari Mayor Jenderal menjadi Letnan Jendera. Ini banyak disinyalir dalam rangka mengakomodasi kenaikan Pangkat Prabowo, sebagaimana dilakukan oleh Alm Pak Harto sendiri yang memberikan pangkat bagi dirinya sendiri sebagai Jenderal Besar Bintang lima, walaupun dalam struktur kepangkatan militer Indonesia belum pernah dikenal ada pangkat Jenderal Besar.
Di kalangan ABRI sendiri, kualitas kepemimpinan Prabowo sendiri masih diragukan. Sebagai prajurit ABRI berpangkat Letnan Jenderal, Prabowo belum pernah sekalipun menjabat sebagai Panglima Komando Utama (Pangkotama) setingkat Panglima Kodam (Pangdam). Hal ini tak lazim di tubuh ABRI maupun TNI sekarang, bahwa seorang Perwira berpangkat Letjend tapi tak pernah memegang jabatan Pangdam. Jabatan Pangdam biasanya dijadikan sebagai ukuran kapasitas leadership seorang Perwira Tinggi, karena jabatan Pangdam terkait dengan penanganan wilayah teritorial yang mengharuskan membangun sinergi dengan pemangku kepentingan lainnya seperti Gubernur, Kepala Polda, Kajati, Ketua Pengadilan Tinggi dsb. Jadi, nyaris tak ada jenderal berbintang 3 yang tak pernah menjabat sebagai Pangdam, kecuali Prabowo. Lalu dimana logikanya menganggap Prabowo sebagai Capres berpengalamanan kalau dia hanya punya pengalaman memimpin Kostrad yang beranggotakan lebih kurang 30 ribu pasukan selama kurang dari 1 tahun?
Jadi bagi saya, memilih seorang Calon Panglima Teringgi TNI AD, TNI AL, TNI AU (Pasal 11 UU 1945) dari seorang yang pernah dipecat/diberhentikan dari institusi tersebut adalah sebuah kekonyolan.
2. Prabowo belum pernah menunjukkan dan belum teruji sebagai pemimpin yang "tegas" dan "berani" dalam mengambil kebijakan-kebijakan publik yang strategis bagi rakyat. Ketegasan dan keberanian seorang pemimpin diukur dari keberanian untuk "taking risks" dari keputusan-keputusannya. Tunjukkan kepada kita, mana bukti ketegasan dan keberanian Prabowo yang sudah konkrit bisa dilihat dan dirasakan oleh masyarakat. Bahkan untuk mempertanggungjawabkan secara moral atas tuduhan-tuduhannya pun ia tak berani, hingga kabur ke Yordania. Bagi seorang pemimpin pemerintahan, hal tersebut ditunjukkan dengan keberanian mengambil keputusan-keputusan politik yang strategis dan bermanfaat bagi rakyat meskipun kebijakan tersebut tidak populis. Bagi saya, Prabowo belum pernah memiliki wadah untuk membuktikan bahwa dia sebagai pemimpin yang tegas dan berani, jadi melabeli Prabowo sebagai Capres yang tegas dan berani baru sekedar ilusi yang dibangun dari gaya berbicara, postur tubuh atau latar belakang karirnya sebagai militer. Padahal banyak contoh bahwa pemimpin dari militer juga tak cukup punya nyali untuk mengambil resiko membuat keputusan-keputusan politik yang tegas dan berani.
Prabowo juga tak pernah punya panggung untuk membuktikan bahwa dia bersih dari korupsi. Ia belum pernah mengelola APBN atau APBD, belum pernah menghadapi kelompok mafia anggaran, pengusaha hitam atau pejabat bermental rent-seeker. Ketidakmampuan Prabowo dalam mengelola keuangan justru terlihat bagaimana dia mengelola perusahaan seperti PT KIANI Kertas hingga Dia memiliki hutang triliunan rupiah (http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/234802-utang-perusahaan-prabowo-rp14-3-triliun).
3. Prabowo gagal meimpin HKTI hingga dia dikudeta oleh Oesman Sapta, karena pada peridoe kedua pengangkatannya sebagai ketua HKTI dianggap melakukan kecurangan. Akhirnya Prabowo mengakhiri kepemimpinan di HKTI tanpa prestasi apa-apa, produk pertanian tak mampu didongkrak sebagaimana janjinya, harga pupuk, obat dan bibit pertanian tak mampu dikendalikan dsb. Artinya, visi di bidang pertanian Prabowo masih sangat diragukan karena belum terbukti mendorong kemajuan bagi petani. Label ekonomi kerakyatan yang dilekatkan kepada Prabowo hanya imbas dari visi ekonominya sang ayah, bukan Prabowo sendiri. Maksud hati Prabowo ingin menjadikan HKTI sebagai panggung politiknya, namun apa daya justru mempermalukan dirinya.
4.Prabowo gagal membangun integritas dan memaknai perjuangan untuk mengatasi kemiskinan. Dia adalah salah satu dari sekian banyak pejabat di negeri ini yang banyak berbicara tentang kemiskinan, namun selalu berpenampilan orang kaya. Dia datang ke orang-orang miskin untuk berbicara tentang kemiskinan namun selalu mengendarai mobil mewah, helikopter atau kuda yang berharga miliaran. Pengentasan kemiskinan tak hanya berkait dengan kebijakan kongkret mengurangi angka kemiskinan, namun juga bagaimana menumbuhkan kepekaan (sense) dan empati bahwa dia sebagai pemimpin juga memiliki ikatan batin dan turut merasakan sebagai "orang msikin". Secara sosiologis, kemiskinan tidak akan banyak menimbulkan masalah jika ia hadir ditengah-tengah kemiskinan pula. Namun akan menjadi masalah besar jika kemiskinan hadir di tengah-tengah kemewahan. Inilah yang dipertontonkan Prabowo dalam program pengentasan kemiskinannya. Adalah sebuah berkah, bahwa Prabowo dilahirkan dari keturunan orang kaya/mampu, namun Prabowo gagal menghubungkan antara sense dan empati dengan janji politiknya untuk mengentaskan kemiskinan. Bahkan mungkin Prabowo tak pernah tahu suasana kebatinan orang miskin karena tak pernah mengalaminya. Ini ibarat kita diajari cara berdiet oleh orang yang kegemukan/obesitas.
5. Prabowo gagal menjadi pemimpin kecil di keluarga. Prabowo-Titik Prabowo mengakhiri rumah tangganya karena gagal menyatukan dua visi, dua perbedaan, dua kepentingan dalam keluarganya (http://profil.merdeka.com/indonesia/s/siti-hediati-hariyadi/). Pertanyaannya, bagaimana ia akan mampu memimpin negara dengan permasalahan yang kompleks, dengan vested interest yang bermacam-macam, kalau prakteknya mencari solusi untuk sebuah negara kecil yang bernama “keluarga” saja ia gagal? Mempertahankan sebuah keluarga adalah cerminan “integritas” laki-laki sebagai seorang pemimpin negara pada level yang paling kecil. Oleh karena itu kualitas seorang pemimpin negara juga ditunjukkan bagaimana dia memimpin keluarganya, karenanya isteri seorang kepala negara diberi sebutan Ibu Negara.
6. Prabowo gagal menyejahterakan buruhnya sendiri di PT KIANI Kertas. Menurut OPSI, sampai hari ini masih ada gaji buruh yang tak terbayarkan setelah perusahaan milik Prabowo tersebut dianggap gagal (http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/05/29/opsi-prabowo-belum-lunasi-gaji-buruh-pt-kiani-kertas). Kondisi seperti ini memunculkan keraguan bagaimana Prabowo bisa memenuhi janjinya mengabulkan 10 tuntutan buruh kalau satu persoalan mengenai gaji buruhnya sendiri saja tak kunjung selesai. Padahal memenuhi tuntutan buruh soal UMR saja akan sangat sulit. Prabowo tak pernah merasakan bagaimana sulitnya industri kecil dan rumah tangga untuk memberikan UMR sebesar 3,4 juta bagi buruh. Banyak industri rumahan dan industri kecil harus survive untuk menjaga industrinya tetap beroperasi, namun "dipaksa" memberikan upah untuk memenuhi kebutuhan buruh seperti parfum, pulsa, magic jar dsb, bahkan mungkin si pengusaha pun tak sempat untuk membeli parfum.
7. Prabowo gagal memahami proses demokrasi karena tak turut berkeringat melahirkan dan membesarkan proses demokrasi di Indonesia. Pasca dipecat dari dinas militer, Prabowo mengasingkan diri (katanya berbisnis) di Yordania. Ia sama sekali tak memiliki ikatan batin dengan proses reformasi dan demokrasi yang terjadi sejak 1998. Kemudian kini ia bermaksud memimpin demokrasi di Indonesia, ini sangat membahayakan bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Selain tak paham karena tak pernah turut terlibat dan berkeringat membesarkannya, ia memiliki gen otoritarianisme orde baru yang tercermin dari cara berbicara, cara berorasi, cara menyudutkan lawan politik dan cara dia membangun koalisi. Oleh karena itu sulit diterima akal sehat jika kita menyerahkan mandat kekuasaan untuk melanjutkan reformasi kepada orang yang pernah manghadang proses reformasi itu sendiri. Dan lebih runyam lagi, banyak orang yang dulunya berteriak 'reformasi", kini berbondong-bondong mendukung orang yang berusaha memberangus reformasi. Kita bisa membayangkan seandainya pada tahun 1998 dulu Prabowo berhasil menggagalkan reformasi, maka saat ini kita masih hidup tercekam rasa takut, kebebasan bersuara yang terberangus dan hidup dalam penjajahan bangsanya sendiri. Bagi saya, memilih Prabowo berarti kembali menyeret gerbong reformasi ke arah Orde Baru. Orde Reformasi tak layak diisi oleh orang-orang yang menolaknya. Orang seperti Amin Rais menunjukkan bahwa dirinya tak paham dengan arti perjuangannya atau justru apakah sebetulnya AR sendiri tidak pernah berjuang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H