Mohon tunggu...
Rezky Suryana
Rezky Suryana Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang PNS biasa yang selalu mau belajar dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

DPRD DKI Jakarta Sedang Galau

25 Mei 2013   00:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:04 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nampaknya strategi anggota DPRD DKI melakukan 'test the water' dengan melontarkan wacana menginterpelasi Jokowi-Basuki (JB) cukup berhasil. Mereka ini bisa memetakan seberapa kuat dukungan masyarakat Jakarta terhadap JB dan seberapa besar tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga perwakilan daerah Jakarta tersebut, kini mereka pun terlihat galau. Mungkin mereka masih penasaran karena pada Pilkada lalu JB minang dengan selisih yang tidak terlalu signifikan dengan petahana Foke-Nara, atau momen menjelang pemilu sehingga mereka butuh peta untuk menggalang suara pada pemilu 2014.

Sayangnya usaha 'test the water' tersebut sangat beresiko bagi mereka. Pasalnya, suara kritis dan sumbang tersebut baru terjadi pada kepemimpinan JB ini. Mereka nyaris tak bersuara ketika pada masa kepemimpinan Foke. Setiap kebijakan JB dikritik dan dicibir oleh mereka, walau tak paham substansi kebijakannya. Pada kebijakan lelang jabatan misalnya, vokalis DPRD DKI semacam Allaydrus selalu memberikan komentar yang sumbang karena tak paham substansi, akhirnya yang terjadi hanyalah pamer kebodohan secara telanjang di media. Suara keras soal KJS juga ternyata didasari ketidakpahaman mereka pada penerapan sistem INA CBGs, sebagaimana secara-terang-terangan dikatakan oleh anggota DPRD DKI WH. Publikpun semakin menaruh rasa curiga bahwa suara sumbang yang bermunculan dari para anggota DPRD DKI tersebut karena hilangnya privilege yang mereka terima pada masa gubernur sebelumnya. Dugaan ini didasari karena kebijakan JB yang transparan dan anti-korupsi, sangat bertolak belakang dengan mentalitas politisi kebanyakan saat ini. Bahasa terangnya, kursi mereka tak lagi basah seperti dulu, sementara mereka butuh modal politik untuk meraup suara di pemilu nantinya. Maklum, uang menjadi substitusi yang tepat bagi politisi berkualitas rendahan untuk bisa melenggang di kursi DPRD.

Wacana interpelasi juga secara telanjang memperlihatkan kualitas mereka tak lebih dari KW-3. Mereka sama sekali tak memperlihatkan pemahamanannya terhadap kedudukannya sebagai anggota DRD DKI. UU Nomor 32/2004 tentang pemerintahan pada pasal 1 ayat (2) dan (4) sudah jelas menyebutkan bahwa DPRD adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Jadi DPRD dan Kepala Daerah adalah mitra sejajar, bukan pada hubungan yang subordinatif. Mereka ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi dan saling memberikan nilai, bukan jsutru saling mengurangi. Karenanya keduanya memiliki kedudukan yang sama kuat dalam struktur pemerintahan daerah.

Sebagai mitra sejajar, tugasnya adalah berjalan bersama menjalankan fungsi pemerintahan daerah. Dalam struktur tatapemerintahan Indonesia, kekuasaan di bidang pemerintahan ada di tangan Presiden, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi di bidang pemerintahan menurut Undang-Undang. Karena berbagai keterbatasan, maka Presiden mendelegasikan kewenangannya kepada Pemerintahan Daerah, muncullah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Jadi, pemerintahan daerah (Kepala Daerah dan DPRD) sebetulnya hanya menjalankan kewenangan yang diberikan oleh presiden berdasarkan UUD 1945 dan UU 32/2004. DPRD bukan lembaga legislative sebagaimana DPR RI  dalam sistem pemerintahan RI. Ini yang sering mereka tidak pahami. Oleh karena itu sejatinya, DPRD harus tunduk pada kewenangan presiden, bukan DPR-RI (DPRD bukan bawahan DPR RI), karena mereka (DPRD) mendapat kewenangan dari Presiden. Apa saja kewenangan yang diberikan oleh presiden ?, lihat di PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jadi sebenarnya aneh jika ada seorang anggota DPRD yang mengatakan mereka tidak punya hubungan hirarkhi dengan presiden. Bahkan seharusnya-pun, Presiden punya kewenangan untuk menegur atau membubarkan DPRD jika mereka dianggap tidak mampu menjalankan kewenangan yang sudah diberikan. Sayangnya, sistem pemerintahan kita tidak mengatur demikian. Akibatnya, banyak anggota DPRD yang justru 'merecoki' Kepala Daerah, bukannya membantu atau menjadi mitra sejajar.

DPRD diberikan fungsi-fungsi tertentu (sering disebut hak) untuk menjalankan kewenangannya seperti fungsi legislasi, fungsi budgeting, fungsi controlling dan fungsi representasi/aspirasi. Sayangnya, anggota DPRD justru tak pernah menjalankan fungsi  representasi ini, padahal mereka diberikan dana representasi/aspirasi yang jumlahnya sangat besar. Penulis pernah melakukan riset di salah beberapa provinsi, dan hasilnya sangat mencengangkan. Setiap anggota DPRD Provinsi mendapatkan dana aspirasi yang jumlahnya milyaran pertahun. Jumlah dana aspirasi untuk satu orang anggota DPRD ini melebihi dana anggaran untuk satu organisasi perangkat daerah (OPD). Contohnya di salah satu provinsi di Kalimantan, satu anggota DPRD mendapat dana aspirasi Rp. 2 Milyar, sementara anggaran untuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi hanya mendapat anggaran Rp.1,8M. Sebuah arogansi yang luar biasa dan tak tahu malu dari lembaga perwakilan.

Wacana interpelasi yang dimunculkan 32 anggota DPRD DKI secara telanjang sudah mempertontonkan kualitas mereka, yang tak paham substansi, miskin visi-misi dan besar arogansi. Sebagai mitra sejajar seharusnya membantu proses pengganggaran APBD dengan baik, jangan sampai penetapannya molor seperti kemarin. Terlihat sekali tarik ulur kepentingan DPRD DKI dalam molornya penetapan APBD DKI 2013 ini. Pada umumnya anggota DPRD pintar dalam memainkan 2 fungsi budgeting dan controling ini. Logikanya, jika 'kepentingannya' diakomodasi dengan baik oleh kepala daerah, maka pengawasannya lemah. Tapi sebaliknya, jika kepala daerah tak mengakomodasi kepentingan 'budget' DPRD mereka akan galak dalam mengawasinya. Inilah yang terbaca dari sikap mereka, mengapa mereka lembut di kepemimpinan Jakarta sebelumnya, dan galak di era JB ini.

Fungsi legislasi harus dijalankan dengan membuat regulasi (Peraturan Daerah) untuk melegitimasikan kebijakan JB, bukan seperti selama ini dengan menunda-nunda pembahasan Raperda.ALih-alih bisa membuat Perda atas inisiatif DPRD DKI, bahkan untuk menyetujui usulan penetapan Walikota Jakbar dan Jaksel pun JB harus menyurat berkali-kali. Fungsi pengawasan hendaknya digunakan secara proporsional, yakni untuk menjaga agar roda pemerintahan JB tetap on the track. Kritis boleh dan harus, tapi harus konstruktif, substantif, sportif (dan if..if..yang lainnya). FUngsi representasi/aspirasi pun nyaris diabaikan oleh anggota DPRD DKI Jakarta ini, buktinya, banyak sekali statement mereka yang bertolak belakang dari suara masyarakatnya. lalu mereka sebetulnya menyuarakan 'suara' siapa ? mereka mewakili siapa? berkerja untuk kepentingan siapa?. Wacana penolakan penggunaan hak interpelasi anggota DPRD oleh masyarakat saat ini bisa menjadi salah satu indikatornya.

Sebagai mitra sejajar, DPRD didesain untuk menjadi penyeimbang kepala daerah dalam menjalankan roda pemerntahan daerah. Karenanya, UU 32/2004 tidak lagi memberikan kewenangan pada DPRD untuk menerima pertanggungjawaban kepala daerah, melainkan hanya menerima "laporan pertanggungjawaban' dari kepala daerah. Mereka tak lagi berhak 'menolak atau menerima' sebagaimana dalam UU 22/1999 sebelumnya. Dulu, kewenangan DPRD meminta pertanggungjawaban kepala daerah banyak disalahgunakan sebagai wahana 'rent seeking'. Masih ingat dalam ingatan kita, anggota DPRD DKI menolak pertanggungjawaban Gubernur Sutiyoso, padahal pertanggungjawaban gubernur belum dibacakan. Luar bisa ngawurnya...! Nampaknya, anggota DPRD DKI masih bermental seperti itu, semangatnya bukan sebagai mitra sejajar, tapi sebagai 'musuh dalam selimut'.

Kewenangan yang besar tanpa diimbangi dengan kapasitas dan integritas yang baik memang membahayakan, yang ada justru membuat pemerintah daerah menjadi tidak bisa fokus, bukannya menciptakan 'check and balances'. Kini saatnya masyarakat mulai kritis memilih wakilnya. Jangan lagi pilih wakil rakyat yang tidak paham substansi dan tidak berintegritas. Anggota DPRD DKI yang sering bicara dan mengkritik 'ngawur' sudah tak pantas lagi menjadi wakil rakyat. Selain tak cerdas juga tak pantas. Yang lebih penting lagi, jangan mudah percaya dengan omongan para politisi seperti ini, karena pada dasarnya mereka sendiripun tidak percaya dengan omongannya sendiri, demikian pesan yang disampaikan oleh Filsuf Plato pada beberapa abad yang lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun