Latar Belakang Munculnya Paperless Office
Laporan penelitian ini akan menguraikan bagaimana mekanisme paperless sebagai reaksi atas fenomena sosial sekaligus fenomena alamdengan menggunakan pendekatan ekologi. Wujud realisasi dari paperless itu sendiri diaplikasikan dalam hal Paperless Office yang banyak diterapkan pada aktivitas administrasi dalam suatu instansi danpenggunaankertasbekasuntuklaporanpraktikum.
Fenomena sosial sekaligus fenomena alam yang dimaksud adalah reaksi yang timbul atas relasi antara aktivitas masyarakat terhadap tingkat kepedulian terhadap lingkungan yang menimbulkan suatu masalah. Bukan hanya murni masalah alam, melainkan disebabkan ulah tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Banyak kasus atas dilakukannya penebangan liar pada hutan yang berimplikasi pada degradasi hutan dan deforestsasiatau penurunan terhadap kuantitas pohon di hutan.
Beranjak dari implikasi degradasi hutan rupanya masalah tidak berhenti disitu, melainkan muncul masalah lain yakni menurunnya kuantitas oksigen yang dibutuhkan makhluk hidup dan tidak bisamengimbangi kuantitas karbon yang semakin banyak. Karbon yang semakin banyak berimplikasi pada global warming. Masalah lain yang dirasakan saat ini seperti perubahan iklim sebagai dampak dari global warming. Masalah-masalah tersebut menjadi masalah global dan harus dipecahkan bersama demi terjaganya kelestarian dan keselamatan bumi.
Banyak pihak yang sudah melakukan upaya untuk menyelamatkan bumi dari ancaman global warming. Ide paperless kemudian muncul sebagai alternatif dalam upaya penurunan degradasi dan pencegahan global warming yang mengancam keselamatan bumi. Paperless sendiri dilakukan dengan cara meminimalisasi penggunaan kertas yang akan mengurangi penebangan pohon. Namun pada kenyataannya semakin berkembangnya waktutingkat kebutuhan akan kertas yang semakin tinggi. Hal ini memunculkan solusi alternatif yaitu dikembangkannya Paperless Office yang perlu ditunjang dengan kemajuan teknologi dalam upaya maksimalisasi paperless itu sendiri.Paperless Office ini diinisiasi oleh Universitas Gadjah Mada untuk menanggapi dan ikut berpartisipasi secara aktif dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup.
Pelaksanaan Paperless Office di Indonesia menurut Prasetyo (2011) berlandaskan UU No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Inpres RI nomor 3 tahun 2003 tentang kebijakan dan strategi nasional pengembangan e-government yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan efektifitas dan efisiensi, pelayanan public, memberikan kesempatan untuk memajukan dan pemikiran bagi setiap orang, memberikan rasa aman dan kepastian hukum bagi pengguna layanan TI. Dalam menunjang konsep Paperless Office di Indonesia juga menggunakan beberapa strategi pengembangan E-government melalui Inpress RI Nomor 3 Tahun 2003 yang terlampir dalam laporan penelitian ini.
Landasan Teori
Paperless adalah mengurangi pemakaian kertas bukan meniadakan pemakaian kertas sama sekali. Jadi diharapkan kiranya konsep Paperless tidak diterjemahkan dengan arti“Bebas Kertas”. Karena hampir tidak mungkin bagi sebuah kantor untuk tidak menggunakan kertas dalam menjalankan tugas administrasi perkantorannya. Konsep ini merupakan hasil pemikiran yang muncul selain sebagai akibat berkembangnya teknologi informasi dan komputer juga merupakan sebuah solusi untuk mengurangi penggunaan filling kabinet sebagai tempat penyimpanan arsip dan merupakan pekerjaan yang memakan waktu terlalu lama (Afeanpah, 2009).
Paperless Office (PLO) itu sendiri adalah ekstraksi dari sebuah sistem tata kelola organisasi dan pemanfaatan teknologi informasi. (Edy Prasetyo, 2011)
Governance diartikan sebagai hadirnya aktor-aktor selain negara yang bisa menjalankan fungsi-fungsi negara dan lebih efektif, terutama dalam penemuhan pelayanan publik. Terlebih dalam isu-isu yang lainnya, terutama dalam bidang pembangunan ekonomi dan penanganan isu-isu sosial, negara tidak bisa lagi bertindak sendirian. Disini negara harus menegosiasikannyadengan kepentingan aktor-aktor yang berpengaruh, terutama pelaku bisnis dan kalangan civil society( Pratikno,2007:126)
Manfaat Penerapan Paperless Office
Mekanisme paperless memiliki manfaat yang dapat dirasakan oleh berbagai pihak, diantaranya adalah untuk manusia dan lingkungan.Untuk Lingkungan, menjaga kelestarian pohon-pohon di hutan, menjaga fauna yang ada di dalam hutan agar tidak punah , mencegah terjadinya degradasi hutan dan deforestsasi hutan,semakin sdikit pohon yang ditebangmaka semakin mencegah global warming,mengimbangi jumlah karbon yang ada di bumi. Sedangkan untuk manusia yakni efisiendalam penggunaan waktu, efisien terhadap biaya, meminimalisasi penggemukan pihak, manajemen kerja yang lebih baik, mempermudah dalam penkoordiniran kerja,dan citra organisasi yang lebih baik.
Selain paperless secara umum juga dewasa ini, Paperless Office (PLO) memiliki manfaat yang sangatberagam diantaranya adalah efisiensi yang diindikasi dapat mengurangipemakaian kertas, efisiensi waktu dan tenaga dalam distribusi maupun pencarian dokumen, mengurangi sampah kertas, menjamin keamanan dokumen karena dokumen hanya dapat diakses oleh pihak-pihak tertentu dalam suatu instansi.
Penerapan Paperless dalam bentuk Paperless Office di Fakultas Pertanian
Kebijakan paperless di Fakultas Pertanian sudah dijalankan oleh bagian akademik maupun dalam bagian administrasi kantor. Paperless menjadi perhatian yang serius oleh dekan karena memang semangat dan seruan tersebut sudah seharusnya untuk dilaksanakan. Landasan yang digunakan oleh kalangan akademisi untuk menyerukan paperless ini karena adanya perubahan lingkungan yang selama ini disoroti terutama untuk konservasi hutan. Kertas yang selama ini digunakan hanya menjadi sampah dan menumpuk.
Kertas tersebut menjadi hal yang juga diperhatikan oleh Dekan Fakultas Pertanian karena pada zaman sekarang ini sudah seharusnya kita bertindak selaras dengan lingkungan. Bahan untuk pembuatan kertas sendiri sekarang adalah dari pohon, dan berapa banyak pohonn yang ditebang adalah berasal dari pikiran kita sendiri. Jika kita bisa menghemat pemakaian kertas maka sedikit banyak akan berdampak juga bagi penebangan pohon. Sebagai akademisi di kalanggan kampus sudah sepatutnya kita memberikan contoh kepada masyarakat dimulai dengan hal-hal kecil seperti penghematan kertas seperti yang diterapkan oleh fakultas pertanian ini.
Dalam pemaparannya Dekan memberi contoh konkrit dengan menceritakan pengalaman studinya di Inggris yang sudah sangat disiplin dalam penerapan kebijakan paperless di kalangan kampus. Masyarakat di Inggris sudah secara sadar untuk malakukan penghematan dalam pemakaian kertas. Sebagai contoh dalam administrasi di Inggris sekarang mulai diterapkan pemakaian kembali amplop bekas, dengan cara di belakang amplop diberikan garis-garis untuk menuliskan nama dan alamat kemudian setelah dipakai bisa ditulisi kembali dengan alamat yang baru namun dengan menggunakan amplop yang sama. Jika di luar negeri dalam hal-hal kecil semacam itu mengapa tidak untuk diterapkan di Fakultas pertanian.
Untuk melakukan penghematan kertas di Fakultas Pertanian yakni penggunaan kertas bekas untuk menuliskan laporan tugas praktikum merupakan langkah yang sangat edukatif untuk mahasiswa untuk turut berpartisipasi aktif dalam merawat lingkungan, salah satunya dengan penghematan pemakaian kertas. Mekanismenya memakai kertas bekas dalam penulisan laporan menggunkan isi sebaliknya yang masih kosong.
Namun dalam penerapan kebijakan menggunakan kertas bekas sebagai laporan praktikum ini kurang disosialisasikan oleh pihak fakultas. Pihak fakultas mengaku sudah melakukan sosialisasi tentang pemakaian kertas bekas ini kepada dosen-dosen pengampu matakuliah dan mahasiswa. Hal yang berbeda disampaikan oleh mahasiswa ketika kami wawancara terkait sosialisasi ini, banyak yang tidak mengetahui sama sekali tentang seruan ini. Padahal dengan diadakannya sosialisasi mungkin akan lebih memberikan pemahaman kepada semua elemen termasuk dosen fakultas juga.
Penerapan kebijakan ini hanya sebagian mata kuliah saja karena tidak semua dosen mau dengan penggunaan kertas bekas. Padahal dari laporan tersebut yang dilihat seharusnya subtantif dan pemahamannya saja sehingga tidak terlalu memerlukan kertas untuk dibuang-buang dengan percuma. Ada saja dosen yang beranggapan bahwa dengan pemakaian kertas bekas ini tidak sopan dan mahasiswa sendiri juga akan takut jika mempengaruhi nilai mata kuliah mereka.
Meninjau ide paperless lebih mendalam, di Fakultas pertanian secara mandiri sudah menerapkan Paperless Office (PLO) di bagian administrasi kantor. Setiap pengurus jurusan sudah harus mempunyai akun untuk masuk ke dalam group yang berfungsi sebagai alat diskusi dan komunikasi. Juga untuk keperluan lain-lain seperti pengiriman surat. Banyak manfaat yang bisa didapat dari pemakaian email yang terintegrasi semacam ini. Pertama adanya efisiensi pemakaian kertas untuk mengirimkan surat dan efisiensi pekerja untuk mengantar surat lebih baik diarahkan ke pekerjaan yang lain daripada membuang-buang waktu hanya untuk mengirimkan surat.
Selain untuk bagian administrasi kantor, di Fakultas Pertanian juga menerapkan paperless dalam bidang akademik. Pihak fakultasmenerapkan hasil dari teknologi yakni semacam e-lisa. Alamat web semacam itu untuk mengupload tugas-tugas mahasiswa. Untuk mengurangi pemakaian jumlah kertas oleh mahasiswa, mereka diberikan jurnal-jurnal gratis yang dapat diunduh dan dijadikan bahan bacaan. Karena pihak fakultas mempertimbangkan jumlah mahasiswa yang mempunyai laptop semakin banyak dan mayoritas sudah memiliki barang tersebut.
Respon mahasiswa terhadap ide kebijakan paperless dan dalam wujud paperless office ini sesungguhnya sangat mendukung karena memang sebagai mahasiswa harus mampu melakukan perubahan-perubahan gaya hidup karena mereka sadar akan keadaan lingkungan saat ini dan apa yang menyebabkan lingkungan menjadi seperti ini. Justru mahasiswa senang dengan adanya kebijakan ini karena mereka merasa mudah dan tidak terlalu mahal untuk membeli kertas baru.
Paperless di Fakultas Kehutanan
Fakultas kehutanan yang selama ini kita anggap sebagai fakultas yang paling cinta lingkungan karena kami yakin seluk beluk pohon dan kayu pasti dipelajari oleh mahasiswa dan dosen-dosen fakultas ini. Sehingga mereka lebih tahu berapa pohon yang harus digunakan untuk membuat satu rim kertas A4. Anggapan kami bahwa jika mereka tahu tentang fakta-fakta semacam itu maka diyakini akan mengerti dampak apa yang akan ditimbulkan ketika banyak pohon ditebang untuk membuat kertas-kertas putih sebanyak milyaran lembar setiap tahun.
Namun anggapan kami terhadap fakultas kehutanan ini justru salah. Penerapan kebijakan paperless di fakultas kehutanan ini mirip dengan fakultas pertanian, disini juga diterapkan Paperless Office atau PLO dan pemakaian kertas bekas sebagai draft skripsi dan laporan praktikum. Namun di Fakultas Kehutanan ini jauh berbeda penerapannya dibandingkan Fakultas Pertanian. Ketika kami tanya bagian akademik tentang penerapan paperless ini di fakultas kehutanan secara langsung ia menyatakan tidak berjalan dengan lancar. Lebih buruk dibandingkan dengan penerapan di fakultas pertanian.
Masalah yang dihadapi oleh pihak fakultas kehutanan ini yakni kurang sadarnya sumberdaya manusia tentang pemahaman paperless ini. Terutama pihak dosen yang secara psikologis mereka merasa dirinya sudah tua dan tidak bisa menggunakan semacam PLO untuk menghemat penggunaan kertas. Mereka cenderung merasa malas dan pasrah bahwa dirinya tidakk harus melakukan hal-hal semacam teknologi untuk menghemat kertas ini.Sehingga memang sudah ada PLO namun hingga kini dalam fakultas ini tidak terlaksana dengan baik justru menjadi trend yang semakin meredup dalam pelaksanaannya.
Kondisi tersebut diperparah karena tidak semua dosen fakultas kehutanan ini mau dan mampu menggunakan internet sebagai pengganti kertas dalam hal surat menyurat. Dilematik yang terjadi adalah teknologi PLO dengan ketidakpahaman dosen terhadap internet yang berimplikasi terhadap ide kebijakan paperless. Mereka lebih suka menggunakan kertas sebagai sarana yang paling efektif untuk menunjukkan eksistensi keberadaan mereka dan pembuktian kelegalan dari surat menyurat tersebut. Mereka telah terbiasa dengan budaya pemakaian kertas sehingga dalam mengubah pola tersebut pihak dekanat perlu langkah ekstra untuk memberikan edukasi.
Dengan adanya kondisi tersebut, pihak dekanat akan tetap optimis dengan pembudayaan paperless di fakultas kehutanan ini. Kebijakan lain yakni masih sama dengan fakultas pertanian yaitu menggunakan kertas bekas untuk laporan praktikum. Namun lagi-lagi di fakuultas ini penerapannya hanya setengah hati, hanya sebagian dosen saja yang mensukseskan kebijakan tersebut, sama juga seperti masalah yang dihadapi oleh fakultas pertanian.
Memang sangat dibutuhkan sosialisasi secara massif dan terus menerus untuk menerapkan kebijakan paperless ini sehingga menjadi suatu budaya baru untuk merespon kondisi lingkungan sekarang ini. Padahal dari pihak mahasiswa sendiri banyak yang setuju dengan ide kreatif pihak fakultas dan akan memberikan dampak yang sangat besar bagi penghematan penggunaan kertas di kalangan kampus. Walaupun memang sudah ada alternatif lain untuk menyelesaikan masalah lingkungan dengan tidak melalui paperless ini melainkan melalui penggunaan kertas daur ulang. Namun kertas daur ulang sendiri hingga saat ini masih mahal disbanding kertas biasa yang selama ini kita pakai untuk mengumpulkan tugas. Karena pembuatan kertas daur ulang ini membutuhkan teknologi juga dan akan berdampak juga pada output harga yang ditawarkan.
Paperless, teknologi informasi dan governance
Peperless memang tidak semudah dan sesimpel namanya dalam penerapan kebijakan ini di tingkat lembaga pendidikan atau universitas. Kebijakan pro lingkungan seperti ini memang sudah digalakkan, namun baru sbatas pada orang-orang yang sadar dan memperhatikan lingkungan saja. Dapat dilihat dalam penerapan paperless di Fakultas pertanian ini juga terdapat berbagai masalah dalam penerapan gaya hidup paperless ini. Karena aspek manfaat dari kebijakan ini dinilai kurang berdampak secara langsung sehingga paperless perlu mendapatkan penjelasan secara edukatif kepada mahasiswa, dosen maupun masyarakat luas.
Korelasi Paperless dengan Pemerintahan
Kaitannya dengan pemerintahan sebenarnya dalam hal respon pemerintah terhadap kebijakan paperless ini. Sosialisasi dari pemerintah sendiri terhadap isu-isu lingkungan sangat lemah sehingga muncul ide-ide kreatif merawat lingkungan banyak dari organisasi-organisasi non-pemerintahan dan lembaga-lembaga pendidikan seperti universitas yang turut merespon terhadap kerusakan alam atau degradasi kayu yang disebabkan oleh perilaku manusia dalam memakai kertas tanpa terkecuali pemerintah.
Seperti yang telah dijelaskan dalam mata kuliah Pengantar Studi Pemerintahan II bahwa ada suatu transformasi dari pola tata kelola pemerintahan yang dahulu government menjadi governance. Transformasi ini sangat berpengaruh sekali terhadap peran negara atau pemerintah dalam mengelola isu dan mengeluarkan kebijakan. Termasuk dalam mengelola isu yang sekarang ini menjadi pusat perhatian masyarakat global yaitu isu lingkungan yang termasuk didalamnya kebijakan paperless.
Ketika ada transformasi dari government kegovernance sehingga menciptakan good governance, kebijakan untuk menanggapi paperless menjadi tanggungjawab banyak aktor diluar pemerintah. Peran pemerintah cenderung sangat sedikit atau menjadi less governance. Menurut definisi IIAS yang diterjemahkan oleh Prof. Dr. Sofian Effendi dalam artikelnya yang berjudul Membangun Good Governance: Tugas Kita Bersama (2005) tata kelola governance dimana berbagai unsur dalam masyarakat menggalang kekuatan dan otoritas, mempengaruhi dan mengesahkan kebijakan dan keputusan tentang kehidupan publik serta pembangunan ekonomi dan sosial. Menurut kami respon lembaga pendidikan terhadap paperless ini salah satu wujud dari penerapan good governance dalam tata kelola pemerintahan Indonesia sekarang ini.
Pemakaian teknologi baru untuk menyelesaikan masalah pemakaian kertas menjadi salah satu alternative untuk yang sangat baik untuk diterapkan. Seperti pemakaian email untuk sarana berkirim surat atau pemakaian smartphone dan tablet PC yang sekarang marak ini untuk menggantikan fungsi buku menjadi ebook. Ketika kami menanyakan paperless narasumber yang kami berikan pertanyaan mengemukakan untuk memaksimalkan pemanfaatan teknologi untuk menjawab permasalahan tersebut.
Namun pemerintah sebagai salah satu aktor dalammenyelesaikanlingkungan ini menambah masalah khususnya pemerintah Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Dekan Fakultas Pertanian dalam hal kebijakan paperless ini justru pemerintah sendiri yang banyak mengganggu, dengan pengiriman berpuuluh-puluh berkas dengan kertas surat itu merupakan suatu gambaran bahwa belum adanya kesadaran paperless dalam birokrasi pemerintah. Pemerintah sendiri yang menciptakan ketegasan surat dinas jika lewat surat elektronik ditakutkan lemahnya legalitas surat. Mindset tersebut masih sangat kuat tertanam dalam pemikiran pemerintah dan karena itulah perlu edukasi yang ekstra kepada masyarakat untuk merubah mindset tersebut.
Kesimpulan
Penerapan paperless di Fakultas Pertanian dan Fakultas Kehutanan sebenarnya sudah dilakukan oleh pihak fakultas melalui paperless office dan penggunaan kembali kertas bekas untuk menuliskan laporan. Walaupun belum berjalan secara maksimal dikarenakan kendala-kendala yang berasal dari dalam instansi fakultas itu sendiri, seperti dosen yang kurang dalam wawasan teknologi.
Dalam menyelesaikan permasalahan tentang lingkungan peran pemerintah cenderung dibatasai karena esensi dari good governance sendiri yaitu adanya multi aktor. Peran-peran lembaga non-pemerintah seperti lembaga pendidikan tinggi, mayarakat maupun organisasi lainya diharuskan untuk turut aktif menyelesaikan masalah lingkungan. Dapat dilihat dari studi kasus di Fakultas Pertanian dan Fakultas Kehutanan yang saat ini ikut memikirkan masalah penggunaan kertas yang berlebihan.
Perlu dukungan dari pemerintah yang berperan sebagai regulator atas paperless dan harus mensosialisasikan atau memberikan edukasi mengenai Paperless Office agar upaya terhadap keselamatan bumi dapat maksimal.
Lampiran
Inpress Nomor 3 Tahun 2003 dan Hasil Wawancara di Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2003
TENTANG
KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL
PENGEMBANGAN E-GOVERNMENT
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang pesat serta potensi pemanfaatannya secara luas, membuka peluang bagi pengaksesan, pengelolaan dan pendayagunaan informasi dalam volume yang besar secara cepat dan akurat;
a.bahwa pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi dalam proses pemerintahan (e-government) akan meningkatkan efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan;
b.bahwa untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik (good governance) dan meningkatkan layanan publik yang efektif dan efisien diperlukan adanya kebijakan dan strategi pengembangane-government;
c.bahwa dalam pelaksanaannya diperlukan kesamaan pemahaman, keserempakan tindak dan keterpaduan langkah dari seluruh unsur kelembagaan pemerintah, maka dipandang perlu untuk mengeluarkan Instruksi Presiden bagi pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan e-government secara nasional.
Untuk: PERTAMA : Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing guna terlaksananya pengembangan e-Government secara nasional dengan berpedoman pada Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government sebagaimana ter-cantum dalam Lampiran Instruksi Presiden ini. KEDUA : Merumuskan rencana tindak di lingkungan instansi masing-masing dengan berkoordinasi dengan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi. KETIGA : Melaksanakan rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA yang dikoordinasikan oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informasi. KEEMPAT : Melaksanakan Instruksi Presiden ini sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab dan melaporkan hasil pelaksanaannya secara berkala atau sewaktu-waktu kepada Presiden. Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan. Dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2003 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Hasil Wawancara di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Secara pribadi, dekan punya kepedulian terhadap kbijakan namun blm bisa diterapkan oleh seluruhnya atau blm berhasil.
·Menggunakan paperless offIce
·Isu yang mendasari yakni degradasi kayu
·Setiap pengurus jurusan tergabung dalam group sebagai alat diskusi/komunikasi.
·Dekan sangat concern terhadap kebijakan paperless
·Dapat inspirasi dari pengalaman studi di inggris yang sudah menerapkan paperless
·Hambatannya : yakni budaya kertas yang masih kuat,
·Sosialisasi sudah dilakukan ditingkat fakultas
·Di universitas hanya sebatas mail group
·Manfaat secara nyata : belum terlalu dirasakan namun perlu adanya edukasi untuk pemahaman terhadap masyarakat.
·Paperless efisien namun memanfaatkan teknologi
·Resiko : legalitas dari dokumen paperless dipertanyakan,
·Kebijakan paperless dalam instansi pemerintah belum diterapkan
·Mengenai praktikum yang menggunakan kertas bekas : cara menghemat kertas
·Praktikum yang menggunakan kertas bekas sudah berjalan namun belum semuanya.
·Dan cara diatasefektif
·Harapan : diefektifkan oleh fakultas, uiversitas, pemerintah,
·Mengubah perspektiv masyarakat menggunakan amplop bekas dn paperless
·Perlunyapemerintah memberi regulasi terhadap pembatasan penggunaan kertas
·Solusi : E-book itu penting
·Dorongan daya beli seperti ipad
·Ugm sudah siap untuk paperless karena udah menerapkan paperless office
·E-lisa sudah bagus dan sudah banyak dimanfaatkan
Hasil Wawancara di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
·Paperlessdemi pengiritan dan mencegah degradasi hutan. Mulai dilakukan 2009
·Sudah jalan dengan adanya web (PLO)
·Harapan semua dosen sudah mengakses, namun tdk smua dosen menggunakan internet
·Flashback mengenai pengunaan email untuk komunikasi
·Hambatan: Tidak semua dosen mengakses internet (gaptek)
·Hambatan: Dilematik yang terjadi adalah teknologi PLO dengan ketidakpahaman dosen terhadap internet yang berimplikasi terhadap kebijakan paperless
·Di sisi lain recycle paper yang susah dan mahal
·Dekan sangat pro terhadap paperless,dibukktikan dengan penggunaan amplop yang digunakan berkali-kali
·Pengalaman pula sewaktu di Inggris yang memakai amplop multi pakai
·Menggunakan lebar sebaliknya untuk mendukung kebijakan paperless
·Untuk Fakultas Kehutanan memiliki web setiap dosen yang modelnya seperti elisa
·melalui facebook juga gencar
·sebagian mahasiswa memakai kertas bekas namun ada yang takut karena legalitasnya
·ada beberapa dosen yang menghimbau paperless untuk praktikum
·Harapan: ingin menjadi pelopor paperless da nada dukungan dari pemerintah.
Referensi :
Pratikno, 2007, Governance dan Krisis Teori Organisasi, dalam Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Volume 11, Nomor 2, hal. 126.
sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/membangun-good-governance.pdf ,diakses pada tanggal 6 Mei 2012, pukul 21.30 WIB.
www.ebdesk.com/library/marketing/ebdesk-cp-indo.pdf , diakses pada tanggal 6 Mei 2012, pukul 11.00 WIB.
http://www.bappenas.go.id/node/133/2173/inpres-no3-tahun-2003-tentang-kebijakan-dan-strategi-nasional-pengembangan-e-governmet/, diakses pada tanggal 24 Juni 2012, pukul 16.35 WIB.
Edy Prasetyo, 2011, dalam Materi Sosialisasi dan TOT Paperless Office yang disampaikan di UPTIK IPDN Jatinagor (http://uptik.ipdn.ac.id/2011/12/sosialisasi-dan-tot-paperless-office-oleh-uptik-ipdn/ , diakses pada tanggal 24 Juni 2012, pukul 16.00 WIB).
Fredolinus Afeanpah, 2009, Komentar Tentang Paperless Office, dalam modul Prastowo (http://prastowo.staff.ugm.ac.id/?modul=baca&dir=artikel&artikel=Paperless-Office, diakses pada tanggal 24 Juni 2012, pukul 21.00 WIB).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H