Mohon tunggu...
Muhammad Syahril Wasahua
Muhammad Syahril Wasahua Mohon Tunggu... -

Yakin Usaha Sampai

Selanjutnya

Tutup

Politik

Presiden Kebal Kritik?

17 September 2010   09:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:10 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_260578" align="alignleft" width="142" caption="Staf Ketua PB HMI Periode 2008-2010"][/caption] Kasarnya kita boleh bilang, Kolonel Adjie Suradji tak boleh menggunakan haknya berdemokrasi. Ia tak boleh menyampaikan kebenaran dalam fersi bertentangan. Meski kultur demokrasi meniscayakan kritik dan keseimbangan. Sesaat membaca tulisan Kolonel Adjie, saya berkesimpulan, ia telah menggunakan haknya sebagai warga negara, untuk menyampaikan sesuatu yang semestinya. Bukankah tulisan Kolonel Adjie  bisa diasumsikan sebagai aspirasi, masukan dan saran kepada pemerintah? Atau karena Kolonel Adjie bawahan, ia lebih baik membungkam meski kenyataan di depan mata bertentangan dengan nuraninya yang asasi itu? Akibat mengeritik presiden SBY dalam tulisan opini di Kompas (6/9), Adjie  Suradji  perwira TNI Angkatan Udara (AU) terancam mendapat sangsi disiplin kemiliteran. Hampir semua koran cetak maupun online, mengupas hal yang sama, terkait keberanian Adjie  Suradji yang tentu saja membikin kuping presiden memanas. Sepintas saya menangkap, presiden tak boleh dikritik. Apalagi dalam struktur kemiliteran, presiden sebagai penglima tertenggi yang kebal kritikan. Begitu kira-kira kesimpulannya. Saya membayangkan, bila Adjie Suradji menulis yang demikian di masa rezim orde baru berkuasa, ia pasti terjerat undang-undang subversif. Ia dipecat, lalu dipenjarakan bertahun-tahun sebagai tahanan politik. Karena dianggap mengganggu kenyamanan presiden. Bisa saja sikap melawan Kolonel Adjie yang diluahkan lewat tulisan opini itu, dituduh makar, komunis dan anti pemerintah. Jika sampai Adjie  Suradji diberikan sangsi disiplin kemiliteran, maka negara ini semakin keblinger. Lalu kita bertanya apa bedanya rezim orde baru yang despotik itu dengan kebegal (an) pemerintah saat ini? Saya yakin, kritik Adjie  Suradji adalah kritik membangun. Bukan menyentil sisi prifasi presiden. Kritik melalui tulisan yang dilakukan Kolonel Adjie adalah soal peran publik presiden. Dengan demikian, kita tak perlu nyinyir, dan menjadikan disiplin kemiliteran sebagai tembok besar yang mengerangkengi cara orang menyampaikan kebenaran, nasehat, atau semacamnya yang bertujuan baik. Kita mestinya memegang pemeo lama yang mengatakan, “emas meskipun keluar dari mulut babi, nilainya tetap emas”. Kritik yang bertujuan kebaikan, meski keluar dari mulut atau goresan tangan seorang perwira bawahan, nilainya tetap kebaikan”. Jangan hanya soal pangkat dan struktur jabatan, kritik yang datang dari bawahan dianggap bandel,  indisipliner dan tidak sepatutnya dilakukan. Terlepas dari aturan dan disiplin kemiliteran, kita mestinya toleril kepada Kolonel Adjie  yang berhak menggunakan haknya sebagai warga negara. Itu sesuatu yang asasi. Dan negara serta keniscayaan demokrasi menggaransikannya. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBI), kritik diartikan sebagai kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan perilaku. Singkat kata, kritik adalah pilihan orang menyampaikan kebenaran. Kritik berbeda dengan membicarakan aib seseorang di hadapan publik. Kritik yang dilakukan Kolonel Adjie  terhadap presiden, tidak perlu serta-merta dihubungkan dengan baju seragam kemiliteran yang dipakainya, karena kritik  Adjie  itu, bisa saja kaitannya dengan relasi rakyat dengan pemimpinnya. Dalam konteks ini, maka kritik yang disampaikan Kolonel Adjie  bertujuan menyadarkan. Karena presiden belum tentu malaikat. Demokrasi undur-undur Pasaca bubarnya rezim orde baru, semua orang, baik kalangan sipil maupun militer, bicara soal demokrasi. Namun prakteknya bak undur-undur. Undur-undur adalah jenis spesies yang jalan ke depan tapi dengan punggung. Kita selalu bicara tentang kemajuan demokrasi,  tapi presiden tak mau dikritik, DPR murka didemo, pejabat nyinyir diteriaki mahasiswa. Kita seolah ingin maju ke depan dengan kehidupan yang dinamis, tapi anti kritik dan arogan. Kita seperti berjalan dengan punggung. Tak mau melihat keniscayaan demokrasi yang sesungguhnya. Saya bukan membela buta Kolenel  Adjie , tapi apa yang dilakukannya adalah sebuah keberanian. Dan menempatkan demokrasi pada wadah yang semestinya. Kolonel Adjie  menulis secara Ilmiah, dan tentu dengan sikap jujur dan tidak main belakang. Inilah sikap ksatria sesungguhnya. Dalam agama disebutkan “Katakanlah yang benar walau pahit”. Akhirnya saya ingin menyampaikan, demokrasi berbeda dengan baju seragam kemiliteran. Demokrasi berbeda dengan pangkat kopral hingga jenderal. Demokrasi lebih luas dari sebatas pangkat dan simbol. Sebab itu, pangkat dan jabatan dalam struktur kemiliteran, tidak bisa membatasi seseorang menggunakan haknya berdemokrasi. Termasuk Kolonel Adjie  Suradji. ****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun