Mohon tunggu...
Muhammad Syahril Wasahua
Muhammad Syahril Wasahua Mohon Tunggu... -

Yakin Usaha Sampai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peta Islam Global

14 September 2010   23:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:14 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Islam dalam percaturan politik global saat ini, tengah tertelikung dalam teror isu yang kian memenjarakan sy’iar dakwahnya. Diantara teror isu itu adalah, wacana ekstrimis, vundamentalis, hingga yang mendunia saat ini “terorisme”.

Padahal sejatinya, istilah teroris tidak pernah ada dalam terminologi Islam. Namun, dengan suatu pra kondisi tertentu, istilah terorisme dipaksasandingkan dengan Islam demi tujuan konspirasi tertentu.

Dengan semakin sempitnya ruang gerak syi’ar Islam itu, saya sempat berfikir, pertarungan sosialis vs Liberalis (kapitalistik) telah usai, dan menurut para futurolog seperti Hutington, Daniel Bell, Frans Fakuyama, kemenangan mutlak ada di pihak kapitalisme. Benarkah itu?

Dengan demikian, semua kekuatan global kini ada dalam apitan selangkangan kapitalisme. Tapi kok asumsi saya mengatakan, saat ini, kapitalisme merasa masih memiliki musuh. Mungkin saja anda dan saya bertanya Islamkahmusuhnya?

Tentu asumsi saya beralasan, mulai dari pemberangusan AS di Afganistan hingga saat ini, di Irak serta apatisme AS terkait perdamaian Israel dan Palestina, adalah bagian dari global conspiration itu? Karena toh lagi-lagi dalam posisi apapun, Islam selalu terpojok dan sebagai pihak yang tertuduh. Ini naif menurut saya. Karena sebagai sebuah negara yang berlelaku bak polisi dunia, mestinya AS tidak memainkan standar ganda. Disatu sisi menjadi world security dan di sisi yang lain merecoki kemanan dunia.

Peristiwa WTC 11 September menurut saya, adalah kulminasi eksperimentasi proyek konspirasi global, dengan asumsi “Islam adalah sasaran pemusnahan kedua setelah runtuhnya Unisofiet”. Berdasarkan asumsi itu pula, tindak-tanduk AS dalam berbagai polemik dunia (Islam), selalu mendekati hipotesa bahwa Islam-lah satu-satu kekuatan resisten yang mengganjal keserakahan AS untuk menguasai dunia. Dunia dan kehidupan selalu dianggap pasar yang harus dikuasi. Begitulah watak dasar kapitalisme.

Potensi

Dalam soal yang sama, saya sedikit tergelitik dengan pendapat romo Ignas Kleden dalam Agama Milenium (2000). Dibuku itu, saya menyingkap segala kesumiran, mengapa Islam terpojok. Dalam buku itu romo Ignas menguraikan bahwa, “Ideologi berpotensi menjadi sebuah agama, karena ideologi menginginkan nilai-nilainya diyakini secara doktrinal sebagaimana sebuah agama. Demikian pula agama, berpotensi menjadi sebuah ideologi, karena agama senantiasa menginginkan juba kekuasaan untuk memasifkan syi’arnya dengan tangan kekuasaan”.

Hemat saya, Islam tidak saja sebagai tata nilai, tapi juga sebagai sebuah world view. Islam memiliki pandangan dunia. Dan nilai-nilai keduniaan yang ada dalam Islam, berpotensi dilembagakan menjadi sebuah kekuatan politik universal yang berimpresi kemanusiaan. Potensi ini, menjadi mimpi buruk bagi AS dan sekutunya, karena ada tata nilai dan kekuatan lain yang mengimbangi arogansi mereka.

Tentu saja konsepsi kopolitikan Islam itu, selalu berada pada politik rabbani dan madaniyah (bukan teokrasi). Jika potensi politik ini, menjadi titik temu antara kejenuhan demokrasi dan pencarian tata baru kehidupan politik dunia, maka Islam bisa menjadi satu-satunya kekuatan ke tiga (third force) di tengah kegagalan demokrasi. Indikasi tentang hal ini mulai nampak, ketika AS sebagi lokomotif demokrasi mulai dianggap gagal oleh masyarakat dunia.

Hegemoni

Dalam posisi Islam yang terus terangkat dan keterpojokan AS beserta seluruh representasi ideologinya itu, membuat AS tidak tinggal diam, akan tetapi terus melakukan rekayasa perlawanan, baik secara diplomatik maupun militer. Negara-negara Arab dibuat menjadi terpecah-belah. Uni Emirat Arab yang diharapkan bisa menjadi konsolidasi kekuatan Timur Tengah, seolah menjadi boneka yang bisa digerakkan oleh kekauatan ketiga (AS).

Dalam rivalitas Islam dengan kekuatan global itu, secara otomatis memosisikan Indonesia, sebagai bagian inti dari pertarungan global. Karena Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia dan menjadi representasi kekuatan politik Islam dunia. Dengan posisi Indonesia yang demikian, HMI mestinya menjadi bagian kekuatan elaboratif yang turut berandil dalam berbagai polemik global. Dan hal tersebut akan bisa dilakukan, manakala HMI mampu melakukan pemetaan konflik antara Islam dan kapitalisme global. Dengan cara ini, HMI bisa memosisikan dirinya, bahwa disegmen mana HMI harus bergerak.

Menurut hemat saya, sejatinya HMI kemabali merefleksikan basis nilai yang menjadi filosofi perkaderan dan gerakan. Tafsir nilai-nilai dasar perjuangan (NDP), tidak lagi memosisikan Islam dan HMI sebagai mediator konflik ideologitahun 70-an. Akan tetapi tafsir nilai-nilai dasar perjuangan HMI sejatinya bersinergi dengan fakta dunia saat ini yang tengah mengompanyekan wacana terorisme yang selalu dialamatkan pada dunia Islam.

Terlepas dari benar tidaknya Islam dengan label terorismenya, saat ini harus kita sadari, bahwa polemik Islam dan masyaakat barat (khususnya Amerika) an sic dalah soal politik konspirasi. Sebuah konspirasi yang hendak melemahkan politik Islam secara global. Kekuatan konsolidasi ummat Islam dunia saat ini, menjadi ancaman yang menakutkan bagi kekuatan kapitalisme global. Olehnya itu, berbagai cara dilakukan untuk melumpuhkan daya ekspansi Islam yang terus menggeliat.

HMI sebagai organisasi gerakan berbasis pemuda dan mahasiswa Islam. Harus mereorientasikan konsepsi keislamannya. Karena berislam atau tidak saat ini, tidak lagi pada soal-soal syar’iyah yang esketis, tapi lebih pada peran keummatan secara global. HMI harus memiliki andil dalam menjabarkan dan melakoni Islam secara konseptual yang relevan dengan dinamika dunia saat ini.

Jika generasi tahun 60-70an HMI mampu merekonsepsikan Islam dengan sebuah gagasan agar Islam bebas dari telikungan politik dan Ideologi, maka saat ini, HMI mesti mencari suatu rumusan tafsir yang menegaskan bahwa Islam bukanlah seperti yang digambarkan oleh dunia barat. Tafsir NDP HMI harus memberikan penguatan terkait peta politik Islam dalam percaturan politik global. Karena dewasa ini, rivalitas politik global itu, telah menggeser sejumlah nilai-nilai keislaman pada persepsi yang salah. Islam saat ini dalam stigma global seolah dekat dengan kekersan, Islam identik dengan saparatisme dan sebarek perbendaharaan terminologi negatif terhadap Islam.

Sampai pada titik ini, HMI harus mengambalikan kekuatan lamanya, yaitu kekuatan berfikir dan bergerak. Jika tahun 70an Cak Nur (almarhum) bisa melepaskan Islam dari rantai ideologisasi, maka saat ini, HMI mesti mencari suatu rumusan konsep dan gerakan yang bisa memutuskan mata rantai hegemoni wacana yang memosisikan Islam sebagai agama yang bengis dan tidak humanis. Termasuk wacana terorisme yang kini menjadi proyek konspirasi negara-negara kapitalis.****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun