Mohon tunggu...
Danny PH Siagian
Danny PH Siagian Mohon Tunggu... Dosen - Menulis, Menulis dan Menulis

Jurnalis dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Manuver Politik Ahok yang Menohok

11 Maret 2016   09:29 Diperbarui: 11 Maret 2016   18:41 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gubernur DKI Jakarta, Ir. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, memang selalu akrab dengan yang namanya kejutan. Dan bukan Ahok namanya, jika tidak bikin kejutan.

Bagaimana tidak? Pilkada DKI Jakarta masih setahun lagi, namun Ahok sudah membuat sebuah keputusan spektakuler. Keputusannyapun diluar kebiasaan, alias tak lazim atau tidak populer.

Sehari sebelum peristiwa alam bersejarah 9 Maret 2016, yakni Gerhana Matahari Total (GMT), Ahok mengumumkan pencalonan dirinya sebagai bakal Calon Gubernur DKI Jakarta, untuk tahun 2017. Ahok dengan berani pula mengusung bakal Calon Wakil Gubernurnya, Heru Budi Hartono, SE, MM, yang tak lain adalah anak buahnya sekarang, di posisi Kepala Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Jakarta, yang notabene masih kurang populer dibanding tokoh-tokoh lainnya di DKI Jakarta.

Mencermati manuver politik Ahok ini, setidaknya ada 2 (dua) hal besar yang dapat dianggap mengandung risiko. Yang pertama, keberanian Ahok dan kecepatannya untuk memutuskan pencalonan dirinya lewat jalur Independen. Padahal, pada Pilkada sebelumnya, ada 2 (dua) pasang Cagub lewat jalur Independen yang kalah. Belum lagi syarat menjadi calon Independen yang cukup sulit.

Keberanian Ahok ini patut dipuji sekaligus akan diuji. Karena lazimnya, setiap calon Gubernur maupun Bupati atau Walikota, pilihan pertama adalah merapat atau mengandalkan partai politik (parpol). Karena parpol memang sangat jelas memiliki kader sebagai basis massa, memiliki sistem, memiliki networking, memiliki power dan pengaruh.

Namun, keputusan Ahok sebaliknya. Ahok seolah-olah mengabaikan atau tidak memanfaatkan parpol sebagai kendaraan politiknya untuk maju. Bahkan ia dituding menciptakan ‘deparpolisasi’ alias menohok eksistensi parpol. Kendati deparpolisasi dibantah Ahok, dengan alasan demokrasi.

Ahok lebih percaya kepada Relawan Teman Ahok, yang dari sebelumnya sudah curi start untuk menjajaki penghimpunan sejuta Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karena syarat untuk calon kepala daerah yang akan bertarung melalui jalur independen pada Pilkada yakni dengan syarat dukungan warga sebesar 7,5 persen.

Dalam hal ini, Ketua KPUD DKI Sumarno pernah mengatakan, pada Pemilihan Gubernur DKI tahun 2017, harus sesuai dengan ketentuan yang diatur pada Pasal 41 Ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasangan calon yang hendak maju menggunakan jalur independen harus mengumpulkan minimal 7,5 persen fotokopi KTP dari jumlah warga yang terdata dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Merujuk undang-undang, jumlah dukungan minimalnya 532.213 lembar KTP.

Angka ini menurut Ahok tidaklah besar. Bahkan anggapan sebelumnya, 7,5 persen dari total jumlah penduduk. Dimana hitungan BPS DKI Jakarta, jumlah penduduk DKI di siang hari sebanyak 10 juta lebih. Artinya, harus bisa memenuhi syarat pendaftaran minimal 750 ribu fotokopi KTP. Mantan Bupati Belitung Timur ini tahun lalu pernah sesumbar mengatakan, ngumpulin 1 juta KTP tidak susah buatnya. Apalagi ternyata 7,5 persen dari DPT?

Sementara itu, adapun risiko kedua secara politis adalah, Ahok justru menggandeng anak buahnya sebagai Calon Wakilnya, yang tak lain adalah seorang yang masih berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Apalagi Heru Budi Hartono masih tergolong muda, yang notabene masih kalah populer dibanding Sekda, misalnya, atau tokoh masyarakat lainnya yang cukup populer dan memiliki basis massa.

Kenapa Ahok memilih Heru yang akan jadi Cawagubnya? Alasannya, Ahok kepincut karena prestasi dan ‘track record’ Heru cukup meyakinkan. Heru memang seorang PNS handal, yang sebelumnya pernah jadi Walikota Jakarta Utara, sebelum ditarik ke kantor Gubernur menjadi Kepala BKAD. Namun dalam pertarungan politik di Pilkada, apalagi DKI Jakarta yang memiliki kekhususan sekaligus memiliki keketatan persaingan, hal ini mengandung risiko. Sebab, sang Calon Wakil Gubernur ini tidak memiliki basis massa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun