[caption id="attachment_345698" align="aligncenter" width="300" caption="Ricuh Sidang Paripurna Pertama DPR RI 2014-2019"][/caption]
Belum sehari para anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) RI periode 2014-2019 dilantik, sudah terjadi kegaduhan.
Kegaduhan itupun terjadi, akibat kuatnya kepentingan pihak-pihak tertentu, yang ingin berkuasa di Parlemen. Bahkan persis seperti anak TK (Taman Kanak-Kanak), yang sedang rebutan mainan (seperti kata Gus Dur). Tapi, apakah kegaduhan itu masih untuk kepentingan rakyat?
Jika benar DPR itu masih merupakan representasi dan merepresentasikan kepentingan rakyat, mengapa keputusan-keputusan yang dihasilkan selalu bertolak belakang dengan keinginan rakyat banyak? Mengapa pula selalu banyak protes, sebelum dan sesudahnya?
Hal ini membuktikan, bahwa antara wakil rakyat dengan keinginan rakyat bak ‘Jauh Panggang Dari Api.’ Keputusan-keputusan DPR, akhirnya terbaca, bukan lagi untuk rakyat. Tapi tidak lebih, untuk kepentingan partai politik semata. Apalagi dengan semakin kuatnya pengaruh KMP (Koalisi Merah Putih) belakangan ini, yang komandoi Partai Gerindra, untuk berbuat sesuai keinginannya, bersama-sama partai-partai pengikutnya. Inkonsistensipun menjadi kebiasaan. Orientasi terhadap rakyat banyakpun, makin jauh ditinggalkan. Dan pemaksaan kehendak segolongan orang-orang yang punya kepentingan tertentu, semakin menjadi-jadi.
Selain dimenangkannya Pilkada Tak Langsung pada voting Rapat Paripurna DPR periode 2009-2014 lalu, oleh kelompok fraksi-fraksi yang berkoalisi dalam KMP, pemaksaan kehendakpun makin kentara di Sidang Paripurna I DPR periode 2014-2019. Hal itu terlihat dari pemaksaan pemilihan Ketua DPR RI pada hari pertama yang berlanjut hingga pagi dinihari (Kamis, 02/09/2014). Padahal, agendanya telah disusun untuk hari kedua.
Sekalipun itu dikatakan hak anggota, untuk memilih dilanjutkan atau tidak, tapi aroma pemaksaan kehendak itu sebenarnya sudah tercium. Terbukti, beberapa partai yang belum siap di ruangan, pada Rabu malam itu, menunjukkan adanya sikap berat sebelah. Yang siap di Ruang Sidang malam itu hanya dari kelompok KMP. Otomatis, ketika Pimpinan Sementara Sidang Paripurna periode 2014-2019, Popong Otje Djunjunan dari Fraksi Partai Golkar memanggil partai-partai untuk menyampaikan nama Fraksi dan jumlah anggota Fraksinya, maka hanya partai-partai dari kelompok KMP-lah yang lebih siap. Karena waktunya pada saat itu, masih rapat konsultasi internal partai. Tapi nampaknya, agenda pada sidang pertama itu menjadi tidak beraturan.
Hal inipun akhirnya menimbulkan protes, terutama dari para anggota partai kelompok Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang ada di ruang sidang. Bahkan para anggota DPR yang keberatan menyerbu ke depan, dan menghampiri meja Pimpinan Sidang. Kegaduhanpun tak bisa dihindarkan. Bahkan Pimpinan Sidang Sementara terpaksa dievakuasi oleh Pamdal (Pengamanan Dalam) Setjen DPR, karena sudah menimbulkan kekhawatiran. Bahkan akal-akalan teknisi gedungpun seolah-olah melengkapi persekongkolan, dengan matinya beberapa mikrofon yang ada di meja para anggota DPR yang ingin interupsi. Dan interupsipun tidak diladeni sama sekali oleh Pimpinan Sidang. Alasannya, tidak ada yang perlu diinterupsi.
Yang paling anehnya lagi, pemilihan Ketua DPR periode 2014-2019 terus dilangsungkan. Ketika masuk pada pemilihan Ketua DPR, partai-partai kelompok KIH (yakni: PDIP, PKB, Partai Hanura dan Partai Nasdem) memilih ‘walk out.’ Dengan alasan, tidak mau bertanggungjawab atas keputusan Sidang Paripurna tersebut. Tapi pemilihan terus saja dilanjutkan, dengan alasan masih ‘quorum.’ Padahal, quorum yang disebutkan itu, hanya berdasarkan absensi. Bukan berdasarkan kehadiran fisik para anggota DPR yang ada di daftar absen.
Dan puncaknya, terpilihlah Setya Novanto dari Fraksi Partai Golkar sebagai Ketua DPR periode 2014-2019, dengan para wakil-wakil, dari Fraksi Gerindra, Fraksi PKS, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PAN. Semuanya ini dari kelompok KMP.
Akan tetapi, mengapa pula PDI Perjuangan dan koalisinya harus ‘walk out,’ padahal tidak akan ada pengaruhnya terhadap keputusan pemilihan Ketua DPR? Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat kelompok ini juga harus berani menghadapi permainan politik yang sedang dimainkan. Termasuk mengambil risiko jika harus kalah dalam voting.
Sekarang, toh juga PDI Perjuangan dengan partai lainnya di KIH, harus mengakui Pimpinan DPR yang ada, dan sudah dilantik itu. Padahal, PDI Perjuangan sebagai partai pemenang 2014, jelas-jelas memiliki jumlah anggota fraksi lebih banyak. Namun akhirnya tidak memiliki satupun wakilnya di jajaran pimpinan DPR. Bukankah ini sebenarnya sebuah anomali? Sedangkan kita ketahui, partai-partai pemenang Pemilu dan pemenang dibawahnya, selalu punya wakil di jajaran Pimpinan DPR. Karena tata-tertib dan mekanisme yang ada sejak zaman dulupun, sudah mengatur demikian.
Dan yang akan lebih mencengangkan lagi, DPR dengan kelompok KMP yang menguasai Parlemen sekarang ini, dikabarkan akan memperlemah peran KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Karena diperkirakan akan memuluskan penghindaran dari kejaran KPK, dari para penguasa di Parlemen. Termasuk harus mengamankan Undang-undang Pilkada yang dimenangkan KMP sebelumnya.
Indikasi ini semakin kuat, ketika Setya Novanto yang sudah pernah diperiksa KPK maupun Kejaksaan atas dugaan suap dan korupsi, di-golkan oleh kelompok KMP, menjadi Ketua DPR. Hal ini tentu akan memberi pengaruh terhadap rencana pelemahan KPK itu tadi. Kedua, hadirnya Fachri Hamzah dari Fraksi PKS yang menjadi salah satu Wakil Ketua DPR. Padahal diketahui, Fachri Hamzah selama ini sangat getol menyuarakan agar KPK dibubarkan.
Maka, hampir bisa dipastikan, kedua orang ini akan sangat kuat untuk menggiring pelemahan KPK, bersama jajaran Pimpinan DPR. Dikeroyok lagi dengan para anggota DPR yang mayoritas menguasai jumlah kekuatan politik di Parlemen. Sementara rakyat sedang tinggi-tingginya menghargai sepak-terjang KPK dalam memberantas korupsi.
Kembali ke laptop, apakah masih layak disebut para wakil rakyat yang mendominasi DPR itu merupakan representasi rakyat? Apa sebenarnya yang direpresentasikan? Kepentingan kelompokkah atau kepentingan rakyat banyak? Dan mengapa protes dari para mahasiswa dab berbagai elemen masyarakat, tidak diperdulikan lagi?
Tentu tak salah jika anomali ini akan berujung pada ‘matinya demokrasi dan kepedulian terhadap rakyat.’ Sebab kepentingan kelompok atau segolongan tertentulah yang akan bermain. Dan kelompok penguasa di Parlemen inilah yang akan menentukan produk-produk Legislasi, yang belum tentu berpihak pada rakyat.
Jadi, bohonglah jika para wakil rakyat itu sekarang, sebagai representasi atau merepresesntasikan kepentingan rakyat. Yang ada, adalah kepentingan kelompok tertentu. Bahkan sejarah akan berulang, seperti zaman Orde Baru. Mestinya rakyat harus menyikapi masalah fundamental ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H