[caption caption="Lokasi Ledakan dan Korban Meninggal"][/caption]Geramnya masyarakat atas terjadinya ledakan bom Sarinah Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis pagi, 14 Januari 2016, memunculkan ‘hastag’ di berbagai media sosial dengan kalimat: ‘Kami Tidak Takut.’
Padahal, dari 7 kali bunyi ledakan bom yang ditengarai perbuatan sekelompok jahanam teroris diikuti tembak-menembak dengan polisi, mengakibatkan 24 orang korban. Dari jumlah tersebut, 7 (tujuh) nyawa melayang (termasuk 5 diantaranya terduga teroris), 9 (sembilan) luka parah yang masih di Rumah Sakit, dan sisanya luka sedang dan ringan.
Kendati muncul kata sepakat masyarakat ‘Kami Tidak Takut,’ namun yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa ulah para ‘pencabut nyawa’ itu selalu terbukti terulang kembali? Mengapa aparat Negara yang terdiri dari Polri; BIN, TNI seolah tidak mampu mencegahnya? Mengapa pula masyarakat sering terkejut, bahwa diantara lingkungannya ternyata ada para teroris? Bahkan kalangan keluarga para teroris itu sendiri sering terkejut juga, karena anggota keluarganya ternyata terlibat aksi atau jaringan teroris?
Menyibak kembali aksi-aksi teror yang terjadi sejak tahun 2000, yang tergolong mencabut nyawa banyak orang, diantaranya: ‘Bom Natal’ tahun 2000 (24 Desember 2000) di beberapa kota, yang menelan korban kebanyakan umat Kristiani; kemudian ‘Bom Bali’ tahun 2002 (12 Oktober 2002), di sekitar Legian, Kuta, Bali, yang menewaskan 202 orang, yang kebanyakan warga asing; ‘Bom Marriot’ (Hotel JW Marriot, Jakarta), tahun 2003 (5 Agustus 2003), yang menewaskan 12 orang dan melukai 150 orang asing dan lokal; Sejumlah teror bom di Poso, Sulawesi Tengah, tahun 2004, tahun 2005 dan beberapa kota lainnya; Tahun 2009 (17 Juli 2009), ‘Bom Hotel Ritz-Carlton dan Hotel JW Marriott, Jakarta yang menewaskan 7 (tujuh) orang dan melukai lebih dari 50 orang; ‘Bom Cirebon’ (Masjid Mapolresta Cirebon) tahun 2011 dan di beberapa tempat lainnya; hingga terakhir ‘Bom Sarinah Thamrin, Jakarta’ 14 Januari 2016. Fakta ini menunjukkan bahwa, teroris masih selalu ada di Indonesia, dan siap mencabut nyawa sewaktu-waktu.
Belajar dari tragisnya aksi-aksi teror bom keji tersebut, maka sudah selayaknya seluruh elemen bangsa ini untuk sepakat memburu para pelaku dan calon pelaku teroris hingga ke ‘kolong langit.’ Dikatakan ke kolong langit, mengistilahkan, kemanapun (ke pojok manapun) mereka pergi dan dimanapun (di pojok manapun) mereka berada, harus tetap diburu.
Integrasi dan Konsistensi Aparat
Untuk dapat memburu para teroris, yang paling dibutuhkan adalah ter-integrasinya peran alat Negara, yang dalam hal ini Badan Intelijen Negara (BIN), dan aparat penegak hukum, yang dalam hal ini adalah Kepolisian. Sehingga mampu menciptakan sinkronisasi pencegahan maupun penindakan aksi-aksi teroris.
Menyimak apa yang disampaikan Kepala BIN, Sutiyoso, pasca bom Sarinah kemarin, bahwa BIN sudah memberi informasi bahwa akan adanya aksi teror bom, yang disinyalir dari sekelompok orang yang berkaitan dengan jaringan luar. Namun, kendati aparat kepolisian sudah melakukan beberapa wilayah sebelum Natal tahun 2015, ternyata terjadi juga di awal tahun 2016.
Disini terbukti, memang masih dibutuhkan strategi yang lebih terintegrasi dan detail, antara BIN dan Kepolisian, bahkan bila perlu, meminta bantuan terhadap TNI, untuk melakukan tindakan-tindakan antisipatif. Sebab bagi masyarakat, tindakan antisipatif jauh lebih penting daripada harus menghadapi peristiwa aksi teror dan terancam jadi korban.
Sedangkan konsistensi yang dibutuhkan dalam hal ini adalah, penumpasan teroris jangan seperti ‘hangat-hangat taik ayam.’ Dengan data dan histori para teroris yang sudah dimiliki BIN dan Polri, harusnya deteksi dini dan perburuan terus-menerus dilakukan. Bahkan pengejaran hingga keluar negeri, bila perlu dilakukan dengan kerjasama Interpol.
Demikian juga dengan Direktorat Imigrasi maupun Bea Cukai, aparat Kepolisian perlu melakukan koordinasi secara intensif. Sebab diketahui, ada sekitar 100 orang yang kembali dari Suriah maupun Negara Timur Tengah lainnya, diantaranya terlibat aksi teroris setelah mereka kembali.