Mohon tunggu...
Danny PH Siagian
Danny PH Siagian Mohon Tunggu... Dosen - Menulis, Menulis dan Menulis

Jurnalis dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dilematis Penjagaan Ketat Natal sebagai Pertanda Ketidakamanan Beribadah

7 Januari 2014   11:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak dapat dipungkiri, penjagaan pada saat perayaan malam Natal setiap tanggal 24 Desember oleh pihak aparat kepolisian, adalah hal yang sangat baik. Apalagi, penjagaan tersebut dilanjutkan dengan perayaan Natal keesokan harinya, utamanya di gereja-gereja besar atau strategis di perkotaan.



Namun, sadar atau tidak, hal ini juga sekaligus menandakan bahwa, kegiatan beribadah umat Kristiani saat Hari Raya Natalpun, ternyata tidak aman. Faktanya, harus dijaga ketat aparat, dan kadang-kadang ditambah dengan pengamanan dari organisasi masyarakat, seperti dari Banser (Bantuan Serbaguna) GP Ansor, atau ormas lainnya.



Tentu, ada hal yang perlu dijawab atas perlakuan khusus terhadap situasi yang demikian. Sampai kapan perayaan Natal umat Kristiani ini harus selalu dijaga dan diamankan? Dan apakah memang tidak akan pernah bisa perayaan Natal itu berjalan lancar seperti setiap perayaan Hari Raya Idul Fitri, yang nyaris tanpa penjagaan yang demikian ketat?



Mencermati berbagai kejadian sentimen gereja di tanah air, apalagi sejak terjadinya peristiwa ‘Bom Natal’ yang sangat mencekam pada tahun 2000, berlanjut hingga tahun 2012 lalu, hal ini menjadi sangat dilematis.



Disatu sisi, ancaman setiap perayaan Natal masih terus dibayang-bayangi adanya aksi terorisme, yang akhirnya memang perlu membutuhkan pengamanan pihak aparat. Sedangkan disisi lain, adanya kerinduan umat Kristiani, dimana perayaan Natal bukanlah sesuatu yang masih menjadi ancaman, sehingga harus dijaga-jaga. Sebab Natal itu sendiri, bermakna kedamaian. Damai di bumi, damai di hati.



Dalam hal ini, tentu menjadi sangat kontradiktif, antara fakta dan harapan. Bagaimana bisa perayaan Natal berjalan dengan lancar dalam kedamaian, jika selalu berada dibawah ancaman aksi pemboman? Sementara itu, yang masih jadi pemikiran, bagaimana caranya supaya ancaman aksi pemboman saat Natal bisa dihentikan, agar tidak mengganggu para umat Kristiani dalam menjalankan ibadah Natalnya setiap akhir tahun?



Mengutip statement tokoh agama K.H Solahuddin Wahid, Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, yang dimuat di Koran Jakarta, 24 Desember 2013, ia mengatakan, dalam konteks toleransi beragama, kejahatan tidak bisa dibiarkan hidup.



Dikatakan Gus Solah (panggilan akrabnya), berbagai tindak kejahatan terkait intoleransi beragama, tidak bisa dibiarkan hidup di bumi Indonesia, yang dibangun atas dasar kebhinekaan. Karena itu, Pemerintah harus bertindak tegas, dengan memerintahkan aparat kepolisian untuk mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku kejahatan tersebut.



Lebih tegas lagi Gus Solah mengatakan, Kepolisian harus berani dan jangan takut mengambil tindakan tegas serta menegakkan hukum dan Undang-undang. Jika tidak, mereka yang lemah, akan terus menjadi korban tindak kekerasan atas nama agama.



Ada 3 (tiga) bagian yang menjadi penting dalam pernyataan Gus Solah, jika dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan diatas. Pertama, adanya pengakuan terhadap fakta lapangan, bahwa perayaan Natal hingga kini memang masih menjadi ancaman kejahatan intoleran agama, berupa aksi-aksi terorisme. Kedua,bahwa Pemerintah melalui aparat kepolisian harus berani dan tegas untuk menindak mereka-mereka yang melakukan aksi kejahatan dengan berdalih agama. Ketiga, adanya suatu kalkulasi ke depan, jika aksi kejahatan berdalih agama ini tidak ditindak tegas dan tidak mampu diatasi, maka selamanya akan mengancam kaum lemah (minoritas) untuk menjalankan ibadah Natalnya.

Kembali Kepada Political Will Pemerintah

Untuk menjawab problem ini, sebenarnya tidak perlu jauh-jauh. Justru yang perlu dipertanyakan adalah, apakah Pemerintah memiliki ‘Political Will’ (kemauan politik) atau tidak? Atau, mungkin Pemerintah dengan sengaja selalu memelihara situasi dan kondisi demikian setiap akhir tahun (saat Natal tiba), yang akan dijadikan sebagai alat bargaining politik?



Masalahnya, agak aneh juga, jika para pelaku dari kelompok masayarakat tertentu yang mengatasanamakan agama dan jihad, tidak bisa ditindak tegas apalagi dibendung. Sebab kebanyakan, hanya diproses saja, tanpa dikenai hukuman berat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun