[caption id="attachment_363982" align="alignright" width="378" caption="Jalanan macet di jalan protokol, Jakarta"][/caption]
Kebijakan pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dibawah pimpinan Gubernur Ir. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang melarang sepeda motor ke jalan protokol, sungguh tidak pro rakyat.
Pelarangan ini sama saja dengan tindakan pelecehan. Kebijakan yang anti rakyat. Terutama bagi masyarakat kecil, alias ‘wong cilik.’ Bagamana tidak?
Kalau dilakukan penelusuran, barangkali ribuan atau bahkan puluhan ribu pegawai puluhan Kementerian/ BUMN maupun karyawan dari ratusan perusahaan Nasional maupun Multinasional,di seputar jalan protokol, yang sehari-hari menggunakan kendaraan sepeda motor ke tempat kerjanya, akan tergusur. Tidak bisa ikut lagi menggunakan sarana publik jalan protokol. Belum lagi para pelintas lain yang sehari-hari mestinya lewat jalan protokol itu.
Betapa pahitnya kebijakan pelarangan ini bagi para pengendara sepeda motor, yang dilarang masuk ke jalan protokol. Karena disingkirkan dengan sebuah peraturan yang tak kuat dasarnya. Menyingkirkan dengan cara pandang elitis dan komersil. Apalagi dilarang hingga 24 jam setiap hari.
Yang kita ketahui, alasan pemprov adalah untuk mengurangi tingkat kecelakaan. Tapi anehnya, substansi persoalan Jakarta adalah tingkat kemacetan yang sangat tinggi luar biasa? Apakah sinkron, pelarangan sepeda motor dengan persoalan yang dihadapi, dan tindakan yang diambil? Nggak nyambung rasanya.
Jika dikatakan mengurangi tingkat kecelakaan pesepeda motor, logikanya, pada jam-jam macet, apakah mungkin pesepeda motor itu bisa ngebut? Namanya juga macet. Logikanya tidak mungkin. Namun, jika dikatakan mengurangi tingkat kemacetan, apakah lahan yang digunakan sepeda motor itu lebih besar dari lahan yang dipakai mobil-mobil hingga angkutan umum di jalan protokol itu? Jelas tidak masuk akal? Karena ukuran badan mobil dan angkutan umumlah yang paling besar menghabisi badan jalan, sehingga macet makin tinggi. Bahkan para pengendara sepeda motor hanya kebagian sedikit, dan harus nyelip diantara mobil dan angkutan umum.
Dan yang paling bikin masyarakat nggak habis pikir, kenapa pelarangan itu berlaku hingga 24 jam setiap hari? Yang jadi pertanyaan, apakah diluar jam kerja, termasuk pukul 20.00 WIB hingga pukul 05.00 WIB jalan protokol itu masih macet? Kenapa tidak bisa juga sepeda motor melintas di jalan protokol pada saat-saat itu? Dan mengapa juga pada hari Minggu/ hari libur sepeda motor juga tidak bisa melintas disana? Apakah pada hari itu juga tingkat kecelakan tinggi? Apakah pada hari-hari Minggu dan Libur juga macet?
Satu hal lagi yang tidak dipertimbangkan pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan ini adalah, alasan utama para pengguna sepeda motor dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Sebab, mengapa masyarakat kelas bawah menggunakan sepeda motor? Karena itulah kesanggupannya. Itulah kemampuannya. Itulah yang paling ekonomis dan praktis dalam melakukan kegiatannya sehari-hari, dalam mencari nafkah.
Inilah gambaran rakyat. Pesepeda motor yang melakukan kegiatan sehari-hari untuk bekerja maupun melakukan operasionalnya, adalah kalangan masyarakar bawah alias ‘wong cilik’ tadi. Mereka bersepeda motor karena memang masih berpenghasilan rendah. Orang-orang yang masih tergolong susah. Bahkan sepeda motor juga rata-rata cicil, karena tak punya uang cash beli tunai.
Maka, dengan adanya rencana pemprov DKI Jakarta untuk makin diperluas area pelarangan terhadap sepeda motor, ini makin jelas kebijakan yang tidak pro rakyat. Tidak berpihak dan tidak mempertimbangkan kepentingan rakyat. Mengabaikan kemampuan dan kebutuhan rakyat. Ini namanya ‘Anti Rakyat.’
Disisi lain, para karyawan dan pegawai rendahan itu membayar pajak penghasilannya yang selalu dipotong resmi jika terima gaji. Katanya itu untuk infrastruktur, sarana dan prasarana yang akan digunakan untuk publik. Belum lagi pajak-pajak segala macam yang dibebankan, termasuk ‘wong cilik’ itu tadi, harus menanggungnya.
Nah, kalau bayar pajak macam-macam, tapi dilarang menggunakan sarana jalan, yang notabene untuk kepentingan publik, maka inilah yang namanya ‘diskriminatif’. Bayar pajak harus, tapi menggunakannya tidak bisa. Apakah ini yang namanya keadilan bagi masyarakat?
Kebijakan Yang Harus ‘Dilawan’
Oleh sebab itu, kebijakan pelarangan sepeda motor ke jalan-jalan protokol di DKI Jakarta ini, harus dilawan. Sebab ini tidak adil. Diskriminatif dan anti rakyat. Ini namanya penindasan terhadap orang miskin.
Mengapa harus dilawan? Karena cara pandang pemprov mengambil kebijakan ini, jelas tidak sama dengan pandangan rakyat mencari nafkah dengan menggunakan sarana publik. Pemprov sudah mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Padahal, pemprov mestinya mengurusi kepentingan rakyat. Dalam hal ini sudah terbalik.
Hendaknya, para stakeholder kepentingan publik, baik LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), LBH (Lembaga Bantuan Hukum), para pengojek, hingga para karyawan/ pegawai rendahan yang kantornya di seputar jalan-jalan protokol, termasuk jalan-jalan protokol yang akan dilarang lagi (seperti jalan Sudirman, Gatot Subroto, Sisingamagaraja, dll), para pengguna lain yang sehari-hari melintas di jalan-jalan tersebut, tidak diam saja terhadap kebijakan dan rencana perluasan pelarangan ini. Sebab, jika tidak dilawan, maka tidak akan ada solusi yang cocok dengan kondisi dan kemampuan para ‘wong cilik.’
Tentu, melawan dalam hal ini bukanlah dengan melakukan tidakan bar-bar. Tidak! Sebab banyak hal yang masih bisa dilakukan, seperti: Melakukan ‘Class Action’ ke lembaga peradilan; Menyurati penghentian larangan ini, oleh para stake holder itu tadi ke Pemprov; Melakukan demo tertib membela hak penggunaan sarana publik; Melakukan pertemuan-pertemuan dengan pihak pemprov untuk beradu argumentasi dan sanggahan-sanggahan dari sudut pandang berbeda; dan lain sebagainya.
Sebab itu, ‘wong cilik’ para pengguna sepeda motor di DKI Jakarta, semoga tidak makin tergusur oleh kebijakan yang hanya berpihak pada kalangan elit dan orang-orang kaya. Sebab hak untuk hidup warga negara, sama kedudukannya dimata hukum sesuai Undang-undang Dasar 1945. Minimal, sama-sama bisa menggunakan sarana dan prasarana publik, yang juga bayar pajak. Karena dalam konstitusipun dikatakan, Negara wajib memberikan kehidupan yang layak bagi setiap warga Negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H