Mohon tunggu...
Danny PH Siagian
Danny PH Siagian Mohon Tunggu... Dosen - Menulis, Menulis dan Menulis

Jurnalis dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perseteruan KPK-Polri Sebagai Ajang ‘Show of Force’

29 Januari 2015   13:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perseteruan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Polri (Kepolisian Republik Indonesia), sebenarnya bukan barang baru lagi. Bahkan masyarakat menganggapnya sebagai perseteruan ‘Cicak vs Buaya’ seri ke-3.

Namun, apa yang membuatnya kali ini jauh lebih dahsyat dari sebelumnya? Bahwa adanya momentum yang dimainkan KPK, pada saat ‘injury time.’ Dari sisi Polri, melakukan tindakan tak lazim, saat situasi mencekam. Disinilah letak titik krusialnya kedua lembaga bergengsi tersebut.

Sebab, jika saja KPK tidak mengumumkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka saat diusulkan Presiden Jokowi sebagai calon Kapolri, mungkin situasinya akan berbeda. Karena, jika diumumkan tersangka sebelum menjadi calon Kapolri (karena KPK kabarnya sudah menstabilo merah), maka status tersangka Budi Gunawan akan ditanggungnya sebagai pejabat Kalemdikpol (Kepala Lembaga Pendidikan Polri). Bukan sebagai calon Kapolri.

Atau, jika saja KPK mengumumkannya setelah menjadi Kapolri. Maka masyarakat akan memandangnya sebagai pejabat yang tersangkut kasus korupsi. Hal ini akan terlihat biasa, karena sudah banyak pejabat yang tersandung kasus korupsi.

Momentum yang makin membuat perseteruan makin sengit, ketika KPK mengumumkannya menjelang ‘fit and propertest’ di DPR. Padahal ‘fit and propertest’ itu pada umumnya sangat membutuhkan dukungan berita-berita baik, yang harus menghindari munculnya polemik. Bahkan dapat dikatakan, butuh keheningan berbagai persoalan. Menghindari peberitaan buruk.

Ditambah lagi Presiden Jokowi yang tidak mau membuat keputusan ‘hitam atau putih.’ Dan adanya juga pemberhentian Kapolri, Jenderal Sutarman yang tergesa-gesa. Maka terciptalah situasi politik bersuhu tinggi.

Ketika situasi politik masih bersuhu tinggi, Polri melakukan penangkapan tak wajar terhadap Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, atas sangkaan pemalsuan saksi pada Pilkada Kotawaringin Barat 2006 lalu. Dikatakan tak wajar, karena cara penangkapan dilakukan seperti menangkap maling atau rampok. Sebab tangannya sampai diborgol. Padahal, jika Bambang dipanggil saja ke Mabes Polri, masyarakat juga sangat yakin, Bambang akan datang mematuhinya. Karena dia juga faham hukum.

Sontak saja situasi politik makin rawan. Karena aksi ‘berbalas pantun’ kedua institusi ini mengandung ‘bad image’. Sebab KPK menetapkan petinggi Polri (calon Kapolri) jadi tersangka, sedangkan dari Polri menangkap petinggi KPK dengan memborgol.

KPK dan Polri dalam situasi ini bisa disebut sebagai saling unjuk kekuatan alias ‘show of force,’ dengan cara saling melumpuhkan satu sama lain. Dikatakan ‘show of force’ karena kedua institusi ini memang memiliki kekuatan masing-masing. Namun ada kalanya terjadi ‘crossing’ dalam hal pemberantasan korupsi.

Kedua institusi ini seolah berlindung dibalik tameng menjalankan tugas penegakan hukum, dengan dalih masing-masing. Padahal tujuannyapun tidak murni lagi. Sebab dibalik tameng itu, ada tujuan tertentu yang cenderung dipaksakan.

Memang, jika ditinjau dari segi menjalankan tugas dan fungsinya, masing-masing mencari pembenaran sendiri-sendiri. Yang menjadi persoalan, mengapa momentum yang digunakan pada sarat dengan kepentingan?. Dan kekuatan yang dimiliki masing-masing, justru digunakan untuk saling menjatuhkan.

Tak salah jika aksi-reaksi ini kita sebut juga sebagai ‘politik balas dendam.’ Karena sejak lama, kedua institusi telah berseteru, dan terseret ke ranah politik kepentingan. Keduanya terlibat dengan cara saling membela kepentingan, dan memperburuk situasi.

Sebab itu, ketika Presiden Jokowi dalam konperensi persnya di Istana mengatakan, ‘jangan ada yang merasa sok diatas hukum’ menjadi benar. Karena KPK dan Polri terlihat saling membenarkan diri dengan dalih penegakan hukum itu tadi. Kedua institusi tidak lagi menjaga wibawa masing-masing.

Maka, jika Presiden Jokowi kemudian membentuk Tim Independen untuk penyelesaian kisruh KPK-Polri, maka hal ini juga membuktikan, wibawa kedua institusi sudah jatuh. Karena akan ada pihak ketiga yang akan masuk untuk mendamaikan dan memperbaiki situasi antar kedua institusi. Bahkan akan mungkin mereposisi kedudukan masing-masing institusi.

Yang paling dikhawatirkan, jika posisi institusi Polri nantinya akan diarahkan untuk berada dibawah kendali Kementerian Dalam Negeri, sebagaimana yang diisukan selama ini. Jika sampai itu yang terjadi, maka Polri akan merevisi total kedudukannya sebagai penegak hukum maupun tugas dan fungsi yang diembannya selama ini. Secara otomatis, maka kondisi tersebut akan meng-kerdilkan posisi Polri, yang hanya lebih berorientasi kepada tugas dan fungsi kemasyarakatan.

Sementara bagi KPK sendiri, indikasi penumpulan kekuatannya makin mendera. Berbagai cara yang dilakukan pihak-pihak tertentu, untuk memperlemah posisi KPK seperti yang sekarang ini. KPK mau dibuat mandul. Apalagi oleh para penguasa, pejabat maupun pengusaha yang selalu khawatir terhadap bidikan KPK.

Butuh Keberanian Untuk Jujur

Oleh sebab itu, salah satu yang paling dibutuhkan kedua institusi adalah, bagaimana caranya agar KPK dan Polri berani mendahului kemungkinan akan munculnya ‘gong perubahan’ yang sedang digodok Tim Independen. Berbagai cara tentu dapat diupayakan. Namun syarat utamanya adalah, dibutuhkan kelegowoan yang tinggi dari masing-masing petinggi institusi. Dibutuhkan pula sportifitas dan keterbukaan.

Pintu komunikasi untuk memperbaiki situasi harus dibuka lebar-lebar, dan sesegera mungkin. Artinya, dibutuhkan keberanian untuk saling jujur terhadap diri sendiri terlebih dahulu, serta menyadari keberadaan masing-masing, dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Yang paling penting, menyingkirkan kecurigaan masing-masing dan arogansi harus diupayakan. Agar tidak saling terbeban. Persoalannya, apakah kedua institusi ada niat melakukannya? Dan siapa yang berani lebih dulu memulainya?

Danny PH Siagian, SE, MM

Pemerhati Masalah Sosial Politik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun