Mohon tunggu...
Wahyu Permana
Wahyu Permana Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan pengamat masala sosial kemasyarakatan dan pertahanan keamanan

Staf Ahli DPD RI, Ketua Lembaga Hak Konstitusi Indonesia, pegiat anti Narkoba di provinsi Banten, Direktur Eksekutif Pilkada Watch, Pengamat Sosial Kemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kampanye Partisipasi Publik : Mungkinkah?

22 Oktober 2013   13:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:10 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik




Mendekati tahun 2014 suhu politik semakin meninggi. Setiap partai politik menekan dalam-dalam gas mesin politiknya untuk menghadapi Pemilu Bulan April Tahun 2014. Calon-calon wakil rakyat mulai sibuk turun ke daerah pemilihannya masing-masing, bertemu konstituennya, mengobral janji dan mimpi. Sambil mungkin berupaya menghapus memori rakyat akan janji-janji yang tak terlaksana di hari-hari kemarin.

Akankah rakyat kembali terjerumus ke lubang yang sama untuk memilih wakil-wakil mereka yang pintar berjanji tetapi ingkar menepati ?

Akankah Pemilu 2014 akan menghasilkan wakil rakyat yang mudah mengobral mimpi ? tapi malah melengos saat ditangih saat telah menduduki kursi empuk di gedung megah nan mewah. Wakil rakyat yang hanya datang, duduk, diam, dan duit atau 4 D istilah yang sering dilekatkan pada para wakil mereka di parlemen.

Tetapi hanya mengumpat dalam hati yang bisa rakyat lakukan hari ini, karena tak ada lagi yang bisa dituntut dari wakil-wakil mereka. Transaksi telah selesai dilakukan saat sejumlah uang, paket sembako, kaos partai, dan sekelompok pemusik dangdut yang disajikan pada saat kampanye untuk meriahnya pesta demokrasi. Peduli setan kesadaran konstituen, pemilih yang kritis, komitmen moral antara wakil dan rakyat, semua hanya utopia dan berujung sebatas transaksional belaka.

Sistem Pemilu Transaksional

Sistem transaksional ini pulalah yang menjadi salah satu akar permasalahan korupsi para wakil rakyat. Korupsi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah merengut hak-hak rakyat Indonesia sehingga tidak mendapatkan pelayanan dasarnya.

Tanpa etika dan moral, minimal rasa malu, para wakil rakyat, baik secara pribadi ataupun bersama-sama menggarong uang rakyat. Kasus Century, Hambalang, Departemen Agama, Departemen Pendidikan, dll, dsb. Ironisnya sistem yang selama ini berjalan nampaknya turut andil dalam mempertahankan budaya korupsi di parlemen.

Proses penegakkan hukum terhadap kasus-kasus korupsi dicurigai tebang pilih dan malah menjadi agenda dari penguasa. Para tersangka kasus korupsi kebanyakan adalah mereka yang berhadapan dengan penguasa yang hari ini menjalankan pemerintahan.

Tanpa merasa bersalah bahwa ada amanah yang dititipkan dari orang per orang yang telah memilihnya di bilik-bilik suara, yang menginginkan wakil mereka adalah seseorang yang amanah, jujur dan berkualitas. Tak merasa berdosa saat wakil rakyat hanya melakukan rutinitas datang, duduk, diam, duit, dan tidak memperjuangkan apapun untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat (minimal) di daerah pemilihannya.

Sangat jauh panggang dari api apabila ingin ada proses pencerdasan politik apalagi penanaman nilai-nilai luhur kebangsaan dari sang calon wakil rakyat dengan konstituennya. Karena proses pemilihan yang transaksional hanya memerlukan segala hal yang berupa materi: uang, tampang, pencitraan.

Tak perlu pintar meyakinkan rakyat melalui pidato bernas yang disajikan secara artikulatif karena menurut mereka rakyat hanya butuh orkes musik dangdut, uang tunai dan sembako. Tak penting merumuskan program kerja selama 5 tahun ke depan karena pemilih hanya butuh uang rokok dan uang bensin untuk menghadirkan mereka di acara pertemuan. Dan terpenting bagi mereka yang ingin menjadi anggota legislatif, siapkan sejumlah dana yang cukup untuk beli suara di KPUD untuk mendongkrak perolehan suara yang minim diraih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun