Ilustrasi - mendidik anak (Shutterstock)
Akhir-akhir ini, saya banyak mendengarkan sharing, curhat, dan keluhan dari saudara dan kerabat yang saat ini menjadi orangtua. Jika ditarik benang merahnya, isi dari cerita mereka memiliki kesamaan, yaitu saat ini anak mereka duduk di bangku kelas 3-5 SD. Sedangkan permasalahan yang dihadapi oleh mereka berkaitan dengan perilaku anak yang menunjukkan sikap mudah marah, protes, mengeluh tidak bisa, menunda tanggung jawab, kurang memiliki semangat dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
Ketika saya mencoba menggali dan mengetahui bagaimana respon anak mereka ketika menunjukkan perilaku yang telah saya sebutkan diatas, muncul berbagai respon spontan dari anak mereka seperti berikut. Ungkapan dari salah satu anak yang menunjukan protes terhadap tugas-tugas sekolah karena Si Anak tidak mampu menyelesaikan tugas rumahnya, “Bun... aku ki wes kesel, mosok mbendino mesti ono PR, tambah kuis teko matapelajaran liane. Padahal sesuk ki aku libur lho Bun...” (terjemahan. Bun aku udah capek... masak tiap hari selalu ada PR (Pekerjaan Rumah) ditambah kuis dari mata pelajaran lain. Padahal besok itu aku libur). Ada lagi ungkapan anak yang mengungkapkan keinginannya demikian, “Bun, kenapa sekolah cuman ada pelajaran olahraganya cuma seminggu sekali aja? Kenapa gak tiap hari ada pelajaran olahraga?”.
Jika Anda yang kini sudah menjadi orangtua, jika anak Anda mengungkapkan seperti dua ungkapan diatas, kira-kira bagaimana cara Anda merespon ungkapan dari anak Anda. Tentu tidak mudah bagi orangtua menjawab respon spontan dari anak-anak. Dan belum tentu pula respon yang Anda berikan dapat diterima Si Anak. Mungkin respon dari yang Anda ungkapkan justru membuat anak menjadi protes dan tiada hentinya menjawab respon yang Anda berikan.
Memang saya saat ini belum menjadi orangtua. Akan tetapi cerita yang saya dapat dari para orangtua tersebut membuat saya bercermin kembali pada masa lalu saya saat masih duduk dibangku SD. Ketika saya masih SD, saya masih memiliki waktu untuk bermain bersama dengan teman di sekolah maupun dengan teman anak tetangga di sekitar rumah. Bahkan ketika menjelang ujian akhir sekolah yang diselenggarakan oleh Negara, saya masih dapat mengajak teman-teman disekitar rumah yang seangkatan dengan saya untuk belajar bersama di rumah. Saat itu saya masih mengalami ujian dua kali, yaitu ujian akhir sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan dan yang ujian akhir sekolah yang diselenggarakan oleh Negara.
Memang perbedaan era saat ini berbeda dengan era saya di tahun 90-an. Tidak dapat dipungkiri tuntutan sekolah anak-anak usia SD saat ini (mungkin) lebih tinggi dibanding dengan zaman saya. Saat ini, anak usia Taman Kanak-kanak saja sudah dijejali dengan pelajaran berhitung. Kelas dua SD saja, anak-anak sudah harus hafal perkalian.
Selain beban sekolah yang tinggi, tantangan terbesar bagi orangtua zaman sekarang adalah bagaimana mengatur waktu bagi anak untuk pemakaian gadget. Memang banyak sekali aplikasi yang tersedia di gadget memberikan pelajaran-pelajaran positif bagi perkembangan anak. Akan tetapi perlu diperhatikan pula apabila intensitas penggunaan gadget terlalu tinggi dapat memicu anak untuk menjadi pribadi yang anti sosial. Selain itu dampak fisik yang terlihat dari anak yang telah kecanduan gadget, memungkinkan perkembangan motoriknya tidak berkembang secara optimal. Maka tidak heran banyak anak yang sudah obesitas saat usia dini.
Lalu bagaimana upaya-upaya yang dapat kita lakukan untuk mendampingi anak usia pra sekolah (usia 3-6 tahun) agar dapat menjadi pribadi yang mampu bertanggung jawab? Mengapa harus dimulai pada anak usia pra sekolah?
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melatih anak sejak dini untuk mampu membuat pilihan dengan baik. Dengan kita melatih anak untuk mampu membuat pilihan dengan baik selain mengajarkan anak untuk mampu bertanggung jawab atas pilihanya, juga mengajarkan anak untuk percaya diri dengan pilihannya. Dengan melatih sejak dini anak pra sekolah dalam membuat keputusan berarti membiasakan anak agar dapat konsekuen dengan tugas yang diemban pada saat mereka masuk dalam usia sekolah.
Berikut merupakan tips dalam melatih anak dalam membuat keputusan dengan baik yang saya kutip dan saya kembangkan dari artikel yang berjudul “Teaching Your Kid to Make Good Decisions” dari parents magazine.
Pertama, berikan pilihan kepada anak. Susu rasa coklat, strawberry, atau vanilla? Hari Minggu mau main ke pantai, taman, kebun binatang, atau mall? Mungkin itu sebagian dari contoh pertanyaan-pertanyaan pilihan. Dengan mengajukan beragam pilihan tersebut tentu anak akan langsung membayangkan situasi dai berbagai pilihan tersebut.
Kedua, ajukan pertanyaan “mengapa”. Setelah beragam pilihan diajukan kepada anak tanyakan mengapa memilih pilihan A, B, C dan sebagainya. Hal ini perlu dilakukan oleh orangtua untuk merangsang anak untuk memberikan alasan terhadap pilihannya.
Ketiga, batasi macam-macam pilihan menjadi dua pilihan. Setelah semua pilihan diberikan alasan oleh anak, bantu anak untuk mempertimbangkan pilihannya dengan mengajak anak untuk membatasi pilihan. Hal ini perlu dilakukan agar anak dapat mengeliminasi pilihan-pilihan lain. Selain itu, tahap ini mengajarkan anak untuk fokus terhadap pembicaraan anara dua pilihan.
Keempat, biarkan anak melakukan pilihannya. Selama pilihan anak dapat dijangkau dan dilaknsakan oleh orangtua maka berikan dukungan kepada anak untuk melaksanakan pilihannya. Tentu tahap ini perlu mempertimbangkan aspek lain seperti keamanan, kesehatan, dan keselamatan anak. Dukungan dan keterlibatan dari kedua orangtua akan pilihan anak, akan membuat anak merasa dihargai keputusannya.
Kelima, ajak berefleksi setelah lakukan pilihan. Setelah anak-anak melakukan aktiitasnya, jangan lupa ajak anak untuk mengungkapkan apa yang telah dilakukan. Orangtua dapat memancing respon dari anak dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Seperti, Bagaimana perasaanmu nak setelah melakukan aktivitas A? Hal menarik apa yang kamu temui saat melakukan aktivitas A? Mengapa hal tersebut membuatmu menarik? Pertanyaan-pertanyaan ini pun dapat dikembangkan oleh orangtua sebanyak mungkin. Tujuan dari mengajak anak untuk berefleksi selain anak memaknai apa yang dilakukannya, secara tidak langsung merangsang anak kecerdasan verbal dan linguistik anak.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi para orangtua dan calon orangtua. Mari bebaskan anak untuk memilih dan bertanggungjawab sejak dini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H