Tangis yang kusimpan mengalirkan darah, Ramadhan di kota Tarim hanyalah suara timbul tenggelam. Mimpi mimpi salik terkubur tidak pada tempatnya. Zanbal tak menyediakan nisan wanginya. Hanya kaki telanjang di tengah terik yang terbirit birit menahan pasir pemakaman Zanbal. Daun mashoom, nisan wangi yang terus dikecup zahir penjuru alam menelusup retakan yang ku simpan. Tangis itu tak pernah menjadi air bening.
Empat belas jam, negeri negeri tertutup awan ku lewati. Aku pulang dengan isak yang terus terjaga. Kusimpan boneka boneka yang menamaiku sebagai bocah. Aku pulang! Dan Semarang adalah pukul sembilan yang menjitakku. Aku bukan lagi bocah dengan boneka dan permen karet yang terlahir pada pukul sembilan. Ku kubur pukul sembilan dengan belajar, belajar melupa aroma roghif hangat, teh hitam Etiopia, tangis anjing, juga gagak gagak hitam sebelum fajar.
Semarang, Februari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H