Baligh, kaki kananmu lekaslah mendaki. Namamu menua, tangan mungilmu
mencari masa gundu yang terampas. Sampailah pada balagha semi. Kedipan
mata tertahankan. Bukan gundu yang menyelinap dalam igauan. Linglung!
Matamu berkaca-kaca, sejak pagi balaghogh menyita nyawamu. Bukan
setingkat mubaligh yang meruang dalam dirimu. Kau hanya ingin tersenyum
menemui arwah tabligh. Memuja yang maha mubalaghoh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!