Pancuran itu memukul mukul waktu, tapi batu
tak kan pernah bangkit jadi api. Lalu bebatuan itu merintih
Matahari memandang garang di ujung jalan, yang akan memisahkan
dunia ini dengan dunia lain. Aku tak paham dengan suara merdu dan rintihannya,
inilah perjalanan bagi bebatuan. Setelah hari hari di tikam sejuta pisau waktu dan
suara bising granat dan senapan. Tak ada lagi sesal dan harap, udara telah membawa
senyum dan mimpinya ke dalam doa yang beterbangan. Lalu bebatuan itu merintih . . sungai
sungai kekal mengalirkan darah. Tak ada lagi suara dan teriakan penuh perjuangan itu, kecuali
sebuah topi dan taman lapang, menjelma tiba tiba. Dan aku hanya mampu membaca bahasa angin
disana, kemudian meliuk di balik bendera setengah tiang
Hening . . . .