Mohon tunggu...
Abud SB Runcing
Abud SB Runcing Mohon Tunggu... Wiraswasta - Anak Selat Muria I Penyeduh kopi dan pencumbu kretek I Ketua PP IPNU Bid. Jaringan Sekolah I Sekretaris Lesbumi Kudus #beripnuippnuituasyik #pelajarnusantara

ini adalah hidupku tentang berjuang dan berusaha tampil beda. Menyibukkan diri dengan mengabdi di salah satu Majalah Pelajar Kudus ( PILAR ) Nyambi terus berlatih broadcasting di salah satu radio komunitas di Kudus (RBK/ Radio Buana Kartika107.5 FM) Ingin terus berkarya, bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cahaya Dalam Badai

2 Oktober 2013   14:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:06 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13807004031752963116

Sore itu keadaan hening, tak seperti biasanya, banyak orang tua dan anak muda berkumpul di depan rumah bercengkrama melepas lelah seusai sehararian bekerja. Tiap sore kuhabiskan waktu dengan bersepeda keliling kampung, hanya untuk menikmati keragaman kehidupan tetanggaku. Dari satu rumah kerumahlain sambil kuuraikan senyum tuk menyapa mereka, kehidupan seperti inilah yang selalu terimpikan di benakku untuk negara ini, bangsa ini, Indonesia. Andai saja para pemerintah dapat merakyat tanpa sekat pengawalan ku yakin rakyat akan semakin mencintai pemerintah.

“ Monggo om di “ ucap seorang wanita dari arah berlawanan,

“ owh nggeh monggo mbk “

Aku kenal orang itu, tiap sore selalu ku jumpai di tempat ini, situasi yang tak jauh beda dari hari –hari sebelumnya . Bersepeda dengan kedua anaknya, si aira dan fara, kakakanya “aira “ duduk di belakang sementara adiknya “ fara “ duduk di depan dengan keranjang yang ditempatkan disetang sepada. Ku yakin mereka pulang dari surau tempat aira dan fara mengaji. Aku dan masyarakat disini biasa memanggilnya “ mbk yani “ dia adalah seorang janda, suaminya meninggal saat si fara baru berusia 4 hari, pada waktu itu desa sedang di kisruhkan oleh para pengusaha asing yang ingin menanam pabrik pabrik di tanah subur desa kami. Mas akbarlah yang berjuang keras menolak di dirikannya pabrik pabrik itu, walaupun para pengusaha menjanjikan akan mengisi tenaga dari masyarakat desa ini, akan tetapi pencemaran yang telah mereka lakukan di daerah lain menjadi alasan kuat mas akbar memperjuangkan tanah masyarakat. Sore itu balai desa ramai di penuhi warga yang menolak di bangunnya pabrik didesa kami, akhirnya mereka para pengusaha mengajukan diplomasi untuk berbicara dengan perwakilan masyarakat, yang diwakili oleh para perangkat desa beserta mas akbar. Kami di luar setia menunggu pejuang tanah kami dan senantiasa berdoa untuk kebaikan hidup kami bersama. Dari luar hanya terdengar suara banting membanting kursi, ucapan ucapan dengan nada tinggi, kami semua cemas apa yang akan terjadi pada mas akbar. Lebih dari 1,5 jam kami menunggu hasilnya, kemudian mas akbar keluar dari balai desa dengan keringat yang mebanjiri tubuhnya, di susul para perangkat dan para pengusaha asing. Dengan seuntai senyumyang terbuai dari wajah mas akbar sejenak menentramkan hati kami dan dia menyuruh kami untuk tenang dan terus berdoa pada Allah SWT.

Hari semakin petang mega merah mulai menggusur cerah senja, mas akbar menyuruh kita pulang kerumah masing – masing untuk bersih diri dan menyambut datangnya maghrib. Kami pun pulang bersama, mas akbar menitih sepadanya dan berjalan bersama kami, tiba – tiba mas akbar ingin sampai di rumah lebih cepat, ada sesuatu yang ingin di sampaikan pada istrinya dan berpamitan kepada kami dengan bersepeda. Kami berjalan dan kira – kira 100 meter mas akbar jauh di depan kami, dari belakang kami, terdengar mobil dengan kecepatan yang tinggi, tidak kami sangka mobil itu mementalkan mas akbar hingga 10 meter dan hanya berlalu meninggalakan mas akbar yang tak berdaya. Kami serentak bergegas menghampiri mas akbar dengan harap cemas, mas akbar terkapar dengan kondisi berlumuran darah disekujur tubuhnya, sepeda yang dia naiki remuk, seingatku matanya masih bisa berkedip waktu kami ingin menggotong dan dia merogoh saku kanannya dan mendekatkan telingaku ke mulutnya yang waktu itu berada didekatnya

“ di aku titip ini buat yani, dan buat kamu ini semua belum berakhir di, aku tahu kamu yang paling kecil disini tapi kulihat kamu punya semangat, jangan pernah menyerah untuk meperjuangkan nasib masyarakat walaupun kau pasti akan lebih banyak menelan racun dari pada madu “

Seuntai kertas yang berlumuran darah itu ku genggam dan beberapa saat kemudian lepaslah nyawa mas akbar dari jasadnya. Serentak kami menundukkan kepala melepas pejuang kami “ INNALILLAHI WA INNAILAIHI ROJIUN “

Kami membawa jasad mas akbar kerumah, dan waktu itu istrinya sudah berdiri cemas di depan rumah seperti mendapatkan firasat buruk, dia mengenakan baju hitam simbol kedukaan, yang mungkin tak di sadarinya. Dia tak bisa berkata apa –apa ketika kami memasuki rumahnya dan melihat suaminya berlumuran darah. Ibu ibu yang bersama kami menenangkan mbak yani dan mencoba menguatkan hatinya. Rumah duka pun semakin ramai, bacaan surat yasin dan tahlil terus di lantunkan untuk melepas kepergian mas akbar. Rencananya jasad almarhum akan disemayamkan esok jam 9 pagi.

*******

Waktu terus berlalu tanpa lelah menggerus detik, menit, jam, begitupun dengan hari. Sudah genap 40 hari kepergian mas akbar tapi duka yang mendalam di hati masyarkat belum pulih juga apalagi di hati keluarga khususnya sang istri, yang pada waktu itu sedang mengidamkan belaian suami untuk merawat dan membesarkan kedua anaknya, terlebih si fara yang kini baru berusia 44 hari tepatnya. Malam itu seusai tahlilan 40 hari kuberanikan untuk menyerahkan titipan mas akbar, seuntai surat yang masih terhias darah mas akbar yang sudah mengering.

“ mbak yang sabar ya, aku yakin mbak kuat dan bisa menghadapi ujian ini, sebelum mas akbar menghebuskan nafas terakhir beliau menitipkan ini buat mbak, dan ku rasa inilah waktu yang tepat untuk memberikan ini, surat ini masih aman dan saya tidak berani mebersihkan apalagi membukany, dan jikalau mbak butuh bantuan gak usah segan – segan minta bantuan, saya akan berusaha sebisa saya membantu mbak, karena almarhum mas akbar juga telah membantu kami “

Setelah kuserahkan surat itu, aku pun perlahan berlalu dari rumahnya, ku rasa dia butuh waktu sendiri untuk meneruskan hidupnya dengan aira dan fara.

*******

Tak berhenti sampai disini, sepeninggalan mas akbar para pengusaha asing itu kian bringas, bahkan mereka sudah mulai pembangunan tanpa mengajak kami untuk berunding. Katanya, mereka sudah mendapatkan ijin dari pemerintah desa untuk mendirikan pabrik. Ternyata mereka mulai pembangunan diatas tanah milik mas akbar yang seharusnya adalah hak keluarga. Setelah kami tanyakan kepada pihak desa katanya pak lurah tanah itu telah di jual Akbar semasa hidupnya, jadi sudah bukan hak keluarga untuk mengelolanya.

Malam itu seharusnya langit indah dengan paduan bulan pernama dan hiasan rajutan bintang diangkasa, akan tetapi mendung menelannya. Dalam malam yang mendung itu Pak lurah Manto dan dua perangkat desa lain berkunjung kerumah Mbak Yani. Sepertinya mereka ingin mebicarakan sesuatu

“ sebelumnya gini yan, bapak dan teman – teman kemari ingin ngomongin soal tanahnya almarhum suami kamu yang di pinggir desa itu, dulu semasa hidupnya suamimu pinjam uang kepada bapak untuk biaya persalinan anakmusi fara dan meraka berdua inilah saksinya, “

Mbak yani pun kaget mendengar ucapan pak lurah tersebut, setahunya suaminya menggunakan uang tabungan yang memang sudah dianggarkan untuk biaya persalinan si fara.

“ lha terus apa hubungannya dengan tanah yang di pinggir desa itu pak ??? “ sambungnya

“ sertifikat tanah itu kan dijadikan jaminan untuk hutang suamimu, dia pinjam uang 10 juta kepada saya, dan bunganya 10 persen perbulan “

“ maaf pak, bukannya sertifikat itu mau dipindah namakan dari pemilik yang lama ke mas akbar ?? sertifikat itu kan sudah di taruh dikelurahan lebih dari 3 bulan pak, dan pada waktu itu bapak bilang katanya yang ngurus lagi ada acara haji terus ada acara keluarganya kena musibah dan sampai terakhir kali bapak bilang udahlah pokoknya nanti beres, kenapa sekarang jadi pegangan hutang pak ??? maksudnya apa ini ??? “

“ lho ?? kamu gak percaya saya yan ???!!! ini ada saksi mereka berdua dan ini juga ada tanda tangan suamimu diatas materai “ dengan nada tinggipak lurah mengatakannya

Kemudian disodorkanya map merah yang berisi surat pernyataan yang didalamnya telah ditandatangani oleh pak lurah manto dan almarhum mas akbar. Akan tetapi mbak yani menemukan sebuah keganjalan di surat pernyataan tersebut, didalam nya memang benar ada tanda tangan suaminya, akan tetapi tanggal surat pernyataan ini dibuat pada tanggal suaminya wafat.

“ mohon maaf pak ya, bukannya saya tidak percaya bapak, akan tetapi dalam surat pernyataan ini, tertera tanggal di buatnya bersamaan dengan tanggal wafatnya mas akbar, kalau tanggal pembuatannya tanggal ini bearti yang menandatangaini surat ini siapa?? Mas akbar ??? “

“ Bunda . . . . . . . . . “ terdengar jeritan si aira yang mungkin terbangun karena suara bundanya yang mulai meninggi.

“ sekali lagi pak, jangan kira saya ini orang bodoh yang tidak tahu apa – apa, jangan bapak kira setelah mas akbar tiada bapak bisa se enaknya melakukan proyek proyek ini, bapak kira saya tidak tahu yang telah bapak lakukan selama ini, sekarang lebih baik bapak pulang, dan bawa semua surat yang gak penting ini, sekali lagi kalau mau kesini bawa yang penting saja !!!! anak saya sudah menangis di dalam silahkan pergi !!!! “

Kemudian rombongan pak lurah pun beranjak pergi dari rumah mbak yani, terpancar rona muka kecewa serta marah besar. Dia merasa martabatnya sebagai lurah telah dilecehkan oleh seorang janda dengan mengusirnya.

Esok ini tak jauh beda, masyarakat mulai melaksanakan aktifitasnya, para petani berbondong membawa cangkul kesawah dan beberapa juga ada rombongan ibu bersepeda dengan menggendong bodak, maklumlah ini musim tanam padi jadi para ibu – ibu itu biasanya jadi buruh tandor. Hari ini adalah awal mbak yani mebuka kembali warung makannya sesudah suaminya tiada, dia kini harus berjuang lebih keras lagi untuk menfkahi anak – anaknya. Dia punya warung yang berjarak 50 meteran dari rumahnya, dulu semasa suaminya masih hidup, masih ada yang membantu mengangkat nasi dari rumah kewarung mengangkat gorengan dan sebagainya. Kini dia harus sendiri serba sendiri, kerepotan sendiri, tapi baginya memang ini yang harus dia jalani, dia tidak merasa berat karena dia ikhlas melakukan semua ini demi aira dan fara, hanya merekalah harta paling berharga yang dia miliki saat ini.

Aira dan fara kini mulai tumbuh besar, aira kakaknya yang usianya 3,5 tahun atau 1 tahun lebih tua dari sang adik sekarang sudah gak rewel lagi, dan adiknya si fara sekarang juga sudah mulai gak mau neteh bundanya. Jadi kalau bundanya jualan di warung, bundanya tidak khawatir untuk menitipkannya di tetangga belakang rumah.

Dahan itu mengikat daun – daun agar tak terjatuh, merasa memiliki dan berusaha se maksimal mungkin untuk tak melepasnya, akan tetapi satu yang tak kan pernah bisa di lawan. Bukan angin, bukan hujan, bukan pula panas, akan tetapi suratan, suratan takdir yang maha kuasa. Siapapun tak dapat lari dari itu, baik itu orang kaya, miskin, baik itu orang baik, buruk, baik itu nabi, wali, dan semua mahluk ciptaan Allah SWT. Kita hanya bisa selalu birdzikir dan terus beribadah kepadaNya, agar ketika di panggil kita sudah memiliki investasi yang dapat menyelamatkan kita.

Malam kelam, tertelan sudah semua kehangatan mentari, kunang – kunang bertaburan menari menyajikan sebuah mahakarya siklus alam yang mempesona. Rasi bintang bergerak perlahan merajut sebuah isyarat di langit, memberi suguhan kepada mahluk bumi terutama untuk insan yang dirundung kesepian dan kegelisahan.

“ Bunda ,, , , , , , ,ayah aira dimana to ???? ”

Kalimat itu memecahkan kesunyian, membangunkan dari alur cerita ramayana radio yang dinikmati bersama segelas kopi, tak pernah terfikirkan bahkan kerap lari dari planing hidup. Ternyata pertanyaan itu telah didapatkan diusia aira yang ke 3,5th dimana saat itu seharusnya anak bermain, bercanda bersama bunda dan ayah, mendapatkan pelukan kasih sayang serta kenyamanan. Dengan hati yang menangis, tersenyumlah dan membuang raut muka kesedihan tentang pertanyaan anaknya tentang sang ayah, di ulurkannya kedua tangan untuk memeluk salah satu bidadari penguat hidupnya.

“ Kak, ayah kakak udah meninggal, kalo meninggal di kubur di tanah, sama seperti mbah yan yang kemarin sore meninggal, kakak inget to ??? “ sambil mengelus rambut anaknya.

“ Kenapa gak kita gali aja kuburannya bunda ??? “dengan wajah lugunya.

“ Kalau sudah di kubur ya gak boleh di gali lagi kak, nanti di marahi pak kyai kalau di gali lagi, yaudah mending sekarang kakak bobok ya, nemenin dek fara, ayo bunda kelonin ”.

Kemudian digendongnya si anak sulung kekamar, dibaringkan disamping adiknya fara yang sudah pulas terlebih dahulu, di kecup bergantian kening mereka dan tak lupa diajarkan do’a menjelang tidur yang telah di peroleh dari surau tempat mereka belajar mengaji.

“ alhamdulillah, terimaksih ya rabb, telah kau berikan dua bidadari mungil yang senantiasa menemani kehidupanku, menjadi semangat membangunkan langkah rapuhku selepas kau panggil ayah mereka, kini aku harus bejuang membesarkan mereka dari kehidupan yang keras ini, aku percaya kau selalu meberikan yang terbaik pada mahluk yang senantiasa mengharapkan ridhomu “

*****

Tak ada angin ribut, tak ada badai semalam, warung mbak yani terlihat roboh dan rusak parah pagi itu. Warga sekitar dan para petani yang biasanya mampir untuk sarapan pun terheran melihat kondisi warung janda dua anak, yang selama ini menjadi penghasilan utamnya. Aku dan orang yang berada disekitar warung membersihkan genting dan mengamankan beberapa piring dan gelas yang masih bisa dipakai. Dirasa ini bukan ulah alam, akan tetapi ulah manusia yang tidak mempunyai belas kasihan terhadap perjuangan hidup mbak yani dan kedua anaknya.

Pagi itu mbak yani yang menggondong kedua anaknya, hanya tertegun melihat warungnya yang sudah tidak dapat ditempati sementara. Setelah kami selesai mebersihkan barang – barang yang masih dapat dipakai kami pun hendak berpamitan dan menenangkan mbak yani untuk terus bersabar atas cobaan yang telah dialaminya.

“ ini semua pasti ada hikmahnya mbak “ucapku padanya.

“ iya om di, pasti Allah merencenakan yang lain untuk semua ini, eh di, ajak orang – orang yang ikut bantu membersihkan semua ini kerumah ya, “

“ sekarang mbak?? Buat apa??? “

“ ya kalo gak sekarang kapan lagi, mbak udah terlanjur masak buat dagang pagi ini, jadi mubadzir kalau gak ada yang makan, hitung – hitung ucapan terimakasih atas bantuannya, “

“ owh iya om, mbak minta bantuan satu lagi tolong angkatan barang yang masih bisa di pakai kerumah ya, soalnya mbak repot nih gendong aira fara “

“ owh oke siap laksanakan mbak “ ucapku dengan semangat

Kemudian aku dan warga yang ikut serta mebersihkan warung mbak yani pun segera bergegas kerumahnya. kami semua mendapatkan sarapan gratis dari mbak yani, sungguh betapa baik dan tabahnya mbak yani, disaat cobaan menimpanya dia masih bisa melakukan semua ini. Setelah kami usai makan kami hendak mebayar untuk meringankan sedikit bebannya, akan tetapi dia menolak bantuan dari kami dan justru memberikan bungkusan dari sisa makanan yang masih.

“ sudahlah, saya dan anak – anak masih cukup, bapak – bapak sekalian kan masih mebutuhkan untuk kebutuhan keluarga, jadi buat bapak – bapak saja dan ini makanan dan gorengan yang masih, sudah saya bungkusin, mungkin bisa jadi bekal kesawah atau di bawa kerumah untuk di makan keluarga “

“ terimakasih banyak ya mbak, sebenarnya kami tidak mengharapkan semua ini, kami membantu mbak karena kita adalah tetangga yang harus saling mebantu tetangganya yang sedang kesusahan, malah justru kami dapat imbalan hehehe “ ucap pak tedi

“ tidak apa – apa pak saya juga mengucapkan terimakasih atas kepedulian panjenengan semua terhadap keluarga kami “

“ iya mbak sama – sama, semoga amal dan usaha mbak selalu di ridhoi oleh Allah SWT, dan semoga musibah ini jadi awal kesuksesanya mbak “ do’a dari pak tedi

“ Amien “serentak semua orang yang berada disitu mengamininya.

Satu persatu dari mereka mulai meninggalakan kediaman mabk yani, dan hanya tinggal aku, mbak yani dan kedua anaknya.

“ eh om di, kamu hari ini sibuk gak ??? “ tanya mbak yani

“ ehmm tidak mbak, ada apa ?? “

“ gini, berhubung warung yang disana udaah gak layak pakai, untuk sementara mbak pengen jualan di depan rumah saja, kau tolong bantuin mbak menata kursi dan mejayang mungkin masih bisa dipakai, gak mungkin to mbak sendirian yang ngangkat ??? “

“ ehmmm “

“ gak usah khawtir entar mbak bayar, kamu bukan relawan hari ini hahaha “ timpalnya

“ hahahah gak itu maksudku mbak “

“ lha trus apa??? Intinya mau apa tidak??? “

“ siap laksanakan dengan senang hati “

Kami pun segera memilah kursi – kursi dan meja di warung yang masih bisa di pakai dan mengangkatnya kerumah. Sementara itu aira dan fara masih asyik saja bermain diteras dengan bonekanya. Tak terasa matahari sudah tepat diatas ubun ubun dan kemudian adzan dhuhur pun berkumandang. Kami beristirahat sebentar, kemudian mbak yani membawakan dua gelas es sirup. Seusai minum aku mengajaknya sholat terlebih dahulu sebelum melanjutkan pekerjaan. Setelah itu kami pun merapikan teras dengan kursi dan meja seadanya yang penting terlihat nyaman dan bisa di pakai untuk pembeli.

“ akhirnya selesai juga “ ucapku

“ makasih ya om, eh om jangan pulang dulu, om nemenin kita makan siang dulu ya. . . ?? “

“ boleh lagian om juga laper banget hehehe “

Kamipun menyantap menu makanan siang itu, sementara aira dan fara di suapain bundanya.

“Sungguh aku kagum dengan keluarga ini, walapun cobaan bertubi menimpa akan tetapi mereka masih tabah menghadapinya terlebih mbak yani”ucapku dalam hati

“ om ngelamunin apa hayooo ?? “ tegurnya membangunkanku dari lamunan

“ eh gak apa – apa kok mbak “

“ eh om, om masih inget surat yang dulu mas akbar titipin ke om ??? “

“ iya masih inget, kenapa mbak ??? “

“ sepertinya om juga perlu mebaca isi surat itu”

“ ha ??? buat apa ??? “ tanyaku

“ ya, pokoknya om bacalah, bentar ya tak ambilin “ masuklah di kedalam rumah dan mengambil surat itu

Ternyata surat itu masih rapi dan masih ada bekas darah kering walaupun tak seperti dulu waktu pertama ku beirikan kepada mbak yani.

“ ini om silahkan di baca “ diberikannya surat itu padaku

Kemudian ku buka perlahan surat itu

Untuk : istriku yani tercinta

Aku menulis ini kala hatiku dirundung kegelisahan yang tak berujung, ketika aku mengajak para warga untuk menolak didirikannya perusahan asing di desa kita. Aku semakin tak nyaman yan, sepertinya aku tak bisa lama lagi menemanimu mebesarkan aira dan fara. Aku merasa hidupku sudah berujung, kalau tidak akhir minggu ini bearti akhir bulan ini, tak lebih dari itu yan. Maafkan masmu ya, mas bukan tega meninggalkanmu mebesarkan anak – anak sendiri. Akan tetapi suratan tuhan memang lain, kita bersama di dunia ini mungkin cukup sampai disini.

Istriku yani yang kucintai dengan sangat

Ketahuilah, pak lurah dan beberapa perangkat desa telah melakukan hal yang buruk, dia sudah menjual sebagian dari tanah milik warga desa kepada pengusaha asing tersebut. Termasuk tanah yang ku sertifikatkan dulu. Keberadaanku yang mengetahui semua kebusukan pak lurah dianggap mengancam kehidupannya. Jadi dalam waktu dekat ini aku akan dilenyapkannya. Mas bukannya pasrah dengan takdir akan tetapi mas harus memilih yan, antara berkorban untuk orang banyak, atau makmur dan menyengsarakan orang banyak ???? dan mas memilih ini, bukan bearti mas mengorbankan kebahagian kalian, akan tetapi mas ingin mengajarkan kepada kalian tentang pengorbanan hidup, walaupun kelak orang yang kita perjuangkan itu menikam kita, tak usah kau takut untuk berjuang demi kebaikan bersama. Karena kebaikan yang kita lakukan tak mesti akan dibalas oleh orang yang kita perjuangkan, andai kata tidak kita dapatkan di dunia ini, kita akan lebih mendapatkan kemuliaan di akhirat. Mas yakin itu yan

Yani yang dulu ku pinang kau dengan basmallah

Mas titip aira dan fara ya, ku yakin mereka berdua adalah malaikat yang akan senantiasa menjagamu. Sampaikan kecupan sayang untuk mereka dari ayahnya, yang mungkin mereka tak mngenal sosok fisiknya kelak kala mereka besar. Ajarkan mereka sholat, ajarkan mereka ngaji yan, ajarkan mereka berbuat baik untuk sesama, ajarkan mereka mendoakan orangtua. Sesungguhnya harta paling berhargamu bukanlah rumah dan materi yang berlimpah akan tetapi dua buah hati kita yang terlahir dari satu ikatan suci.

Yani cahaya dalam gelapku

Ku yakin selepas peninggalan mas pak lurah dan kawan – kawannya tak akan menghentikan langkahnya sampai disini. Mungkin dia juga akan mengusik hidupmu dan anak – anak. Ku harap kau kuatkan dirimu, bentengilah jiwamu dengan selalu beribadah pada Allah SWT, rajinlah membaca Al – qur’an karena sesungguhnya itu pelindung nyata untuk jiwa dan raga manusia. Jikalau kau terdesak tak usah kau ragu untuk meminta bantuan pada ardi, walaupun dia anak kecil, aku melihat dia punya semangat tinggi dan keikhlasan yang luar biasa untuk membantu sesama. Dan mas juga yakin dia bisa kau ajak mebongkar kebusukan yang telah dilakukan oleh pak lurah dan kawan – kawan. Dia cuman mebutuhkan kawalan, jiwa mudanya sering tak terkontrol.

Sekali lagi mas mohon maaf telah meninggalkan banyak luka dan pilu, serta banyak kepahitan dalam hidupmu kini, , , , , “ walaupun mas sudah tidak ada lagi di dunia ini, bukan bearti mas lenyap, mas masih tetap hidup dalam hati mu, dalam jiwanya anak – anak. Mas hidup disekitarmu, mas selalu ada disamping kalian . . . . aku mencintai mu wahai istriku yani, Khilyani aku mencintaimu dengan sangat.

Dari : debu yang tak bearti tanpamu

Mas akbar suamimu

Sebuah kado special untuk dua bidadari kecil yang kucintai salam rindu “ om abud “

Dan buat seorang penginspirasi “ maaf pilu ini kulanjutkan “

Kudus, 21 november 2012

Abud Si Bambu Runcing

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun