Mohon tunggu...
Umar Saifudin
Umar Saifudin Mohon Tunggu... -

hanya orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perkembangan Agribisnis Herbal

12 April 2015   20:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:12 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini permintaan masyarakat terhadap produk herbal semakin meningkat baik di negara-negara maju maupun berkembang. Hal ini dikarenakan adanya trend ”back to nature” dan juga karena obat herbal lebih mudah diperoleh dan harganya lebih terjangkau. Selain itu semakin banyaknya bukti-bukti empiris dan dukungan penelitian ilmiah serta adanya modernisasi proses produksi semakin mengangkat popularitas herbal, sehingga tidak heran jika saat ini penggunaan obat-obatan herbal meningkat tajam.

WHO menyebutkan bahwa 50-75% dari penduduk negara-negara maju telah menggunakan pengobatan tradisional di mana didalamnya termasuk penggunaan obat-obat bahan alam. Sedangkan di negara-negara berkembang seperti di Benua Afrika, Asia dan Amerika Latin  mencapai 80%. Di Jepang hampir 85% dokternya tidak hanya meresepkan obat sintetis modern, tetapi juga obat herbal tradisional yang disebut ”Kampo” yang telah tercover dalam asuransi (WHO, 2001).

WHO mencatat pada tahun 2000 pasar global obat herbal mencapai US$ 43 miliar dengan pasar terbesar adalah di Asia (39 %), diikuti dengan Eropa (34 %), Amerika Utara (22 %) dan belahan dunia lainnya sebesar lima persen. Kemudian pada tahun 2002 nilai pasar global obat herbal meningkat menjadi US$ 60 miliar, dan tahun 2050 diperkirakan menjadi US$ 5 triliun dengan peningkatan 15% per tahun, lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan nilai perdagangan obat konvensional modern yang hanya 3% per tahun (Balitbang Pertanian, 2007)

Cina sebagai negara yang paling maju dalam bidang pengembangan produk herbal hampir menguasai 1/3 pasar herbal dunia. Cina memiliki kekayaan hayati sebanyak 11.146 jenis tanaman biofarmaka. Dari belasan ribu jenis tanaman obat tersebut, sekitar 200 jenis diantaranya telah dibudidayakan secara intensif sepanjang tahun. Cina memiliki 1200 perusahaan obat tradisional TCM (Tradisional China Medicine) dimana 600 di antaranya memiliki kebun sendiri yang terintegrasi dengan pabrik. Adapun di India, dimana 60-70% penduduknya menggunakan sistem pengobatan alami yang dikenal dengan pengobatan ”Ayurveda”, pada tahun 2002 nilai penjualan obat herbalnya mencapai US$ 3 miliar  (Maxmillian, 2007).

Di Indonesia sendiri, dimana 61% penduduk Indonesia diketahui sudah terbiasa mengkonsumsi obat herbal yang dikenal sebagai Jamu, pada tahun 2002 nilai perdagangannya baru mencapai US$ 150 juta (Balitbang Pertanian, 2007). Namun sejak tahun 2003 hingga tahun 2010 pertumbuhan industri obat herbal mengalami kenaikan rata-rata 54,25 % lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pertumbuhan industri obat sintetis modern yang hanya sebesar 26,93 %. Bahkan pada tahun 2011 ini, omzet industri obat herbal nasional telah mencapai 11 triliun (www.kemenperin.go.id).

Menurut data Riskesdas (2010), sekitar 59,12% penduduk Indonesia pernah mengkonsumsi obat herbal dan 95,6% diantaranya merasakan khasiatnya dalam meningkatkan kesehatan. Dari riset tersebut juga diperoleh bahwa hampir setengah (49,53%) penduduk Indonesia (usia > 15 tahun) yang mengkonsumsi jamu, sekitar lima persennya (4,36%) mengkonsumsi jamu setiap hari, sedangkan sisanya (45,17%) mengkonsumsi jamu sesekali. Proporsi jenis jamu yang banyak dipilih untuk dikonsumsi adalah jamu cair (55,16%); bubuk (43,99%); dan jamu seduh (20,43%). Sedangkan proporsi terkecil adalah jamu yang dikemas secara modern dalam bentuk kapsul/pil/tablet (11,58%) Diperkirakan nilai perdagangan jamu di Indonesia mencapai lebih dari Rp 4 triliun per tahun (www.depkes.go.id).

Saat ini, jumlah IOT maupun IKOT sebanyak 1645 (2012) bersaing dengan perusahaan obat-obatan herbal dari luar negeri (multinasional) yang berjumlah 996 dimana sepertiganya berasal dari Cina (www.bpom.go.id). Laju pertumbuhan IOT sebesar 6,40% per tahun lebih tinggi dari laju pertumbuhan IKOT sebesar 1,8% per tahun. Sayangnya populasi IOT 97% berada di Pulau Jawa demikian pula IKOT 73% juga berada di Pulau Jawa, sehingga hal ini menjadi peluang yang sangat potensial untuk mengembangkan industri obat tradisional di luar Pulau Jawa (Balitbang Pertanian, 2007).

Adapun rantai kegiatan dan distribusi perdagangan produk herbal menyedot tenaga kerja lebih 3 juta orang. Angka ini belum termasuk sebagian pelaku informal seperti peracik obat tradisional, penjual jamu gendong, petani dan pengumpul tanaman obat. Selain itu terdapat sekitar 280.000 orang praktisi pengobatan tradisional di Indonesia (www.depkes.go.id)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun